GAMBARAN MEDAN APLIKASI ASG DI INDONESIA - analisa tahun 2012











=================================================================

MEMAHAMI MAKSUD AJARAN SOSIAL GEREJA


Dapat dipersoalkan sejauh mana Gereja berhak bersuara terhadap masalah-masalah social. Bukankah Gereja lebih berurusan dengan bidang iman? Benar. Tetapi tugas pengutusan Gereja juga meluas ke ‘segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum moral’ (QA 41), sekaligus Gereja juga memiliki ‘hak dan kewajiban uantuk bersuara dengan penuh wewenang atas masalah-masalah social dan ekonomi’. Alasan yang membenarkan Gereja untuk mengadakan intervensi ke dalam masalah-masalah social adalah:

1.      Masalah-masalah social pada umumnya dan di masyarakat kita pada khususnya tak dapat dirumuskan semata-mata dari segi teknis dari kenyataan-kenyataan social, ekonomis dan politis. Di dalamnya, juga termuat masalah moral dan etis. Iman kristiani diharapkan menerangi suara hati dan memungkinkan orang kristiani untuk memenuhi kewajibannya dalam konteks historis tertentu dengan tetap memiliki keterbukaan terhadap yang transenden.
2.      Masalah-masalah social pada umumnya, dan khususnya masalah ketidakadilan social kerap kali berasal dari kecenderungan manusia untuk mementingkan dirinya, atau dalam istilah teologis bersumber dari kedosaan manusia. Ketidakadilan social sebagaimana terjadi dalam bentuk jurang kaya miskin, penghisapan manusia atas manusia, pengangguran, pemiskinan, perkosaan hak-hak kaum miskin dsb merupakan ungkapan dari situasi-situasi keberdosaan manusia.
3.      Gereja prihatin  terhadap akibat-akibat dari permasalahan social itu karena kondisi-kondisi hidup yang tidak layak merupakan kendala bagi keselamatan manusia. Situasi-situasi itu menggerogoti martabat manusia dan merupakan ungkapan dari pandangan materialistis terhadap manusia dan masyarakat. Permasalahan martabat manusia dan pandangan materialistis itu tidak sesuai dengan inspirasi Injil.
4.      Ajaran Gereja tentang permasalahan social itu dan tanggapan umat kristiani terhadapnya merupakan bagian dari pandangan hidup kristiani. Di beberapa tempat, umat kristiani merupakan minoritas yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang memiliki masalah-masalah social yang tumpang tindih. Sumbangan pandangan hidup kristiani yang terwujud dalam praksis hidupnya sangat dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan masalah ketidakadilan social dalam praksis pembangunan.
Meskipun Gereja dalam ajaran sosialnya bersuara secara otoritas mengenai masalah-masalah ketidakadilan social, ajaran-ajaran social Gereja itu bukanlah semacam ‘obat manjur’ untuk menyembuhkan penyakit atas luka-luka social. Dalam ensiklik sosialnya Paul JP II berkata:

Gereja tidak memiliki pemecahan-pemecahan teknis yang ditawarkan untuk masalah keterbelakangan begitu saja. Oleh karena Gereja tidak menganjurkan system-sistem atau program-program ekonomi dan politik, juga tidak memihak yang satu atau yang lain, asalkan martabat manusia diindahkan sepatutnya dan dimajukan, dan asalkan Gereja sendiri diberi peluang yang diperlukannya untuk menjalankan pelayanannya di dalam dunia (SRS 41)

Ajaran social Gereja bukanlah ideology atau pun analisis social ilmiah, meskipun di dalamnya termuat juga analisa-analisa yang tajam atas masyarakat, Negara dan manusia. Lebih tepat dikatakan bahwa Gereja dalam imannya lewat ajaran-ajaran social itu memberikan tanggapan iman dan memberi pengarahan tindakan iman bagi umat kristiani yang hidup dalam msalah-masalah ketidakadilan social itu. Ajaran social Gereja adalah di bidang moral dan iman, maka lebih tepat dimasukkan dalam bidang teologi moral.

Kalaupun ajaran social Gereja memuat saran-saran praktis untuk menghadapi masalah-masalah ketidakadilan, Gereja tidak bermaksud menjadi system ketiga, misalnya dalam masalah di antara dua aliran raksasa KAPITALISME DAN SOSIALISME (dalam hal ini komunisme) – masalah awal munculnya ASG yaitu dokumen Rerum Novarum.

dikutip dari buku IMAN DAN KEADILAN - ajaran sosial Gereja dan praksis sosial iman - penebit Kanisius, 1991 - penulis Ricardo Antoncich dengan penterjemah bebas dan diadaptasi dalam konteks Indonesia oleh F. Budi Hardiman. Hlm 17 - 19