=================================================================
MEMAHAMI MAKSUD AJARAN SOSIAL GEREJA
Dapat
dipersoalkan sejauh mana Gereja berhak bersuara terhadap masalah-masalah
social. Bukankah Gereja lebih berurusan dengan bidang iman? Benar. Tetapi tugas
pengutusan Gereja juga meluas ke ‘segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum
moral’ (QA 41), sekaligus Gereja juga memiliki ‘hak dan kewajiban uantuk
bersuara dengan penuh wewenang atas masalah-masalah social dan ekonomi’. Alasan
yang membenarkan Gereja untuk mengadakan intervensi ke dalam masalah-masalah
social adalah:
1. Masalah-masalah
social pada umumnya dan di masyarakat kita pada khususnya tak dapat dirumuskan
semata-mata dari segi teknis dari kenyataan-kenyataan social, ekonomis dan
politis. Di dalamnya, juga termuat masalah
moral dan etis. Iman kristiani diharapkan menerangi suara hati dan memungkinkan
orang kristiani untuk memenuhi kewajibannya dalam konteks historis tertentu
dengan tetap memiliki keterbukaan terhadap yang transenden.
2. Masalah-masalah
social pada umumnya, dan khususnya masalah ketidakadilan social kerap kali
berasal dari kecenderungan manusia untuk mementingkan dirinya, atau dalam
istilah teologis bersumber dari kedosaan manusia. Ketidakadilan social
sebagaimana terjadi dalam bentuk jurang kaya miskin, penghisapan manusia atas
manusia, pengangguran, pemiskinan, perkosaan hak-hak kaum miskin dsb merupakan
ungkapan dari situasi-situasi keberdosaan manusia.
3.
Gereja
prihatin terhadap akibat-akibat dari
permasalahan social itu karena kondisi-kondisi hidup yang tidak layak merupakan
kendala bagi keselamatan manusia. Situasi-situasi itu menggerogoti martabat
manusia dan merupakan ungkapan dari pandangan materialistis terhadap manusia
dan masyarakat. Permasalahan martabat manusia dan pandangan materialistis itu
tidak sesuai dengan inspirasi Injil.
4.
Ajaran
Gereja tentang permasalahan social itu dan tanggapan umat kristiani terhadapnya
merupakan bagian dari pandangan hidup kristiani. Di beberapa tempat, umat
kristiani merupakan minoritas yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang
memiliki masalah-masalah social yang tumpang tindih. Sumbangan pandangan hidup
kristiani yang terwujud dalam praksis hidupnya sangat dibutuhkan untuk membantu
menyelesaikan masalah ketidakadilan social dalam praksis pembangunan.
Meskipun
Gereja dalam ajaran sosialnya bersuara secara otoritas mengenai masalah-masalah
ketidakadilan social, ajaran-ajaran social Gereja itu bukanlah semacam ‘obat
manjur’ untuk menyembuhkan penyakit atas luka-luka social. Dalam ensiklik
sosialnya Paul JP II berkata:
Gereja tidak
memiliki pemecahan-pemecahan teknis yang ditawarkan untuk masalah
keterbelakangan begitu saja. Oleh karena Gereja tidak menganjurkan
system-sistem atau program-program ekonomi dan politik, juga tidak memihak yang
satu atau yang lain, asalkan martabat manusia diindahkan sepatutnya dan dimajukan,
dan asalkan Gereja sendiri diberi peluang yang diperlukannya untuk menjalankan
pelayanannya di dalam dunia (SRS 41)
Ajaran
social Gereja bukanlah ideology atau pun analisis social ilmiah, meskipun di
dalamnya termuat juga analisa-analisa yang tajam atas masyarakat, Negara dan
manusia. Lebih tepat dikatakan bahwa Gereja dalam imannya lewat ajaran-ajaran
social itu memberikan tanggapan iman dan memberi pengarahan tindakan iman bagi
umat kristiani yang hidup dalam msalah-masalah ketidakadilan social itu.
Ajaran social Gereja adalah di bidang moral dan iman, maka lebih tepat
dimasukkan dalam bidang teologi moral.
Kalaupun
ajaran social Gereja memuat saran-saran praktis untuk menghadapi
masalah-masalah ketidakadilan, Gereja tidak bermaksud menjadi system ketiga, misalnya dalam masalah di
antara dua aliran raksasa KAPITALISME DAN SOSIALISME (dalam hal ini komunisme) – masalah awal munculnya
ASG yaitu dokumen Rerum Novarum.
dikutip dari buku IMAN DAN KEADILAN - ajaran sosial Gereja dan praksis sosial
iman - penebit Kanisius, 1991 - penulis Ricardo Antoncich dengan penterjemah
bebas dan diadaptasi dalam konteks Indonesia oleh F. Budi Hardiman. Hlm 17 -
19