EVANGELII NUNTIANDI - MEWARTAKAN INJIL


ANJURAN APOSTOLIK
PAUS PAULUS VI


“EVANGELII NUNTIANDI”
(MEWARTAKAN INJIL)

TENTANG PEWARTAAN INJIL DALAM DUNIA MODERN

KEPADA PARA USKUP, IMAM-IMAM DAN UMAT BERIMAN SELURUH GEREJA KATOLIK

Saudara-Saudara yang terhormat, Putera-Puteri yang terkasih,
Salam dan berkat apostolik.

MEWARTAKAN INJIL: TUGAS GEREJA

1. Pantang diragukan: usaha MEWARTAKAN INJIL kepada orang-orang zaman sekarang, yang diteguhkan oleh harapan tetapi sekaligus sering ditimpa oleh rasa takut dan gelisah, merupakan pelayanan kepada jemaat Kristiani maupun seluruh umat manusia.
            Oleh karena itu tugas meneguhkan saudara-saudari-tugas yang beserta jabatan pengganti Petrus[1], kami terima dari Tuhan, dan yang bagi kami merupakan ”urusan sehari-hari”[2], program hidup dan kegiatan, serta komitmen mendasar jabatan kepausan kami-bagi kami nampak  makin luhur dan perlu, kalau pokoknya ialah mendorong saudara-saudari dalam misi mereka selaku pewarta Injil, supaya-di masa ketidak-pastian dan kekaburan ini-mereka menunaikan tugas itu dengan cintakasih, semangat dan kegembiraan yang makin besar.

2. Justru itulah yang hendak kami lakukan di sini, menjelang akhir Tahun Suci ini. Selama tahun ini Gereja, yang ”berusaha mewartakan Injil kepada semua orang”[3], mempunyai maksud satu-satunya untuk menjalankan tugasnya sebagai duta warta gembira tentang Yesus Kristus. Warta gembira itu disiarkan berdasarkan dua perintah yang mendasar: ”Kenakanlah manusia baru” [4]dan ”Berilah dirimu didamaikan dengan Allah”[5].
            Kami hendak menjalankan itu pada ulang tahun kesepuluh  penutupan Konsili vatikan II, yang tujuannya secara definitif dirangkum dalam satu pokok ini: menjadikan Gereja abad ke-XX makin cakap mewartakan Injil kepada masyarakat abad ke-XX.
            Kami hendak melakukan itu satu tahun seusai sidang umum ketiga Sinode para Uskup, yang seperti diketahui diperuntukkan bagi pewartaan Injil. Dan kami makin bersedia menjalankannya, karena kami diminta oleh para Bapa Sinode sendiri. Memang menjelang akhir sidang yang layak dikenang itu para Bapa memutuskan untuk menyerahkan kepada gembala Gereja semesta, dengan kepercayaan yang besar dan kesederhanaan, buah-hasil segala jerih-payah mereka. Mereka menyatakan, bahwa mereka mengharapkan dari padanya dorongan segar ke masa depan, yang mampu menciptakan periode baru pewartaan Injil[6] dalam Gereja, yang kian mantap lagi berakar pada kuasa dan kekuatan Pentekosta yang tak kenal binasa.

 3. Sudah sering kali kami tekankan pentingnya tema pewartaan Injil, jauh sebelum Sinode diselenggarakan. Pada tgl 22 Juni 1973 kami sampaikan kepada Dewan para Kardinal:”Situasi masyarakat kita sekarang mewajibkan kita semua meninjau ulang metode-metode, menjalankan segala macam usaha untuk mempelajari: bagaimana amanat Kristiani dapat kita sampaikan, sehingga manusia modern dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya  serta kekuatan bagi komitmennya terhadap solidaritas manusiawi”[7]. Lalu kami tambahkan, bahwa untuk kita perhatikan, mutlak perlulah bagi kita mengindahkan pusaka-warisan iman, yang oleh Gereja wajib dipertahankan kejernihannya yang tak tercemarkan, dan disajikan kepada orang-orang zaman kita, dengan cara yang sedapat mungkin mereka fahami dan meyakinkan.

4. Kesetiaan baik kepada amanat yang kita layani, maupun kepada umat yang harus menerima pewartaan amanat itu secara hidup  dan utuh, merupakan poros pusat pewartaan Injil. Kesetiaan itu mengajukan tiga pertanyaan mendesak, yang terus menerus diperhatikan oleh Sinode tahun 1974:
- Zaman sekarang ini apa yang terjadi pada daya-kekuatan terselubung warta gembira, yang mampu berdampak kuat atas hatinurani manusia?
- Seberapa jauh dan bagaimana kekuatan Injil mampu sungguh merombak masyarakat abad sekarang?
- Metode-metode manakah yang harus ditempuh, supaya kekuatan Injil dapat membuahkan hasil?
            Pada dasarnya pertanyaan-pertanyaan itu menegaskan soal mendasar, yang sekarang ditujukan oleh Gereja kepada dirinya, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: seusai Konsili dan berkat Konsili, masa yang oleh Allah dikurniakan kepadanya, pada titik-balik sejarah ini, benarkah atau tidak Gereja merasa berbekal lebih baik untuk mewartakan Injil dan mencamkannya di hati orang-orang secara meyakinkan, dengan kebebasan hati dan secara efektif?

5. Kita semua dapat memahami, betapa mendesak menanggapi masalah itu dengan tulus-setia, rendah hati dan berani, dan bertindak sesuai dengannya. Karena ”keprihatinan kami terhadap semua jemaat”[8] kami ingin membantu Saudara-saudara danputera-puteri kami menjawab soal-soal itu. Kata-kata kami bersumber pada kekayaan Sinode dan dimaksudkan sebagai renungan tentang pewartaan Injil. Semoga berhasil mengajak segenap umat Allah yang terhimpun dalam Gereja untuk merenungkannya juga. Dan semoga memberi dorongan segar kepada tiap anggota, khususnya mereka yang ”dengan jerih-payah berkotbah dan mengajar”[9], sehingga mereka masing-masing ”berterus-terang memberitakan amanat kebenaran itu”[10] serta berkarya sebagai pewarta Injil dan menunaikan pelayanannya dengan sempurna.
            Anjuran semacam itu bagi kami nampak sangat penting, sebab bagi Gereja penyajian amanat Injil bukan sumbangan atas pilihan sendiri. Pewartaan itu tugas Gereja atas perintah Tuhan Yesus, supaya umat dapat beriman dan diselamatkan. Amanat itu memang sungguh perlu. Sifatnya unik. Tidak tergantikan. Tidak mengizinkan adanya perbedaan, sinkretisme atau penyesuaian. Pokok taruhan ialah keselamatan umat. Itulah keindahan perwahyuan yang disajikannya. Pewartaan membawa serta kebijaksanaan yang bukan dari dunia ini. Atas kekuatannya mampu menyemangati iman, yang bertumpu pada kekuasaan Allah[11]. Itulah kebenaran. Sudah selayaknya rasul membaktikan kepadanya segenap waktu dan seluruh kekuatannya, dan bila perlu mengorbankan hidupnya sendiri.

I

TELADAN  YESUS

6. Kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, yang oleh Lukas dihimpun dalam Injilnya-”Aku harus memberitakan warta gembira Kerajaan Allah”[12]-sudah pasti mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang besar sekali, sebab merangkum seluruh perutusan Yesus: ”Untuk itulah Aku diutus”[13]. Pernyataan itu menampilkan maknanya sepenuhnya, kalau dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, ketika Kristus mengenakan pada Diri-Nya amanat nabi Yesaya: ”Roh Tuhan ada pada-Ku, sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin”[14].
            Menjelajahi kota demi kota, mewartakan kepada orang-orang yang paling miskin-merekalah yang sering paling terbuka untuk menerima-warta gembira pemenuhan janji-janji serta perjanjian yang ditawarkan oleh Allah, itulah perutusan Yesus. Ia menyatakan bahwa untuk itulah Ia diutus oleh Bapa. Dan segala aspek misteri-Nya-penjelmaan-Nya sendiri, mukjizat-mukjizat, ajaran-Nya, ketika Ia menghimpun murid-murid-Nya, dan mengutus Dua belas, salib dan kebangkitan-Nya bahwa Ia tetap tinggal di antara murid-murid-Nya-semuanya itu unsur-unsur kegiatan-Nya mewartakan Injil.

7. Selama Sinode para Uskup sering sekali mengacu kepada kebenaran ini: Yesus sendiri, warta gembira Allah[15], ialah Pewarta Injil yang paling pertama dan paling agung. Itulah Dia sepenuh-penuhnya: sempurna hingga mengorbankan hidup-Nya di dunia.
Mewartakan Injil: manakah arti kewajiban itu bagi Kristus? Pasti tidak gampang mengungkapkan dalam suatu sintese lengkap arti, isi dan cara-cara pewartaan Injil, seperti difahami dan dilaksanakan oleh Yesus. Bagaimana pun juga usaha menyusun sintese semacam itu takkan pernah selesai. Cukuplah bagi kita mengenangkan beberapa aspek saja yang hakiki.

8. Sebagai Pewarta Injil Kristus pertama-tama mewartakan kerajaan, yakni Kerajaan Allah. Dan itu begitu penting, sehingga dibandingkan dengannya segala-sesuatu lainnya menjadi ”sisa” yang ”ditambahkan”[16]. Oleh karena itu hanya Kerajaan itulah yang mutlak, dan menjadikan semua lainnya relatif. Tuhan berkenan menggambarkan dengan pelbagai cara kebahagiaan orang yang termasuk Kerajaan itu (kebahagiaan yang paradoksal, terdiri dari hal-hal yang ditolak oleh dunia)[17], tuntutan-tuntutan Kerajaan dan Piagam Dasarnya[18], para duta Kerajaan[19], misteri-misterinya[20], putera-puterinya[21], sikap berjaga dan kesetiaan yang diminta dari siapa pun mendambakan kedatangannya secara definitif[22].

9. Sebagai hakikat dan pusat warta gembira-Nya Kristus mewartakan keselamatan, kurnia agung Allah, yakni pembebasan dari apa pun yang menindas manusia, tetapi terutama pembebasan dari dosa dan si jahat, dalam kegembiraan mengenal Allah dan dikenal oleh-Nya, memandangNya, dan menyerahkan diri kepada-Nya. Semuanya itu berawal selama hidup Kristus, dan dengan jelas terlaksana oleh wafat dan kebangkitanNya. Akan tetapi harus dengan sabar dilangsungkan di sepanjang sejarah, untuk diwujudkan sepenuhnya pada hari kedatangan mutakhir Kristus, yang saatnya tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Bapa[23].

10. Kerajaan dan keselamatan itu, kata-kata kunci dalam pewartaan Injil oleh Yesus Kristus, tersedia bagi tiap manusia seabgai rahmat dan kurnia belaskasihan. Akan tetapi sekaligus tiap orang harus memperolehnya dengan kekuatan-itu menjadi milik mereka yang menggagahinya, kata Tuhan[24], melalui jerih-payah dan penderitaan, melalui perihidup menurut Injil, melalui pengingkaran diri dan salib, melalui semangat Sabda Bahagia. Akan tetapi terutama tiap oran memperolehnya melalui pembaharuan batin seutuhnya, yang oleh Injil disebut ”Metanoia”, yakni pertobatan radikal, perubahan budi maupun hati”[25].

11. Kristus melaksanakan proklamasi Kerajaan Allah itu melalui pewartaan sabda tanpa kenal lelah, yang konon di mana pun tiada bandingnya: ”Suatu ajaran baru! Ia berkata-kata dengan kuasa!”[26] Kata-kata indah yang diucapkan-Nya”[27]. ”Belum pernah seorang manusia berkata seperti Dia itu!”[28]. Amanat Kristus menyingkapkan rahasia Allah. Rencana-Nya dan Janji-Nya, dan sementara itu mengubah hati manusia dan nasibnya.

12. Akan tetapi Kristus juga menjalankan pewartaan itu dengan tanda-tanda tak terbilang jumlahnya, yang menakjubkan banyak orang, dan sekaligus menarik mereka untuk melihat Dia, mendengarkan-Nya dan membiarkan diri diubah oleh-Nya: mereka yang sakit disembuhkan, air diubah menjadi anggur, roti dilipatgandakan, orang-orang mati dihidupkan. Dan di antara semua tanda itu ada satu yang dipandang-Nya penting sekali: mereka yang hina-dina dan miskin menerima pewartaan Injil, menjadi murid-murid-Nya dan berkumpul ”dalam nama-Nya” dalam persekutuan besar mereka yang beriman akan Dia. Sebab Yesus itu, yang menyatakan: ”Aku harus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah”[29], tak lain ialah Yesus, yang menurut pengarang Injil Yohanes telah datang dan harus wafat ”untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai”[30]. Begitulah Ia melaksanakan perwahyuan-Nya tentang Diri-Nya, melalui kata-kata maupun tindakan, melalui tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat, dan secara lebih khas lagi melalui wafat serta kebangkitan-Nya, dan dengan  mengutus Roh kebenaran[31].

13. Oleh karena itu mereka yang dengan tulus menerima warta gembira, berkat kekuatan penerimaan itu dan iman bersama, berhimpun dalam nama Yesus, untuk bersama mencari Kerajaan, membangun dan menghayatinya. Mereka membentuk jemaat yang mewartakan Injil. Perintah kepada Duabelas untuk pergi dan meyiarkan warta gembira berlaku abgi semua orang Kristiani juga, kendati secara berbeda. Justru karena itulah Petrus menyebut umat Kristiani ”bangsa yang terpilih dikhususkan untuk memberitakan karya-karya agung Allah”[32], hal-hal yang menakjubkan yang oleh masing-masing dapat di dengar dalam bahasanya sendiri[33]. Lagi pul awarta gembira tentang Kerajaan yang sedang datang dan telah mulai diperuntukkan bagi semua orang dari segala zaman. Mereka yang telah menerima warta gembira dan karena itu dihimpun menjadi jemaat keselamatan dapat dan wajib menyalurkan dan menyiarkannya.

14. Gereja mengetahui itu. Dengan jelas sekali ia menyadari kenyataan bahwa sabda Sang Penyelamat, ”Aku harus mewartakan kabar gembira tentang Kerajaan Allah” [34]sepenuhnya berlaku bagi dirinya. Dengan sukarela ditambahkannya bersama St. Paulus:”..aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!”[35]. Dengan gembira dan rasa terhibur menjelang akhir sidang agung pada tahun 1974 kami mendengar ungkapan berikut yang memancarkan terang: ”Sekali lagi kami hendak meneguhkan, bahwa tugas mewartakan Injil kepada semua orang merupakan misi hakiki Gereja”[36]. Tugas-perutusan itu karena perubahan-perubahan meluas dan mendalam masyarakat zaman sekarang menjadi semakin mendesak. Mewartakan Injil memang rahmat dan panggilan  khas Gereja, jatidirinya yang terdalam. Gereja berada untuk menyiarkan Injil, artinya mewartakan dan mengajar, menyalurkan kurnia rahmat, mendamaikan orang-orang berdosa dengan Allah, dan melestarikan korban Kristus dalam Ekaristi, kenangan wafat serta kebangkitan-Nya dalam kemuliaan.

15. Siapa pun, yang dalam Perjanjian Baru membaca ulang asalmula Gereja, menyimak sejarahnya langkah demi langkah, dan menyatakan kehidupan serta kegiatannya, melihat bahwa Gereja berkaitan dengan pewartaan Injil dalam kenyataannya yang terdalam:
            - Gereja lahir dari kegiatan Yesus dan Duabelas mewartakan Injil. Ia merupakan buah-hasil yang biasa, diinginkan, paling langsung dan paling kelihatan kegiatan itu: ”Oleh karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-murid-Ku”[37]. Kemudian” orang-orang yang menerima perkataannya itu membiarkan diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa....Dan tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan mereka yang diselamatkan”[38].
            - Karena Gereja lahir sebagai konsekuensi perutusan, ia sendiri diutus oleh Yesus. Gereja tetap tinggal di dunia, bila Tuhan yang mulia pulang kepada Bapa. Gereja tetap menjadi tanda-sekaligus redup-redup dan terang-bahwa Yesus hadir secara baru, bahwa Ia telah berangkat dan sekaligus tetap hadir. Gereja memperpanjang dan melanjutkan Yesus. Dan terutama perutusan-Nya dan kondisi-Nya sebagai Pewarta Injillah, yang Gereja harus melangsungkan[39]. Sebab jemaat Kristiani tidak pernah terkungkung dalam dirinya. Kehidupan batin jemaat itu-kehidupan mendengarkan sabda dan ajaran para rasul, cintakasih yang dihayati secara persaudaraan, bersama memecahkan roti[40]-kehidupan batin itu hanya beroleh makna yang sepenuhnya, bila menjadi kesaksian, bila mengundang rasa kagum dan pertobatan, dan bila menjadi pewartaan dan proklamasi warta gembira. Maka Gereja semestalah yang menerima perutusan mewartakan Injil, dan karya masing-masing anggota penting bagi keseluruhannya.
            - Gereja itu pewarta Injil, tetapi mulai dengan mengalami evangelisasi sendiri. Gereja persekutuan umat beriman, persekutuan harapan yang dihayati dan disalurkan, persekutuan kasih persaudaraan. Gereja perlu tiada hentinya mendengarkan apa yang harus diimaninya, alasan-alasannya untuk berharap, perintah baru cintakasih. Gereja umat Allah yang tenggelam didunia, dan sering digoda oleh berhala-berhala. Ia selalu perlu mendengar pewartaan “karya-karya agung Allah”[41], yang mempertobatkannya kepada Tuhan. Selalu Gereja perlu dihimpun secara baru oleh-Nya dan disatukan. Pendek kata itu berarti bahwa Gereja terus menerus perlu mengalami evangelisasi, kalau ingin tetap segar, tetap teguh dan tetap kuat untuk mewartakan Injil. Konsili Vatikan II mengenangkan[42] dan Sinode tahun 1974 dengan tegas-tandas mengangkat tema itu lagi tentang Gereja, yang mengalami evangelisasi melalui pertobatan dan pembaharuan tiada hentinya supaya dalam mewartakan Injil kepada dunia layak mendapat kepercayaan.
            - Gereja ialah perbendaharaan warta gembira yang harus disebarluaskan. Janji-janji Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus, ajaran Tuhan maupun para Rasul, sabda kehidupan, sumber-sumber rahmat dan kebaikan hati Allah Mahakasih, jalan menuju keselamatan-semuanya itu dipercayakan kepada Gereja. Isi Injil, dan karena itu pewartaan Injillah, yang dilestarikan oleh Gereja sebagai pusaka-warisan hidup yang amat berharga, bukan untuk disembunyikan saja, melainkan untuk diwartakan.
            -Karena diutus dan mengalami evangelisasi. Gereja sendiri mengutus para pewarta Injil. Ia menaruh ke dalam mulut mereka sabda yang menyelamatkan. Gereja menjelaskan kepada mereka amanat yang dipercayakan kepadanya. Ia memberi mereka kuat-kuasa, yang diterimanya sendiri, dan mengutus mereka untuk mewartakan. Mewartakan bukan diri mereka sendiri atau gagasan-gagasan pribadi mereka[43], melainkan Injil; dan bukan Gereja atau merekalah penguasa atau pemilik Injil, sehingga dapat diperlakukan menurut keinginan mereka sendiri; melainkan Injil itulah yang mereka layani, untuk disalurkan dengan kesetiaan yang sepenuhnya.

16. Jadi ada ikatan mendalam antara Kristus, Gereja dan pewartaan Injil. Selama periode Gereja, masa hidup kita, Gerejalah yang bertugas mewartakan Injil. Perintah itu tidak dilaksanakan tanpa Gereja, apalagi melawan Gereja.
            Pasti selayaknyalah mengenangkan kenyataan itu pada saat seperti sekarang ini; sebab bukannya tanpa merasa sedih kami mendengar tentang orang-orang-dan kami ingin percaya bahwa mereka bermaksud baik, tetapi pasti salah-asuh dalam sikap mereka-yang terus menerus mendengungkan, bahwa mereka mengasihi Kristus tetapi tanpa Gereja, mendengarkan Kristus tetapi bukan Gereja, menajdi muris Kristus tetapi di luar Gereja. Betapa jelas pemisahan itu sama sekali tidak masuk akal, terang sekali dari kalimat Injil: ”Siapa pun menolak kamu, menolak Aku”[44]. Lalu bagaimana mungkin orang ingin mengasihi Kristus tanpa mencintai Gereja, kalau kesaksian paling indah akan Kristus ialah kesaksian St. Paulus:”Kristus mencintai Gereja dan mengorbankan diri baginya”?[45]

II

MAKNA PEWARTAAN INJIL

17. Tentu saja dalam pewartaan Injil oleh Gereja ada unsur-unsur dan segi-segi tertentu yang perlu khas ditekankan. Ada di antaranya yang begitu penting, sehingga ada kecenderungan untuk begitu saja menganggapnya sama saja dengan pewartaan Injil. Demikian telah mungkin mendefinisikan ”evangelisasi”: pewartaan Kristus kepada mereka yang tidak mengenal-Nya, kotbah, katekese, pemberian baptis dan sakramen-sakramen lainnya.
            Tiap definisi yang hanya menyangkut sebagian saja, tetapi mencoba melukiskan kenyataan pewartaan Injil dalam seluruh kenyataan, sifat kompleks dan dinamismenya, hanay akan terancam risiko memiskinkannya  atau bahkan memberi gambaran yang salah. Mustahil menangkap makna evangelisasi, kalau orang tidak mencoba mengindahkan semua unsur hakikinya.
            Unsur-unsur itu kuat-kuat ditekankan pada Sinode terakhir, dan masih sering merupakan bahan studi, sebagai hasil karya Sinode. Kami merasa gembira, bahwa pada dasarnya unsur-unsur itu menganut  haluan yang digariskan bagi kita oleh Konsili Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi ”Lumen Gentium” dan ”Gaudium et Spes”, dan dalam Dekrit ”Ad Gentes”.

18. Bagi Gereja evangelisasi berarti menyampaikan warta gembira kepada segala lapisan umat manusia, dan melalui pengaruhnya merombak masyarakat dari dalam serta membaharuinya: ”Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!”[46]. Akan tetapi tidak ada umat manusia baru, kalau tidak terutama ada manusia-manusia yang diperbarui oleh baptis[47], dan perihidup menurut Injil[48]. Oleh karena itu tujuan pewartaan Injil justru perubahan batin itu. Dan kalau harus diungkapkan dalam satu kalimat, cara terbaik merumuskannya yakni: Gereja mewartakan Injil bila berusaha mempertobatkan[49]-melulu berkat kekuatan ilahi amanat yang diwartakannya-hatinurani orang-orang baik perorangan maupun kolektif, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, dan kehidupan serta lingkungan konkret hidup mereka.

19. Lapisan-lapisan masyarakat perlu mengalami perombakan. Bagi Gereja pokoknya bukan sekedar mewartakan Injil dalam kawasan geografis yang makin luas atau kepada semakin banyak orang. Melainkan juga menyentuh dan seperti menggoncangkan-berkat kekuatan Injil norma-norma penilaian umat manusia, yang menentukan nilai-nilai, pokok-pokok kepentingan, cara-cara berpikir, sumber-sumber inspirasi dan pola-pola hidup, yang bertentangan dengan sabda Allah dan Rencana keselamatan.

20. Semuanya itu dapat diungkapkan sebagai berikut:”yang penting ialah: evangelisasi kebudayaan dan pelbagai kebudayaan (bukan melulu sebagai hiasan, seolah-olah dengan mengenakan padanya selaput luar yang hanya tipis saja; melainkan secara vital, mendalam hingga mencapai akar-akarnya), dalam arti yang luas dan kaya menurut makna istilah dalam Konstitusi”Gaudium et Spes”[50], dengan selalu bertolak dari pribadi dan senantiasa kembali kepada hubungan antar manusia serta hubungan manusia dengan Allah.
            Injil, karena itu juga pewartaan Injil, jelas tidak identik dengan kebudayaan; dan keduanya tidak tergantung dari semua kebudayaan. Meskipun begitu Kerajaan yang diwartakan oleh Injil dihayati oleh orang-orang yang secara mendalam terikat pada kebudayaan. Kerajaan tidak dapat dibangun secara lain kecuali dengan meminjam unsur-unsur kebudayaan atau pelbagai kebudayaan manusiawi. Kendati tidak tergantung dari kebudayaan-kebudayaan, Injil maupun pewartaan Injil tidak niscaya tak selaras dengannya. Bahkan keduanya mampu merasuki semua kebudayaan itu tanpa menjadi terbawah kepada kebudayaan mana pun.
            Pantang disangsikan, pemisahan antara Injil dan kebudayaan merupakan drama zaman sekarang, seperti pada masa-masa lainnya. Oleh karena itu hendaklah sedapat mungkin diusahakan untuk menjamin evangelisasi kebudayaan sepenuhnya, atau lebih tepat: kebudayaan-kebudayaan. Semua kebudayaan perlu dilahirkan ulang melalui perjumpaan dengan Injil. Akan tetapi perjumpaan itu takkan terjadi bila Injil tidak diwartakan.

21. Injil terutama harus diwartakan melalui kesaksian. Ambillah seorang atau sejumlah orang Kristiani, yang di tengah masyarakat menunjukkan kemampuan memahami dan menampung sesama, hidup bersama dan senasib dengan sesama, bersikapt solider dengan usaha-usaha siapa saja untuk mencapai tujuan yang mulia dan baik. Selain itu andaikan saja bahwa mereka secara sederhana sekali dan spontan memancarkan iman mereka dalam nilai-nilai, yang melampaui nilai-nilai yang lazim; mencerminkan harapan akan sesuatu yang tak kelihatan danorang tidak berani membayangkan. Melalui kesaksian tanpa kata-kata orang-orang Kristiani itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tak tertahan di hati mereka yang menyaksikan perihidup mereka: Mengapa mereka seperti itu? Mengapa hidup begitu? Apa atau siapa yang mengilhami mereka? Mengapa mereka ada di tengah kita? Kesaksian itu diam-diam sudah mewartakan kabar gembira, dan itu pewartaan yang berpengaruh besar dan efektif. Di situ terdapat tindakan awal pewartaan Injil. Pertanyaan-pertanyaan tadi barangkali yang pertama, yang akan diajukan oleh banyak orang bukan Kristiani, entah kepada mereka Kristus belum pernah diwartakan, atau mereka sudah baptis dan tidak mengamalkan agamanya lagi, atau orang-orang yang hanya menyandang nama Kristiani, tetapi menurut prinsip-prinsip yang sama sekali tidak Kristiani, atau juga orang-orang yang bukannya tanpa penderitaan sedang mencari sesuatu atau seseorang yang mereka ”rasakan” tetapi tidak mampu menyebutkan namanya. Pertanyaan-pertanyaan lain pun akan muncul, lebih mlendalam dan lebih menuntut; pertanyaan yang dibangkitkan melalui kesaksian itu, yang mencakup kehadiran, saling berbagi, kesetiakawanan, dan yang merupakan unsur hakiki-dan pada umumnya itu yang pertama diajukan –dalam pewartaan Injil[51].
            Semua orang Kristiani dipanggil untuk kesaksian itu, dan dengan demikian mereka dapat menjadi pewarta Injil yang sejati. Khususnya kami berpikir tentang tanggung jawab para imigran di negeri yang menampung mereka.

 22. Kendati demikian itu tetap tidak cukup, karena bahkan kesaksian yang terindah pun pada jangka panjang akan ternyata tidak efektif kalau tidak dijelaskan, dibenarkan-yang oleh Petrus disebut:”selalu siap sedia untuk memberi pertanggung jawaban kepad siapa pun yang meminta pertanggung jawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu”[52]-dan ditegaskan melalui pewartaan yang terang dan jelas tentang Tuhan Yesus Kabar gembira yang diwartakan melalui kesaksian hidup kapan-kapan harus disiarkan melalui sabda kehidupan. Tidak ada evagelisasi yang sejati, kalau nama, ajaran, kehidupan, janji-janji, Kerajaan dan misteri Yesus dari Nazareth, Putera Allah, tidak diwartakan.
            Sejarah Gereja, sejak kotbah Petrus pada hari Pentekosta pagi, berbauran dan dianggap sama dengan sejarah pewartaan. Pada tiap tahap sejarah manusia, Gereja, selalu tertawan oleh keinginan mewartakan Injil, hanya mempunyai satu kepedulian: mengutus siapa untuk menyiarkan misteri Yesus?Bagaimana misteri itu harus diwartakan? Bagaimana menjamin supaya misteri itu tetap menggema dan menjangkau siapa pun yang harus mendengarnya? Pewartaan itu-”kerygma”, pewartaan atau katekese-menduduki tempat begitu penting dalam pewartaan Injil, sehingga sering sinonim dengannya. Meskipun begitu hanya satu aspek evangelisasi.

23. Kenyataannya pewartaan hanya mencapai perkembangan sepenuhnya bila didengarkan, diterima dan sungguh dicamkan di hati, dan bila oleh karenanya si penerima setulus hati berpegang teguh padanya. Menerima penuh kebenaran-kebenaran yang oleh Tuhan dalam kerahiman-Nya telah diwahyukan. Lebih lagi, menganut rencana kehidupan yang selanjutnya mengalami perombakan-seperti ditawarkan-Nya. Pendek kata, menerima Kerajaan, artinya ”dunia baru” bagi kenyataan baru segala sesuatu, bagi cara berada, perihidup, kehidupan di masyarakat yang serba baru, yang dimulai oleh Injil. Penerimaan Injil itu tidak dapat tetap abstrak, tanpa diwujudkan secara nyata, dan nampak secara konkret, bila orang secara kelihatan masuk anggota jemaat beriman. Begitulah mereka, yang hidupnya mengalami perubahan memasuki persekutuan, yang hakikatnya melambangkan perubahan, menandakan kebaharuan hidup: itulah Gereja, lambang (sakramen) yang kelihatan bagi keselamatan[53]. Akan tetapi masuknya seseorang ke dalam persekutuan gerejawi sendiri juga akan diungkapkan melalui sekian banyak tanda lain, yang melestarikan dan mengembangkan pertandaan Gereja. Dalam dinamisme pewartaan Injil orang yang menerima Gereja sebagai sabda penyelamat[54] lazimnya membahasakan itu kedalam tindakan-tindakan sakramental berikut: bergabung dengan Gereja, dan menerima sakramen-sakramen, yang menampilkan dan mendukung penggabungan itu melalui rahmat yang diterimakannya.

24. Akhirnya: orang yang mengalami evangelisasi kemudia mewartakan Injil kepada sesama. Di situlah kebenaran diuji; itulah batu ujian bagi evangelisasi: tidak terbayangkan, bahwa orang menerima sabda dan menyerahkan diri kepada Kerajaan, tanpa kemudian menjadi saksi dan mewartakan Kerajaan itu.
            Guna melengkapi refleksi tentang makna pewartaan Injil, masih perlu disampaikan catatan akhir, yang pada hemat kami akan membantu menjelaskan pemikiran-pemikiran yang masih akan menyusul.
            Seperti telah diuraikan, pewartaan Injil itu proses yang kompleks terdiri dari pelbagai unsur: pembaharuan umat manusia, kesaksian, pewartaan eksplisit, penerimaan batin Injil, masuknya orang ke dalam jemaat, penerimaan lambang-lambang, prakarsa untuk merasul. Barangkali unsur-unsur itu nampak tidak saling sesuai, bahkan saling bertentangan. Kenyataannyajustru saling melengkapi dan memperkaya. Masing-masing unsur hendaknya selalu dilihat dalam hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Relevansi Sinode terakhir ialah: terus menerus mengajak kita menghubungkan unsur-unsur itu, bukan memperlawankannya satu terhadap yang lain, untuk mencapai pengertian seutuhnya tentang kegiatan Gereja mewartakan Injil. Pandangan menyeluruh itulah yang kini ingin kami sajikan garis besarnya, dengan meneliti isi pewartaan Injil dan cara-cara mewartakannya, dengan menjelaskan kepada siapa amanat Injil ditujukan, dan siapakah yang sekarang ini bertanggung jawab atasnya.

III

ISI AMANAT INJIL

25. Dalam amanat yang diwartakan oleh Gereja tentu terdapat banyak unsur sekunder. Penyajiannya banyak tergantung dari situasi yang berubah-ubah. Unsur-unsur itu sendiri juga berubah. Akan tetapi ada isi yang hakiki, pokok utama yang sungguh nyata, yang tidak dapat diubah atau diabaikan tanpa secara serius mengurangi hakikat pewartaan Injil sendiri.

 26. Bukannya tiada gunanya menyebutkan pokok-pokok berikut: mewartakan Injil pertama-tama berarti memberi kesaksian secara sederhana dan langsung akan Allah yang diwahyukan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus; memberi kesaksian bahwa dalam Putera-Nya Allah mencintai dunia-bahwa dalam Sabda-Nya yang menjelma Ia telah menciptakan segala sesuatu dan memanggil manusia untuk menerima hidup kekal. Barangkali pernyataan tentang Allah itu bagi banyak orang mengambarkan Allah yang tidak dikenal[55], yang mereka sembah-sujudi tanpa mereka beri nama, atau mereka cari atas panggilan hati yang bersifat rahasia, bila mereka mengalami kehampaan segala berhala. Akan tetapi berlangsung pewartaan Injil sepenuhnya, bila dijelaskan kenyataan, bahwa bagi manusia Sang Pencipta bukannya kekuatan tanpa nama yang jauh. Dia itu Bapa:”...sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita ini anak-anak Allah”[56]. Begitulah kita ini dalam Allah saudara-saudari satu bagi yang lain.

 27. Pewartaan Injil selalu juga akan mencakup-sebagai dasar, pusat dan sekaligus puncak dinamismenya-pewartaan yang jelas, bahwa dalam Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma, yang wafat dan bangkit dari kematian, keselamatan ditawarkan kepada semua orang, sebagai anugerah rahmat dan belaskasihan Allah[57]. Dan bukan keselamatan yang terkungkung, memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani atau bahkan rohani, terbatas pada lingkup kehidupan di dunia dan dianggap sama belaka dengan aspirasi-aspirasi, harapan-harapan, perkara-perkara dan pergumulan di dunia ini; melainkan keselamatan yang melampaui semua batas-batas itu, untuk mencapai kepenuhannya dalam persekutuan dengan Nan Mutlak ilahi satu-satunya: keselamatan adisemesta yang menjangkau akhir zaman, yang memang berawal dalam hidup di dunia ini tetapi mekar penuh dalam kehidupan kekal.

28. Oleh karena itu evangelisasi mau tak mau mencakup pewartaan kenabian zaman akhirat, panggilan mausia yang mendalam sekali untuk selamanya, zaman yang melanjutkan situasi sekarang dan sekaligus berbeda dengannya: melampaui waktu dan sejarah, melampaui kenyataan yang fana dunia ini, dan melampaui perkara-perkara duniawi, yang suatu  ketika akan diwahyukan dimensinya yang terselubung-melampaui manusia sendiri, yang tujuannya sejati tidak terbatas pada segi sementaranya, melainkan akan diwahyukan dalam hidup yang akan datang[58]. Oleh karena itu evangelisasi juga mencakup pewartaan harapan akan janji-janji Allah dalam Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus; pewartaan cinta-kasih Allah terhadap semua orang-kemampuan memberi dan menerima, mengingkari diri, membantu saudara-saudari-yang bersumber pada cintakasih Allah dan merupakan inti Injil; pewartaan misteri kejahatan dan usaha aktif menemukan kebaikan. Begitu pula pewartaan-dan ini selalu mendesak-usaha mencari Allah sendiri melalui doa, yang terutama berupa doa sembah-sujud dan puji syukur, tetapi juga melalui persekutuan dengan lambang kelihatan perjumpaan dengan Allah, yakni Gereja Yesus Kristus. Dan persekutuan itu sendiri diungkapkan melalui penerimaan lambang-lambang Kristus lainnya, yang hidup dan berkarya, yakni sakramen-sakram Menghayati sakramen-sakramen secara demikian, membawa perayaannya kepada kepenuhannya yang sejati, tidak berarti-seperti dikatakan oleh beberapa orang-menghambat pewartaan Injil atau menerima evangelisasi yang keliru; melainkan melengkapi pewartaan Injil. Sebab ditinjau menyeluruh, evangelisasi-melampaui sekedar menyiarkan suatu amanat saja-berarti menanamkan Gereja; padahal Gereja tidak ada tanpa daya pendorong, yakni kehidupan sakramental yang memuncak pada Ekaristi[59].

29. Akan tetapi pewartaan Injil tidak lengkap, seandainya tidak memperhitungkan pengaruh timbal-balik yang tiada hentinya antara Injil dan kehidupan konkret manusia, baik perorangan maupun sosial. Itulah sebabnya, mengapa pewartaan Injil-menanggapi pelbagai situasi yang terus menerus bermunculan-mencakup amanat jelas tetang hak-hak maupun kewajiban-kewajiban tiap manusia, tentang kehidupan keluarga yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi[60], tentang kehidupan dalam masyarakat, tentang kehidupan internasional, perdamaian, keadilan dan pembangunan-amanat yang sekarang ini cukup kuat tentang pembebasan.

30. Siapa pun mengetahui, bagaimana sekian banyak Uskup dari semua benua membicarakan pokok itu pada Sinode terakhir, khususnya para Uskup Dunia Ketiga, dengan tekanan pastoral yang memantulkan suara jutaan putera-puteri Gereja yang termasuk bangsa-bangsa itu sekuat tenaga berusaha dan berjuang untuk mengatasi segala sesuatu, yang menghukum mereka untuk tetap berada di pinggiran kehidupan: kelaparan, wabah yang berlarut-larut, keadaan buta-huruf, kemiskinan, pelanggaran keadilan dalam hubungan internasional, dan khususnya dalam perdagangan, berbagai situasi neokolonialisme di bidang ekonomi dan kebudayaan, yang ada kalanya sama kejamnya seperti kolonialisme politik masa silam. Seperti diulangi oleh para Uskup, Gereja wajib mewartakan pembebasan jutaan manusia, di antara mereka banyak pula putera-puterinya sendiri. Gereja wajib mendampingi lahirnya pembebasan itu, memberi kesaksian akan pembebasan, menjamin agar pembebasan itu utuh-purna. Semuanya itu tidak asing bagi pewartaan Injil.




PEWARTAAN INJIL DAN PEMBEBASAN

31. Antara pewartaan Injil dan kemajuan manusiawi-perkembangan dan pembebasan-memang terdapat ikatan yang mendalam. Termasuk di situ ikatan  pada tingkat antropologi, sebab manusia yang harus menerima pewartaan bukan sesuatu yang abstrak, melainkan terkena oleh masalah-persoalan sosial dan ekonomi. Termasuk pula ikatan pada tingkat teologis, sebab Rencana Penciptaan tidak terceraikan dari Rencana Penebusan. Rencana kedua itu menyangkut pelbagai situasi sangat konkret ketidak-adilan yang harus diperangi, dan keadilan yang harus dipulihkan. Tercakup juga ikatan pada tingkat sangat Injili, yakni ikatan cintakasih: sebab menurut kenyataan, bagaimana orang dapat mewartakan perintah baru, tanpa mendukung dalam keadilan dan perdamaian kemajuan manusia yang otentik-sejati? Kami sendiri berusaha menunjukkan itu dengan mengingatkan, bahwa mustahillah menerima ”bahwa dalam pewartaan Injil orang dapat atau harus tidak mau tahu-menahu tentang pentingnya masalah-persoalan yang sekarang ini begitu banyak diperdebatkan, tentang keadilan, pembebasan, perkembangan dan perdamaian di dunia. Andaikata begitu, itu berarti melupakan pelajaran yang kita terima dari Injil tentang cintakasih terhadap sesama yang sedang menderita dan serba kekurangan”[61].
            Suara-suara serupa, yang selama Sinode penuh semangat, kearifan dan keberanian menyentuh tema yang hangat itu,-dan ini sangat menggembirakan kami-telah menyajikan prinsip-prinsip yang gemilang untuk dengan cermat memahami penting dan mendalamnya makna pembebasan, seperti diwartakan dan dilaksanakan oleh Yesus dari Nazareth, dan disiarkan oleh Gereja.

32. Hendaklah kita sadari kenyataan, bahwa banyak orang Kristiani, juga yang berjiwa besar, cukup peka terhadap soal-soal dramatis berkaitan dengan pembebasan. Karena menghendaki komitmen Gereja terhadap usaha pembebasan, mereka sering tergoda untuk membatasi perutusannya pada dimensi proyek duniawi melulu. Mereka membatasi sasaran-sasaran Gereja pada tujuan yang berpusatkan manusia. Kalau begitu keselamatan yang diwartakannya dibatasi pada kesejahteraan jasmani. Lalu kegiatan Gereja mengabaikan segala kepedulian rohani serta keagamaan, dan menjadi inisiatif-inisiatif politik atau sosial. Akan tetapi andaikata begitu, Gereja akan kehilangan maknanya yang mendasar. Pewartaannya tentang pembebasan tidak lagi memiliki keasliannya, dan akan mudah terbuka bagi monopolisasi serta manipulasi oleh sistem-sistem ideologis dan partai-partai politik. Gereja tidak mempunyai kewibawaan lagi untuk mewartakan pembebasan demi nama Allah. Itulah sebabnya mengapa kami hendak menekankan,pada amanat pembukaan Sinode, ”kebutuhan untuk dengan jelas menyatakan ulang tujuan khas religius pewartaan Injil. Evangelisasi akan kehilangan dasar adanya, seandainya menyimpang dari poros keagamaan yang membimbingnya, yakni kerajaan Allah, melampaui segalanya, dalam arti teologisnya yang sepenuhnya....”[62].

33. Mengenai pembebasan, yang diwartakan dan dicoba dilaksanakan melalui evangelisasi, pokok-pokok berikutlah yang harus dikatakan:
- pembebasan tidak tercakup dalam dimensi melulu dan terbatas ekonomi, politik, kehidupan sosial atau budya, melainkan harus mempedulikan manusia seutuhnya, beserta segala seginya, sampai dengan dan termasuk keterbukaannya bagi yang mutlak, pun juga Nan Mutlak ilahi.
- Oleh karena itu terkait dengan pengertian tertentu tentang manusia, pada visi tentang manusia yang tak pernah dapat dikorbankan kepada kebutuhan strategi, praktek atau efisiensi jangka pendek mana pun juga.

 34. Oleh karena itu, bila mewartakan pembebasan dan bergabung dengan mereka yang bekerja dan menderita untuk itu, Gereja pasti tidak bermaksud membatasi misinya hanya pada bidang keagamaan dan bersikap tak acuh terhadap masalah-masalah duniawi. Akan tetapi Gereja menegaskan lagi, bahwa yang paling utama panggilan rohaninya, dan menolak menggantikan pewartaan Kerajaan dengan penyiaran berbagai bentuk pembebasan manusiawi. Gereja bahkan menyatakan, bahwa sumbangannya bagi pembebasan tidak lengkap, kalau melalaikan pewartaan keselamtan dalam Yesus Kristus.

35. Gereja memadukan pembebasan manusia dengan penyelamatan dalam Yesus Kristus, tetapi tidak pernah menganggap keduanya sama saja. Sebab berkat perwahyuan, pengalaman sejarah dan refleksi iman Gereja tahu, bahwa tidak setiap faham pembebasan pasti konsisten dan selaras dengan visi Injili tentang manusia, kenyataan-kenyataan serta peristiwa-peristiwa. Gereja tahu juga, bahwa untuk kedatangan Kerajaan Allah tidak cukuplah mewujudkan pembebasan dan menciptakan kesejahteraan dan perkembangan.
            Apa lagi Gereja berkeyakinan kuat, bahwa segala pembebasan duniawi, semua pembebasan politik-juga kalau mencoba membenarkan diri berdasarkan suatu halaman Perjanjian Lama atau Baru, juga kalau bagi kaidah-kaidah ideologisnya dan norma-norma tindakannya meng-”klaim” data maupun konklusi-konklusi teologis, juga kalau berlagak ”teologi zaman sekarang”-dalam dirinya sudah membawa benih penyangkalannya sendiri, dan gagal mencapai cita-cita yang dibayangkannya sendiri, bila motivasinya yang mendalam bukan keadilan dalam cintakasih, bila semangatnya tidak berdimensi sungguh rohani, dan bila tujuan akhirnya bukan keselamatan dan kebahagiaan dalam Allah.

36. Gereja memandang penting sekali membentuk struktur-struktur yang lebih manusiawi, lebih adil, lebih menghormati hak-hak manusia dan kurang menindas atau memperbudak. Tetapi Gereja menyadari, bahwa struktur-struktur terbaik dan sistem-sistem yang paling ideal pun segera kehilangan perikemanusiaannya, kalau kecondongan-kecondongan hati manusia yang tidak manusiawi tidak disembuhkan, kalau mereka yang hidup dalam struktur-struktur itu atau mengendalikan tidak mengalami pertobatan hati dan pandangan.

37. Gereja tidak dapat menerima kekerasan, khususnya kekuatan senjata-yang sekali dibiarkan saja sudah tidak terkendalikan lagi-dan maut tanpa pandang bulu sebagai jalan pembebasan. Sebab Gereja tahu, bahwa kekerasan selalu mengundang kekerasan dan mau tak mau melahirkan bentuk-bentuk baru penindasan dan perbudakan, yang sering lebih berat ditanggung dari pada penindasan dan perbudakan di masa lampau, yang mereka harapkan membawa kebebasan. Itu pada perjalanan kami di Kolombia kami nyatakan dengan jelas:”Kami anjurkan, agar anda jangan mengandalkan kekerasan dan revolusi: itu berlawanan dengan semangat Kristiani, lagi pula justru dapat menunda, dan tidak memajukan peningkatan sosial, yang sewajarnya anda dambakan”[63]. ”Harus kami katakan dan tegaskan lagi, bahwa kekerasan tidak sesuai dengan Injil, tidak Kristiani; dan bahwa perubahan struktur-struktur yang mendadak dan disertai kekerasan dengan sendirinya akan mengelabui dan tidak efektif, serta pasti tidak selaras dengan martabat rakyat”[64].

38. Sesudah menyampaikan semuanya itu, kami bergembira bahwa Gereja makin menyadari cara yang cocok dan upaya-upaya yang sungguh Injili yang ada padanya, untuk berperan-serta dalam pembebasan banyak orang. Apa yang dilakukannya? Gereja makin berusaha mendorong banyak orang Kristiani untuk membaktikan diri demi pembebasan sesama. Para ”pembebas” Kristiani itu dibekalinya dengan inspirasi iman, motivasi cintakasih persaudaraan, ajaran sosial yang tak dapat dikesampingkan oleh orang Kristiani sejati, dan yang harus dijadikannya dasar bagi kebijaksanaan serta pengalamannya, untuk menjabarkannya secara konkret dalam bentuk-bentuk tindakan, peran-serta dan komitm Semuannya itu harus menandai semangat seorang Kristiani yang sungguh melibatkan diri, tanpa dicampur-adukkan dengan sikap-sikap strategis atau pengabdian kepada sistem politik. Gereja selalu berusaha mengintegrasikan perjuangan Kristiani demi pembebasan dalam Rencana semesta Penyelamatan yang diwartakannya sendiri.
            Yang baru saja kamiuraikan itu acap kali dikemukakan dalam diskusi selama sinode. Memang kami sumbangkan kepad tema itu beberapa penjelasan dalam amanat kami kepada para Bapa pada akhir Sidang[65].
            Diharapkan, supaya semua pertimbangan itu akan membantu menyingkirkan ketidak-jelasan, yang sering sekali terdapat pada istilah ”pembebasan” dalam ideologi-ideologi, sistem-sistem atau kelompok-kelompok politik. Pembebasan, yang diwartakan dan disiapkan oleh evangelisasi ialah yang diwartakan oleh Kristus sendiri dan dikurniakan-Nya kepada manusia melalui korban-Nya.

39. Kebutuhan menegakkan hak-hak asasi manusia tidak terpisahkan dari pembebasan yang adil itu, yang melekat pada pewartaan Injil, dan berusaha mengamankan struktur-struktur yang menjamin kebebasan manusiawi. Di antara hak-hak asasi  itu kebebasan beragama menduduki tempat utama. Belum lama ini kami menguraikan relevansi soal itu dan menekankan:”Betapa masih banyak orang Kristiani sekarang, yang karena mereka Kristiani, karena beragama Katolik, hidup tertindas oleh penganiayaan sistematis! Drama kesetiaan kepada Kristus dan kebebasan beragama tetap berlangsung, juga kendati diselubungi oleh pernyataan-pernyataan yang jelas mendukung hak-hak manusia dan kehidupan dalam masyarakat!”[66]




IV

UPAYA-UPAYA UNTUK MEWARTAKAN INJIL

40. Jelasnya relevansi isi pewartaan Injil tidak boleh mengurangi pentingnya cara-cara maupun upaya-upaya.
            Soal ”bagaimana mewartakan Injil” tetap relevan, sebab metode-metode pewartaan berbeda-beda menurut majemuknya situasi masa, tempat dan kebudayaan, dan karena serta-merta cara-cara itu mengajukan tantangan tertentu kepada kemampuan kita untuk menemukan sesuatu dan mengadakan penyesuaian.
            Pada kita khususnya, para gembala Gereja, ada tanggung jawab meninjau ulang dengan keberanian dan kebijaksanaan, tetapi dalam kesetiaan sepenuhnya terhadap isi evangelisasi, upaya-upaya yang paling cocok dan efektif untuk menyampaikan amanat Injil kepada orang-orang zaman sekarang. Cukuplah dalam renungan ini menyebutkan sejumlah metode yang, karena alasan tertentu, mempunyai relevansi mendasar.

41. Tanpa mengulangi apa pun yang sudah dikemukakan, sudah sewajarnyalah terutama menekanka pokok berikut: bagi Gereja upaya pertama mewartakan Injil ialah kesaksian hidup otentik Kristiani, dalam penyerahan diri kepada Allah, dalam persekutuan yang pantang dihancurkan, dan sekaligus dalam komitmen kepada sesama dengan semangat tanpa batas. Seperti baru-baru ini kami sampaikan kepada sejumlah ahli hukum: ”Manusia modern lebih suka mendengarkan saksi-saksi dari pada guru-guru, dan kalau ia mendengarkan guru-guru, itu karena mereka saksi”[67]. Santo Petrus mengungkapkannya dengan tepat, ketika ia mengutarakan teladan hidup saleh dan murni, yang bahkan tanpa kata-kata pun menarik mereka yang tidak mau mematuhi sabda[68]. Oleh karena itu terutama melalui perilaku dan corak hidupnyalah Gereja akan mewartakan Injil kepada dunia; dengan kata lain, melalui kesaksiannya yang hidup akan kesetiaan terhadap  Tuhan Yesus-kesaksian kemiskinan dan sikap lepas-bebas, kesaksian kebebasan menghadapi berbagai kekuasaan dunia ini, pendek kata, kesaksian kekudusan.

42. Kedua, ada gunanya menekankan relevansi dan perlunya pewartaan.”...bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika tidak percaya kepada-Nya? Bagaimana mereka dapat percaya kepada-Nya, jika tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakannya?...Jadi iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh pewartaan tentang Kristus”[69]. Hukum yang sekali ditetapkan oleh Rasul Paulus itu sekarang pun tetap berlaku sepenuhnya.
            Pewartaan, pemberitaan amanat secara lisan, memang selalu sungguh perlu. Kita menyadari, bahwa manusia modern banyak dijejali kata-kata. Jelas ia sering merasa jenuh mendengarkan, dan lebih buruk lagi: sudah kebal bagi kata-kata. Kita sadari juga, bahwa banyak psikolog dan sosiolog menyatakan pandangan, bahwa manusia modern sudah melampaui peradaban kata-kata, yang sekarang sudah tidak efektif atau berguna lagi, dan bahwa sekarang ia hidup dalam peradaban gambar-gambar. Tentu kenyataan-kenyataan itu harus mendorong kita memanfaatkan-untuk menyalurkan amanat Injil-upaya-upaya modern yang dihasilkan oleh peradaban itu. Memang usaha-usaha positif sekali telah dijalankan di bidang itu. Kita tak dapat lain keculai memujinya dan mendorong perkembangannya selanjutnya. Akan tetapi kejeuhan yang sekarang diakibatkan oleh sekian banyak omong kosong, dan relevansi sekian banyak bentuk komunikasi yang lain jangan memperlemah kekuatan yang tetap ada pada kata-kata, atau menimbulkan sikap kurang mempercayainya. Kata-kata tetap masih relevan, khsususnya bila menjadi wahana kekuatan Allah[70]. Itulah sebabnya mengapa dalil St. Paulus ”Iman timbul dari pendengaran”[71] juga tetap relevan: sabda yang didengarlah, yang mengantar kepada iman.

43. Pewartaan Injil itu mengenakan banyak bentuk, dan semangat merasul akan mengilhami cara-cara yang hampir tak terbatas untuk membaharuinya. Memang tak terbilang jumlah kejadian dalam kehidupan dan situasi manusia, yang membuka peluang bagi pernyataan yagn arif tetapi sungguh mengena tetang apa yang hendak diamanatkan oleh Tuhan dalam situasi tertentu. Cukuplah memiliki perasaan sungguh rohani yang halus untuk membaca amanat Allah dalam peristiwa-peristiwa. Akan tetapi sementara liturgi yang diperbaharui oleh Konsili telah banyak meningkatkan nilai ibadat sabda, akan merupakan kekeliruan, seandainya homili tidak dipandang lagi sebagai upaya pewartaan Injil, yang penting dan mudah disesuaikan. Tentu saja perlulah mengetahui dan memanfaatkan dengan baik tuntutan-tuntutan maupun kemungkinan-kemungkinan homili, sehingga dapat menjadi sungguh efektif dalam reksa pastoral. Akan tetapi terutama perlulah meyakini itu, dan membaktikan diri baginya penuh kasih. Pewartaan itu, yang secara unik diintegrasikan dalam perayaan Ekaristi, dan yang beroleh dari padanya daya-kekuatannya yang khas, pasti mempunyai peranan istimewa dalam pewartaan Injil, sejauh mengungkapkan iman pelayan yang mendalam dan dirasuki cintakasih. Umat beriman, yang berhimpun sebagai jemaat Paska, dan memeriahkan hari raya Tuhan yagn hadir di tengah mereka, mengharapkan banyak dari kotbah itu, dan akan memetik banyak faedah, asal kotbah itu sederhana, jelas, langsung, sungguh cocok, secara mendalam tergantung dari ajaran Injil dan setia kepada Magisterium, dijiwai oleh semangat merasul yang seimbang dan bersumber pada hakekatnya yang khas, penuh harapan, memupuk iman, dan menciptakan damai dan kesatuan. Banyak jemaat paroki atau lain hidup dan tetap terhimpun berkat homili hari Minggu, kalau mempunyai sifat-sifat itu.
            Marilah kami tambahkan, bahwa berkat pembaharuan liturgi itu juga perayaan Ekaristi bukan satu-satunya saat yang cocok bagi homili. Homili harus mendapat tempat dan tidak boleh diabaikan dalam perayaan semua sakramen, pada upacara-upacara para-liturgi, dan pada pertemuan-pertemuan umat beriman. Homili selalu akan membuka kesempatan istimewa untuk menyampaikan sabda Tuhan.

44. Upaya pewartaan Injil yang tidak boleh diabaikan ialah pendidikan kateketis. Akalbudi, khususnya anak-anak dan kaum muda, perlu belajar melalui pelajaran agama yang sistematis ajaran-ajaran mendasar kenyataan yang tercakup dalam kebenaran, yang hendak disampaikan oleh Allah kepada kita. Gereja telah berusaha mengungkapkan kebenaran itu secara makin kaya selama sejarahnya yang panjang. Tak seorang pun akan mengingkari, bahwa pendidikan itu harus diberikan untuk membentuk pola-pola hidup Kristiani, dan bukan supaya tetap berupa pengetahuan saja. Usaha mewartakan Injil sungguh akan mendapat banyak faedah-pada taraf pendidikan kateketis di gereja, di sekolah-sekolah, di mana pun itu mungkin, dan bagaimana pun juga dalam keluarga Kristiani-kalau mereka yang memberi pendidikan kateketis mempunyai naskah pegangan yang cocok, diperbaharui dengan bijaksana dan cakap, di bawah bimbingan para Uskup. Metode-metode harus sesuai dengan umur, kebudayaan dan daya-tangkap orang-orang yang dilayani. Mereka hendaknya selalu berusaha mencamkan dalam daya-ingat, akalbudi dan hati kebenaran-kebenaran pokok yang harus merasuki seluruh kehidupan. Terutama perlulah disiapkan pendidik-pendidik yang baik-katekis-katekis paroki, guru-guru, para orangtua-yang ingin menyempurnakan diri dalam profesi yang luhur itu, yang sungguh dibutuhkan dan memerlukan pendidikan agama. Lagi pula, tanpa bagaimanapun juga mengabaikan pendidikan anak-anak, jelaslah bahwa situasi sekarang menyesak bagi sekian banyak orang muda dan kaum dewasa, yang berkat sentuhan rahmat demi sedikit menemukan wajah Kristus dan merasa perlu menyerahkan diri kepada-Nya.

45. Abad kita ditandai media massa atau upaya-upaya komunikasi sosial. Seperti telah kamitekankan, pewartaan pertama, katekese atau pendalaman iman selanjutnya tidak dapat berlangsung tanpa upaya-upaya itu.
            Bila diabdikan kepada Injil, upaya-upaya komunikasi itu mampu memperluas hampir tak terbatas wilayah sabda Allah didengar. Media itu memungkinkan warta gembira menjangkau jutaan orang. Gereja akan merasa bersalah di hadapan Tuhan, andaikata tidak memakai sarana-sarana yang besar sekali dampaknya itu, yang berkat keahlian manusia dari hari ke hari semakin canggih. Melalui upaya-upaya itulah Gereja mewartakan ”dari atap rumah-rumah”[72] amanat yang dipercayakan kepadanya. Bagi Gereja media massa merupakan versi mimbar yang modern dan efektif. Berkat media itu Gereja berhasil menyapa banyak orang.
            Meskipun begitu penggunaan media komunikasi sosial bagi pewartaan Injil mengajukan tantangan: melalui media itu amanat Injil harus menjangkau sejumlah besar orang-orang, tetapi dengan kemampuan menembus hatinurani tiap orang, menanamkan diri di dalam hatinya, seolah-olah dialah satu-satunya yang disapa, dengan segala sifat-sifatnya yang pribadi sekali, dan mengundang komitmen yang sepenuhnya bersifat pribadi.

46. Karena alasan itu, di samping pewartaan Injil kepada kelompok umat, cara penyampaian yang lain pun, yakni secara perorangan, tetap berlaku penuh dan penting. Tuhan sering menempuh cara itu (misalnya dengan Nikodemus, Zakeus, wanita Samaria, Simon orang Farisi), begitu pula para Rasul. Dalam jangka panjang adakah jalan lain untuk menyampaikan Injil kecuali dengan menyalurkan kepada sesama pengalaman iman pribadi? Jangan sampai kebutuhan mendesak untuk menyiarkan warta gembira kepada orang banyak menyebabkan kita melupakan bentuk pewartaan ini, sehingga hatinurani pribadi seseorang dicapai dan disentuh oleh kata-kata yang khusus sama sekali, yang diterimanya dari orang lain. Tak pernah kita dapat cukup memuji imam-imam, yang melalui sakramen tobat atau wawancara pastoral menunjukkan kesediaan mereka membimbing umat pada jalan Injil, mendukung mereka dalam usaha-usaha mereka, membangkitkan mereka bila jatuh, dan selalu mendampingi mereka dengan arif-bijaksana dan siap-sedia.

47.Sungguhpun begitu tidak pernah cukup ditekankan kenyataan bahwa pewartaan Injiltidak hanya berupa kotbah danpenyampaian ajaran. Sebab pewartaan itu harus menyentuh kehidupan: hidup kodrat yang diberinya makna baru berkat perspektif-perspektif Injili yang diwahyukannya; dan hidup adikodrati, yang bukan penyangkalan melainkan penjernihan dan pengangkatan hidup kodrati. Hidup adikodrati diungkapkan secara nyata dalam tujuh sakramen dan dengan dipancarkannya rahmat serta kekudusan yang mengagumkan, yang terdapat pada sakramen-sakramen itu.
            Demikianlah evangelisasi mewujudkan khasiatnya sepenuhnya, bila mencapai hubungan paling batin, atau lebih tepat lagi: komunikasi timbal-balik yang tetap dan tak terputuskan, antara sabda dan sakramen-sakram Dalam arti tertentu kelirulah mempertentangkan pewartaan Injil dan penerimaan sakramen-sakramen, seperti ada kalanya terjadi. Memang betul, cara tertentu menerimakan sakramen-sakramen itu dan katekese yang menyeluruh, akhirnya dapat banyak mengurangi daya-manfaatnya. Peranan pewartaan Injil justru membina umat untuk hidup beriman sedemikian rupa, sehingga tiap orang Kristiani dibimbing untuk menghayati sakramen-sakramen sebagai sakramen iman yang sejati-dan bukan menerimanya atau mengalaminya secara pasif.

48. Di sini kita menyentuh segi pewartaan Injil, yang tidak dapat diabaikan. Kami hendak berbicara tentang apa yang sekarang sering disebut religiositas (cita-rasa keagamaan) rakyat.
            Di kalangan rakyat terdapat ungkapan-ungkapan khas usaha mereka menemukan Allah dan iman, dikawasan-kawasan Gereja sudah berdiri berabad-abad lamanya maupun tempat Gereja mengalami proses didirikan. Cukup lama ungkapan-ungkapan itu dipandang sebagai kurang murni, kadang-kadang bahkan diremehkan. Akan tetapi sekarang hampir di mana-mana ungkapan-ungkapan itu ditemukan lagi. Selama Sinode terakhir para Uskup mempelajari maknanya dengan realisme dan semangat pastoral yang mencolok.
            Tentu saja religiositas rakyat mempunyai batas-batasnya. Sering juga kemasukan banyak gambaran salah tentang agama, bahkan berbagai takhyul. Seringkali tetap berada pada taraf bentuk-bentuk ibadat, tanpa sungguh dijiwai penerimaan iman yang sesungguhnya. Bahkan dapat bermuara dalam pembentukan sekte-sekte dan membahayakan jemaat gerejawi yang sejati.
            Akan tetapi bila mendapat pengarahan yang tepat, terutama berkat pedagogi pewartaan Injil, cita-rasa keagamaan itu kaya nilai-nilai. Sebab menyatakan rasa haus akan Allah, yang hanya dialami oleh mereka yang sederhana dan miskin. Karena religiositas itu mereka dapat berjiwa besar, bahkan siap untuk pengurbanan yang bersifat kepahlawanan, bila ditantang untuk mengungkapkan iman mereka. Cita-rasa keagamaan mencakup kesadaran yang tajam dan mendalam akan sifat-sifat Allah: kebapaan, penyelenggaraan, kehadiran penuh kasih dan setia. Selain itu membuahkan sikap-sikap batin yang jarang nampak di lain tempat dalam kadar setinggi itu: kesabaran, kepekaan akan salib dalam hidup sehari-hari, sikap lepas-bebas, sikap terbuka bagi sesama, sikap bakti. Karena sikap-sikap itulah kami suka menyebutnya “ketakwaan rakyat”, artinya: agama (“religio”) rakyat, lebih tepat dari cita-rasa keagamaan (“religiositas”).
            Cintakasih kegembalaan harus menggariskan bagi semua , yang oleh Tuhan ditempatkan sebagai pemimpin jemaat-jemaat gerejawi sikap yang tepat menghadapi kenyataan itu, yang sekaligus begitu kaya dan begitu rawan. Terutama dibutuhkan sikap peka, tahu bagaimana mengerti dimensi-dimensi batinnya serta nilai-nilainya yang pantang diingkari, siap membantu mengatasi risiko-risikonya untuk menyimpang. Kalau diarahkan dengan tepat, religiositas rakyat bagi banyak rakyat kita dapat makin berupa perjumpaan sejati dengan Allah dalam Yesus Kristus.


V

SEMANGAT MISIONER DALAM DUNIA MODERN

49. Amanat terakhir Yesus menurut Injil Markus mengenakan pada pewartaan Injil yang oleh Tuhan dipercayakan kepada para Rasul-Nya sifat universal tanpa batas: ”Pergilah ke seluruh dunia; wartakanlah kabar gembira kepada segala makhluk”[73].
            Duabelas Rasul dan angkatan pertama umat Kristiani mengerti dengan baik pesan teks itu dan teks-teks semacam itu. Mereka menjadikannya program kerja. Bahkan penganiayaan pun, dengan mencerai-beraikan para Rasul, membantu menyebarluaskan sabda dan mendirikan Gereja di daerah-daerah yang makin jauh. Penerimaan Paulus menjadi seorang Rasul dan karismanya sebagai pewarta kepada bangsa kapir (bukan Yahudi) tentang kedatangan Yesus lebih jelas lagi menggarisbawahi sifat universal itu.

50. Selama sejarah dua puluh abad angkatan-angkatan umat Kristiani secara berkala menghadapi pelbagai rintangan terhadap perutusan universal itu. Di satu pihak, yakni di pihak para pewarta Injil sendiri, karena pelbagai alasan timbul godaan untuk mempersempit gelanggang kegiatan misioner mereka. Di pihak lain muncul perlawanan yang menurut perhitungan manusiawi sering tidak teratasi pada orang-orang yagn disapa oleh pewarta Injil. Lagi pula dengan rasa sedih dapat dicatat, bahwa karya Gereja mewartakan Injil ditentang dengan sengit, kalau bukan dicegah, oleh pemerintah-pemerintah tertentu. Bahkan sekarang pun terjadi, bahwa para pewarta sabda Allah dirampas hak-hak mereka, dianiaya, diancam atau disingkirkan melulu karena mewartakan Yesus Kristus dan Injilnya. Akan tetapi kami percaya, bahwa kendati cobaan-cobaan yang amat menyakitkan itu kegiatan para rasul itu tidak pernah mengalami kegagalan mutakhir di mana pun di dunia ini.
            Kendati rintangan-rintangan itu Gereja tiada hentinya membaharui inspirasinya yang terdalam, yakni yang diterimanya dari Tuhan: kepada seluruh dunia! Kepada segala makhluk! Sampai ke segala penjur dunia! Sekali lagi itu dilakukannya pada Sinode terakhir, sebagai seruan: jangan memenjara pewartaan Injil dengan membatasinya pada satu sektor umat manusia atau pada satu golongan masyarakat atau pada hanya satu pola peradaban. Beberapa contoh dapat membuka mata.

51. Menampilkan Yesus Kristus beserta Injil-Nya kepada mereka yang tidak mengenal-Nya sejak pagi hari Pentakosta merupakan program dasar, yang diangkat oleh Gereja sebagai rencana yang diterimanya dari Pendirinya. Seluruh Perjanjian Baru, khususnya Kisah para Rasul, memberi kesaksian akan saat yang istimewa dan dalam arti tertentu teladan bagi usaha misioner, yang seterusnya akan menandai seluruh sejarah Gereja.
            Gereja melaksanakan pewartaan pertama tentang Yesus Kristus itu melalui kegiatan yang kompleks dan bermacam-ragam, yang kadang diistilahkan ”pra-evangelisasi”, tetapi sudah merupakan pewartaan Injil yang sesungguhnya, kendati baru pada tahap awalnya yang serba belum lengkap. Sejumlah upaya yang hampir tidak terbatas dapat dikerahkan untuk tujuan itu: pewartaan eksplisit tentu saja, tetapi juga kesenian, pendekatan ilmiah, penelitian filsafah, dan sapaan yang wajar terhadap rasa-perasaan hati manusiawi.

52. Pewartaan pertama itu khususnya ditujukan kepada mereka yang belum pernah mendengar warta gembira Yesus, atau kepada anak-anak. Akan tetapi, akibat situasi dekristianisasi yang sekarang banyak terdapat, ternyata sama-sama dibutuhkan oleh orang-orang yang tak terbilang jumlahnya, yang memang pernah dibaptis, tetapi hidup sama sekali di luar kehidupan Kristiani, oleh orang-orang sederhana yang mempunyai iman tertentu, tetapi tidak memadai pengetahuannya tentang dasar-dasar iman itu, oleh kaum cendekiawan yang merasa membutuhkan mengenal Yesus Kristus dalam sorotan yang berbeda dengan ketika mereka mendapat pelajaran sebagai kanak-kanak, dan oleh sekian banyak orang lain.

53. Pewartaan pertama itu ditujukan juga kepada sebagian amat besar umat manusia, yang menganut agama-agama bukan-Kristiani. Gereja mengungkapkan secara hidup-hidup jiwa golongan amat besar orang-orang. Agama-agama itu mendengungkan gema ribuan tahun kerinduan  akan Allah, pendambaan yang tidak lengkap tetapi sering tercetuskan dengan kejujuran yang asli dan ketulusan hati. Agama-agama itu juga memiliki pusaka-warisan yang mempesonakan berupa teks-teks yang kadar religiusnya mendalam. Angkatan demi angkatan telah diajarnya berdoa. Semuannya dirasuki oleh ”benih-benih sabda”[74], yang tak terbilang jumlahnya, dan sungguh dapat merupakan ”persiapan Injil”[75], mengutip istilah begitu tepat, yang digunakan oleh Konsili Vatikan II dan dipinjam dari Eusebius dari Kaisarea.
            Situasi itu tentu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dan rumit, yang harus dipelajari dalam terang tradisi Kristiani dan Magisterium Gereja, untuk menggelar bagi para misionaris sekarang dan di masa mendatang cakrawala baru dalam kontak mereka dengan agama-agama bukan-Kristiani.
            Terutama sekarang kami hendak menyatakan, bahwa baik sikap hormat dan penghargaan terhadap agama-agama itu maupun serba rumitnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak merupakan ajakan kepada Gereja, supaya jangan mewartakan Kristus kepada umat bukan-Kristiani itu. Sebaliknya Gereja berpandangan bahwa sekian banyak orang itu berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus[76],-harta-karun, yang pada hemat kami dapat menyajikan kepada segenap umat manusia, dalam kepenuhan yang tak terduga, segala sesuatu, yang dicarinya dengan meraba-raba mengenai Allah, manusia beserta tujuan hidupnya, kehidupan dan kematian serta kebenaran.
            Bahkan menghadapi ungkapan-ungkapan religius alami yang pantas sekali dihargai, Gereja mendapat dukungan pada kenyataan bahwa agama Yesus, yang diwartakannya melalui evangelisasi, secara obyektif menaruh manusia dalam hubungan dengan Rencana Allah, kehadiran-Nya yang nyata dan karya-Nya. Jadi Gereja menimbulkan perjumpaan dengan misteri ke-Bapa-an ilahi, yang berkenan memandang umat manusia. Dengan kata lain, agama kita secara efektif menjalin dengan Allah hubungan yang otentik dan hidup, yang tidak berhasil dijalin oleh agama-agama lain, meskipun agama-agama itu seolah-olah mengulurkan lengannya ke arah surga.
            Itulah sebabnya mengapa Gereja tetap memelihara semangat misionernya, bahkan hendak meningkatkannya pada saat hidup kita dalam sejarah. Gereja merasa bertanggung jawab di hadapan semua bangsa. Gereja takkan berhenti selama belum berusaha sedapat mungkin memaklumkan warta gembira tentang Yesus Sang Penyelamat. Gereja selalu menyiapkan  angkatan-angkatan baru rasul-rasul. Marilah kenyataan itu kita akui dengan gembira, pada saat ada saja yang mengira dan bahkan mengatakan, bahwa sudah habislah semangat merasul yang menggebu-gebu, dan zaman misi sekarang sudah lewat. Sinode menjawab bahwa pewartaan misioner tidak pernah berhenti, dan bahwa Gereja selalu akan berusaha menunaikan pewartaan itu.

54. Walaupun begitu Gereja tetap merasa wajib memberi perhatian yagn pantang kendur juga kepada mereka yang telah menerima iman, dan sering sudah sekian banyak generasi berkenalan dengan Injil. Maka Gereja berusaha memperdalam, memantapkan, memupuk dan makin mendewasakan iman mereka yang sudah disebut umat yang beriman atau percaya, supaya tetap masih berkembang penghayatan mereka.
            Sekarang iman itu hampir selalu dihadapkan pada sekularisme, bahkan pada ateisme yang militan. Iman menghadapi pelbagai cobaan dan ancaman, bahkan lebih lagi, dirundung bahaya dan ditentang secara aktif. Iman menghadapi risiko merosot karena dikekang atau merana, kalau tidak dipupuk dan dipelihara dari hari ke hari. Oleh karena itu mewartakan Injil sering sekali berarti memberi santapan yang diperlukan untuk melestarikan iman mereka yang percaya, khasnya melalui katekese penuh kesegaran Injili dan dalam bahasa yang cocok bagi orang-orang beserta situasi mereka.
            Gereja penuh kepedulian juga terhadap umat Kristen, yang tidak sepenuhnya bersekutu dengannya. Sementara bersama mereka menyiapkan kesatuan yang dikehendaki oleh Kristus, dan justru untuk mewujudkan kesatuan dalam kebenaran, Gereja menyadari bahwa ia secara serius melalaikan tugasnya, seandainya tidak memberi kesaksian di hadapan mereka tentang kepenuhan perwahyuan, yang dipercayakan kepada caranya sendiri.

55. Relevan pula keprihatinan Sinode terakhir tentang dua bidang yang jauh berbeda, tetapi sekaligus amat berdekatan karena tantangan yagn diajukannya terhadap pewartaan Injil, masing-masing dengan caranya sendiri.
            Bidang pertama dapat diistilahkan makin paranhnya sikap tak beriman di dunia modern. Sinode berusaha melukiskan dunia modern itu: betapa banyak arus pemikiran, nilai dan nilai-tandingan, aspirasi terselubung atau benih-benih kehancuran, keyakinan lama yang menghilang dan keyakinan baru yang muncul tercakup dalam istilah ”tak beriman” yang umum itu! Ditinjau dari sudut pandangan rohani agaknya dunia modern untuk selamanya tenggelam dalam apa yang oleh pengarang modern disebut ”drama humanisme ateis ”[77].
            Di satu pihak mau tak mau tampillah di jantung dunia masa kini gejala, yang menjadi cirinya yang cukup menyolok, yakni sekularisme. Yang kami bicarakan bukan sekularisasi, yakni usaha-dan usaha –dan usaha itu sendiri wajar dan semestinya, dan sama sekali tidak bertentangan dengan iman atau agama, -untuk menggali di dunia tercipta, pada tiap hal atau kejadian di alam semesta, hukum-hukum yang mengatur semuanya itu dengan otonomi tertentu, tetapi dengan keyakinan batin bahwa Sang Pencipta menanam hukum-hukum itu dalam ciptaan-Nya. Dalam arti itulah Konsili terakhir menegaskan otonomi sewajarnya, yang ada pada kebudayaan dan khususnya pada ilmu-pengetahuan[78]. Di sini yang kami maksudkan sekularisme yang sesungguhnya; menurut pandangan dunia itu, dunia dapat menjelaskan dirinya sendiri, sama sekali tidak membutuhkan bantuan Allah, yang karena itu sudah tidak diperlukan lagi, malahan suatu halangan. Maka untuk mengakui kekuatan manusia, sekularisme semacam itu akhirnya tidak membutuhkan Allah lagi, bahkan menolak Dia.
            Agaknya bentuk-bentuk baru ateisme bersumber padanya, yakni ateisme berpusatkan manusia, tidak abstrak atau bukan filsafah lagi, melainkan pragmatis, sistematis dan militan. Berkaitan dengan sekularisme ateis itu, kita sehari-harian menghadapi masyarakat konsumeris dalam bentuk-bentuknya yang berbeda-beda, usaha mengejar kenikmatan yang dicanangkan sebagai nilai tertinggi, keinginan akan kekuasaan dan dominasi, dan segala macam diskriminasi: arus-arus tidak manusiawi pada ”humanisme”itu.
            Di lain pihak di dunia modern ini juga, -dan itu suatu paradoks,-tidak dapat disangkal adanya batu-batu loncatan ke arah agama Kristiani, serta nilai-nilai Injili, setidak-tidaknya berupa rasa kekosongan atau nostalgia. Beukannya berlebihan mengatakan, bahwa ada seruan cukup kuat dan tragis mengharapkan pewartaan Injil.

56. Bidang kedua ialah: mereka yang tidak mengamalkan agama. Sekarang besar sekali jumlah orang yang dibaptis; kebanyakan tidak secara formal mengingkari baptis mereka, tetapi sama sekali tak peduli dan tidak hidup sesuai dengannya. Kendala tidak mengamalkan agama kuno sekali dalam sejarah umat Kristiani. Sebabnya kelemahan kodrati, sikap tidak konsisten yang mendalam, yang-sungguh malang-tetap melekat pada kita. Akan tetapi sekarang menampilkan ciri-ciri tertentu yang baru. Sering sebabnya alienasi yang menandai zaman kita. Dapat juga diakibatkan oleh kenyataan, bahwa orang-orang Kristiani hidup berdekatan dengan orang-orang yang tidak beriman, dan terus menerus mengalami dampak-pengaruh sikap tak beriman. Lagi pula, orang-orang Kristiani yang sekarang tidak mengamalkan agama,-masih melebihi orang-orang di masa lampau,-berusaha menjelaskan dan membenarkan posisi mereka dengan dalih agama batin, kemerdekaan pribadi, atau otentisitas.
            Jadi ada kaum ateis dan tidak beriman di satu pihak, dan mereka yang tidak mengamalkan agama dipihak lain. Kedua kelompok cukup sengit menentang pewartaan Injil. Perlawanan kelompok pertama berupa suatu penolakan dan ketidak-mampuan menangkap tata baru segalanya, makna baru dunia, kehidupan dan sejarah; mengerti itu memang tidak mungkin kalau orang tidak bertolak dari Nan Mutlak ilahi. Sedangkan penolakan kelompok kedua berupa apati dan sikap sedikit memusuhi pada orang yang merasa dirinya anggota keluarga, tetapi berlagak tahu segalanya dan sudah mencoba semuanya, dan sudah tidak percaya lagi.
            Sekularisme ateis dan agama yang tidak diamalkan terdapat di kalangan orang dewasa dan kaum muda, di antara para pemimpin masyarakat dan pada rakyat biasa, di segala taraf pendidikan, di Gereja-Gereja yang tua maupun yang muda. Karya Gereja mewartakan Injil tidak dapat mengabaikan kedua dunia itu, dan tidak boleh macet bila menghadapi mereka. Hendaklah Gereja tiada hentinya mencari upaya-upaya yang cocok dan bahasa penyajian, atau cara menghadirkan lagi bagi mereka, perwahyuan Allah dan iman akan Yesus Kristus.

57. Seperti Kristus selama menjalankan pewartaan, seperti Duabelas pada hari Pentekosta pagi, begitu pula Gereja menghadapi rakyat tak terbilang jumlahnya, yang membutuhkan Injil dan berhak atasnya, sebab Allah ”menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan beroleh pengetahuan akan kebenaran”[79].
            Gereja secara mendalam menyadari tugasnya mewartakan keselamatan kepada semua orang. Gereja tahu bahwa amanat Injil tidak diperuntukkan melulu kepada kelompok kecil yang sudah masuk anggota, yang diutamakan atau terpilih, melainkan dimaksudkan bagi semua orang. Maka seperti Kristus Gereja merasa gelisah menyaksikan banyak orang berkeliaran dan kehabisan tenaga, ’ibarat domba-domba tanpa gembala”, dan sering mengulangi kata-kata-Nya: ”Hati-ku tergerak oleh belas-kasihan terhadap semua orang itu”[80]. Akan tetapi Gereja menyadari juga, bahwa supaya pewartaan Injil efektif ia harus menujukan amanatnya kepada hati orang banyak, kepada jemaat-jemaat beriman, yang kegiatannya dapat dan harus menjangkau orang-orang lain.

JEMAAT-JEMAAT BASIS

58. Sinode terakhir memberi cukup banyak  perhatian kepada ”jemaat-jemaat kecil” atau jemaat-jemaat basis[81], karena memang sering dibicarakan dalam Gereja sekarang. Apakah jemaat-jemaat itu? Mengapa harus secara istimewa mendengar pewartaan Injil dan sekaligus mewartakan Injil sendiri?
            Menurut berbagai pernyataan yang didengar di Sinode, jemaat-jemaat itu berkembang subur kurang lebih di seluruh Gereja. Mereka sangat berbeda-beda dalam wilayah yang sama, apa lagi dari wilayah ke wilayah.
            Di berbagai kawasan jemaat-jemaat itu bermunculan dan berkembang hampir tanpa kecuali dalam Gereja, dalam solidaritas dengannya, dipupuk dengan ajarannya, dan bersatu dengan para gembalanya. Dalam keadaan itu mereka muncul dari kebutuhan menghayati kehidupan Gereja secara lebih intensif, atau dari keinginan dan usaha mencari dimensi lebih manusiawi, seperti hanya dengan sulit dapat disediakan oleh jemaat-jemaat gerejawi yang lebih besar, khususnya di kota-kota besar yang modern, yang membawa ke arah pola hidup massal dan anonim. Jemaat-jemaat itu dapat begitu saja, dengan cara masing-masing, merupakan perluasan rukun hidup sosial yang kecil, seperti desa, dan sebagainya, pada taraf rohani dan keagamaan-ibadat, pendalaman iman, cintakasih persaudaraan, doa, komunikasi dengan para gembala. Atau juga dapat bertujuan menghimpun kelompok-kelompok umat yang terikat karena umur, kebudayaan, kedudukan sipil atau situasi sosial: pasangan suami-isteri, kaum muda, orang-orang profesional, dan sebagainya, mereka yang kebetulan sudah bersatu dalam perjuangan demi keadilan, bantuan persaudaraan kepada kaum miskin, kemajuan manusiawi; mereka dapat dihimpun untuk mendengarkan dan merenungkan sabda, untuk menerima sakramen-sakramen dan mengalami ikatan ”agape”[82]. Atau juga jemaat-jemaat itu himpunan umat Kristiani di tempat-tempat kekurangan imam tidak mendukung kehidupan lazim jemaat paroki. Semuanya itu diandaikan dalam jemaat-jemaat yang didirikan oleh Gereja, khususnya Gereja-Gereja dan paroki-paroki.
            Di lain pihak di kawasan-kawasan lain berkumpullah jemaat-jemaat basis dengan semangat kritik yang pedas terhadap Gereja, yang cepat mereka cap sebagai ”institusional”. Jemaat-jemaat itu menempatkan diri sebagai jemaat karismatis, bebas dari struktur-struktur dan hanya berinspirasi Injil. Jadi ciri mereka yang jelas ialah sikap mencari kesalahan dan menolak terhadap penampilan Gereja: hirarkinya, tanda-tandanya. Secara radikal mereka melawan Gereja. Dengan menempuh haluan itu inspirasi utama mereka cepat sekali menjadi ideologis. Jarang kelompok-kelompok  itu tidak lekas terjerumus ke dalam suatu pilihan politik atau arus gagasan, kemudian ke dalam suatu sistem dan bahkan partai dengan segala risiko diperalat olehnya.
            Perbedaan sudah jelas: jemaat-jemaat yang karena sikap oposisi menceraikan diri dari Gereja, yang kesatuannya mereka lukai, dapat saja disebut ”jemaat basis”; akan tetapi itu istilah sosiologis belaka. Kelompok-kelompok itu tidak dapat tanpa penyalahgunaan istilah disebut ”jemaat basis” gerejawi, sekalipun meng-”klaim” tetap berada dalam kesatuan Gereja, sedangkan mereka memusuhi hirarki. Nama ”jemaat basis” milik kelompok-kelompok lain, yang berkumpul dalam Gereja untuk menyatukan diri dengan Gereja serta mendukung perkembangannya.
            Jemaat-jemaat terakhir itulah yang akan menjadi gelanggang pewartaan Injil, demi jemaat-jemaat yang lebih besar, khususnya Gereja-Gereja. Dan seperti kami uraikan pada penutupan Sinode terakhir, mereka tumpuan harapan bagi Gereja semesta, sejauh:
- Jemaat-jemaat itu mencari santapannya dalam sabda Allah, dan tidak membiarkan diri terjebak dalam pertentangan politik atau ideologi-ideologi yang sedang laku, yang sudah akan menghisap sumber-daya manusiawi mereka yang besar;
-jemaat-jemaat itu menghindari godaan yang selalu ada untuk secara sistematis melontarkan protes dan bersikap hiperkritis atas dalih otentisitas dan semangat kerjasama;
-jemaat-jemaat itu tetap erat bergabung dengan Gereja setempat yagn mencakup mereka, dan dengan Gereja semesta, serta dengan begitu menghindari bahaya yang riil sekali menjadi terkunkung dalam diri mereka, dan mengira seakan-akan mereka sendirilah satu-satunya Gereja Kristus yang otentik, dan karena itu mengecam jemaat-jemaat gerejawi lainnya;
-jemaat-jemaat itu tetap berada dalam persekutuan yagn tulus dengan para gembala, yang oleh Tuhan dikurniakan kepada Gereja-Nya, dan dengan Magisterium, yang oleh Roh Kristus dipercayakan kepada para gembala itu;
-jemaat-jemaat itu tidak pernah memandang diri sebagai satu-satunya penerima atau satu-satunya pelaku pewartaan Injil, -atau bahkan satu-satunya pemelihara perbendaharaan Injil,-melainkan menyadari bahwa Gereja jauh lebih luas dan bermacam-ragam serta menerima kenyataan bahwa Gereja itu tampil nyata dengan cara-cara lain dari pada melalui mereka sendiri.
- jemaat-jemaat itu tetap bertumbuh dalam kesadaran misioner, entusiasme, komitmen dan semangat;
- jemaat-jemaat itu tampil sebagai universal dalam segalanya, dan tidak pernah sektarian.

            Dengan terpenuhinya syarat-syarat itu, yang tentu memang cukup menuntut tetapi juga mengangkat, jemaat-jemaat basis gerejawi akan memenuhi panggilan mereka yang paling mendasar, yakni: sebagai pendengar Injil yang diwartakan kepada mereka, dan sebagai penerima evangelisasi yang posisinya istimewa, mereka segera akan menjadi pewarta Injil sendiri.

VI


GEREJA SEMESTA, GEREJA-GEREJA SETEMPAT

59. kalau orang mewartaan Injil keselamatan di masyarakat, itu dilakukannya atas perintah Kristus sang Penyelamat, atas nama-Nya dan berkat rahmat-Nya.”Bagaimana mereka dapat memebrikan-Nya, kalau tidak diutus?”[83], tulis dia yang pantang diragukan ialah salah-seorang pewarta Injil yang ulung. Tak seorang pun mampu menjalanknanya tanpa diutus.
            Lalu siapakah yang menerima misi mewartakan Injil?
            Konsili Vatikan II menjawab pertanyaan itu dengan jelas: pada Gerejalah, ”atas perintah ilahi, terdapat kewajiban pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada segala makhluk”[84]. Dan dalam teks lain:”...seluruh Gereja bersifat misioner, karya mewartakan Injil ialah tugas mendasar umat Allah”[85].
            Telah kami sebutkan kaitan erat itu antara Gereja dan evangelisasi. Sementara mewartakan dan membangun Kerajaan Allah, Gereja memantapkan diri di tengah dunia sebagai lambang dan upaya Kerajaan yangsudah ada dan harus datang. Konsili mengangkat ungkapan St. Agustinus tentang kegiatan misioner Duabelas: ”Mereka mewartakan sabda kebenaran dan melahirkan Gereja”[86].

60. Pernyataan, bahwa Gereja diutus dan diperintahkan untuk mewartakan Injil di dunia harus membangkitkan pada kita dua keyakinan. Pertama: pewartaan Injil bagi siapa pun bukan tindakan perorangan yagn tersendiri, melainkan secara mendalam bersifat gerejawi. Bial pewartaan katekis atau pastor yagn paling tak dikenal di negeri yang paling terpencil mewartakan Injil, menghimpun jemaatnya yang kecil atau menerimakan sakramen, juga seorang diri, ia sedang menjalankan tindakan gerejawi, dan tindakannya pasti tergabungkan pada kegiatan evangelisasi seluruh Gereja melalui hubungan-hubungan kelembagaan, tetapi juga melalui kaitan-kaitan mendalam yang tak kelihatan pada tingkat rahmat. Itu mengadandaikan bahwa ia bertindak bukan atas perutusan yang dianggapnya berasal dari dirinya atau atas ilham perorangan, melainkan dalam persatuan dengan misi Gereja dan atas namanya.
            Dari situ lahirlah keyakinan kedua: bila siapa pun mewartakan Injil atas nama Gereja, yang menjalankannya juga atas perintah Tuhan, tak seorang pun pewarta berdaulat mutlak atas tindakannya mewartakan Injil, seolah-olah ia berwenang memilih dan melakukannya menurut norma-norma dan perpektif-perpektifnya secara perorangan. Ia bertindak dalam persekutuan dengan Gereja beserta para gembalanya.
            Telah kami kemukakan, bahwa Gereja seluruhnay dan selengkapnya mewartakan Injil. Itu berarti bahwa, di seluruh dunia dan di tiap wilayah dunia tempat Gereja hadir, ia merasa bertanggungjawab atas tugas menyiarkan Injil.

61.Saudara-saudar dan putera-puteri terkasih, pada tahap refleksi kita sekarang ini kami hendak berhenti sejenak bersama Anda, untuk menelaah soal, yagn pada zaman ini sungguh penting sekali. Dalam perayaan liturgi, dalam kesaksian mereka di hadapan para hakim serta para pelaksana, begitu pula dalam karya tulis mereka untuk membela iman, umat Kristiani pertama dengan sukarela mengungkapkan ian mereka yang mendalam akan Gereja dengan menggambarkannya sebagai tersebar di seluruh dunia. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa mereka termasuk jemaat yang besar dan tak dapat dibatasi oleh ruang atau kurun waktu: ”Dari Abel yang benar hingga yang terakhir di antara kaum terpilih”[87], ”sampai di segala penjuru dunia”[88], ”hingga akhir zaman”[89].
            Begitulah Tuhan menghendaki Gereja-Nya: universal, suatu pohon besar, yang cabang-cabangnya menaungi burung-burung di udara[90], jala yang menyaring segala macam ikan[91], atau yang diangkat oleh Petrus penuh dengan seratus lima puluh tiga ikan besar[92], kawanan yang digembalakan oleh satu gembala[93]. Gereja semesta tanpa perbatasan kecuali batas-batas hati dan budi dan manusia pendosa.


62. Meskipun begitu Gereja semsta kenyataannya menjelma dalam Gereja-Gereja setempat, terdiri dari sebagian konkret umat manusia, menggunakan bahasa tertentu, mewaris pusaka budaya, pandangan dunia, masa silam, dan terletak pada lapisan manusiawi yang khas. Sikap terbuka bagi kekayaan Gereja masing-masing sesuai dengan kepekaan khas manusia modern.
            Marilah sangat berhati-hati, jangan menganggap Gereja semesta sebagai jumlah, atau-kalau boleh dikatakan begitu-perserikatan kurang-lebih campur-baur Gereja-Gereja yang banyak berbeda antara mereka. Menurut maksud Tuhan gereja bersifat universal karena panggilan dan perutusannya. Tetapi bila berakar dalam kemajemukan bidang budaya, sosial dan manusiawi, Gereja mengenakan ungkapan-ungkapan serta penampilan-penampilan lahiriah yang serba berbeda di tiap bagian dunia.
            Maka tiap Gereja, yang dengan sengaja memisahkan diri dari Gereja semesta, akan kehilangan hubungannya dengan Rencana Allah, dan mengalami pemiskinan dalam dimensi gerejawinya. Akan tetapi sementara itu, seandainya Gereja melulu ”toto orbe diffusa” (meliputi seluruh dunia), akan menjadi abstraksi, kalau tidak mendarah-daging justru melalui Gereja-Gereja setempat. Hanya bila kedua kutub Gereja itu terus diperhatikan, kita akan mampu menangkap kekayaan hubungan antara Gereja semesta dan Gereja-Gereja lokal.

63. Gereja-Gereja itu, yang mencakup dalam dirinya bukan hanya orang-orang, melainkan juga aspirasi-aspirasi, kekayaan serta sifat terbatasnya, pelbagai cara berdoa, mengasihi, memandang kehidupan dan dunia, yang membedakan pelbagai kelompok manusia, bertugas mengolah hakikat amanat Injil dan-tanpa sedikitpun mengkhianati kebenaran hakikinya-menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh kelompok yang khusus itu, kemudian mewartakannya dalam bahasa itu.
            Penerjemahan harus dijalankan dengan arif dan serius, sikap hormat dan kompetensi yang dibutuhkan di bidang ungkapan liturgis[94], dan di gelanggang katekese, perumusan teologis, tata-susunan gerejawi yang sekunder, serta pelayanan-pelayanan. Dan istilah ”bahasa” di sini hendaklah dimengerti tidak terutama dalam arti semantis atau harafiah, melainkan terutama dalam arti yang dapat disebut antropologis dan budaya.
            Pastilah soalnya cukup rumit. Pewartaan Injil banyak kehilangan kekuatan dan daya-gunanya kalau tidak mempertimbangkan: secara konkret ditujukan kepada siapa saja, kalau tidak menggunakan bahasa mereka, tanda-tanda dan lambang-lambang mereka, kalau tidak menanggapi soal-soal yang mereka tanyakan, dan kalau tidak mempunyai dampak atas hidup konkret mereka. Tetapi di lain pihak ada risiko evangelisasi kehilangan kekuatannya bahkan sama sekali menghilang, kalau artinya dikosongkan atau diubah dengan dalih mengalih-bahasakannya, dengan kata lain, kalau kenyataan itu dikurbankan dan kesatuannya dihancurkan, padahal itu mutlak perlu bagi sifat universalnya, melulu karena orang mau menyesuaikan kenyataan universal dengan situasi lokal. Padahal, hanya gereja yang tetap memelihara kesadaran akan sifat semestanya, dan menunjukkan bahwa memang bersifat universal, mampu membawakan amanat yang dapat didengarkan oleh semua orang, tanpa menghiraukan batas-batas regional.
            Bila Gereja-Gereja setempat mendapat perhatian sewajarnya, mau tak mau Gereja akan diperkarya. Perhatian itu mutlak perlu dan mendesak. Dan memang sesuai dengan aspirasi-aspirasi yang sangat mendalam pada bangsa-bangsa serta rukun-rukun hidup manusiawi untuk kian jelas menemukan jatidiri mereka.

 64. Akan tetapi supaya Gereja diperkaya, Gereja-Gereja setempat harus tetap terbuka sepenuhnya bagi Gereja semesta. Lagi pula cukup menyolok, bahwa umat Kristiani yang paling sederhana, mereka yang paling setia terhadap Injil dan paling terbukan bagi makna sejati Gereja, mempunyai kepekaan spontan dan sepenuhnya terhadap dimensi universal itu. Secara naluri mereka sangat merasa membutuhkannya, mereka mudah mengenali diri dalam dimensi itu. Mereka ikut merasakannya, dan sangat menderita bila, atas nama teori-teori yang tidak mereka fahami, mereka terpaksa menerima suatu Gereja tanpa sifat semesta itu, suatu Gereja daerah melulu tanpa cakrawala.
            Seperti ternyata dari sejarah, bila suatu Gereja khusus memisahkan diri dari Gereja semesta dan dari pusatnya yang hidup dan nampak-ada kalanya dengan maksud-maksud baik sekali, berdasarkan argumen-argumen teologis, sosiologis, politik atau pastoral, atau bahkan karena menghendaki kebebasan tertentu untuk bergerak dan bertindak-hanya dengan sukar sekali mengelakkan (kalau memang menghindarinya) dua bahaya yang sama gawatnya. Bahaya pertama ialah isolasionisme yang makin rancu, dan kemudian , takkan lama lagi, keruntuhan gereja setempat, yang tiap selnya akan menceraikan diri dari padanya, tepat seperti Gereja itu meninggalkan intinya yang sekaligus pusatnya. Bahaya kedua yakni: kehilangan kebebasannya, bila Gereja-terlepaskan dari pusatnya dan dari Gereja-Gereja lain yang memberi keteguhan dan kekuatan-menemukan dirinya sendirian semata-mata, serta menjadi bulan-bulanan bagi kekuatan-kekuatan yang sangat majemuk, serba memperbudakkan dan menghisap.
            Semakin Gereja khusus menyatu dengan Gereja semesta karena ikatan persekutuan yang mantap, dalam cintakasih dan loyalitas, dengan sikap menerima terhadap Magisterium Petrus, dalam kesatuan ”lex orandi” (hukumberdoa) yang sekaligus ”lex credendi” (hukum beriman) dalam keinginan akan kesatuan bersama semua Gereja lainnya yang mewujudkan keseluruhan-semakin Gereja itu akan mampu mengalih-bahasakan perbendaharaan iman ke dalam kemajemukan yang sewajarnya mengenai ungkapan-ungkapan pengakuan iman, doa dan ibadat , kehidupan serta perilaku Kristiani, dan pengaruh rohaniatas masyarakat tempatnya berada. Gereja itu akan makin sungguh mewartakan Injil juga , maksudnya: mampu menggali pusaka-warisan semesta untuk memampukan umatnya sendiri mendapat manfaat dari padanya, mampu pula menyalurkan kepada Gereja semesta pengalaman serta kehidupan umatnya sehingga berguna bagi semua anggota.

65. Justru dalam arti itulah pada penutupan Sinode terakhir kami sampaikan amanat yang jelas penuh kasih kebapaan, dan kami tekankan peranan pengganti Petrus selaku prinsip yang kelihatan, hidup dan dinamis, mendasari kesatuan antara Gereja-Gereja, dan dengan demikian prinsip kesemestaan Gereja yang tunggal[95]. Kami garisbawahi juga tanggung jawab berat kami, tetapi yang kami tanggung bersama dengan Saudara-Saudara kami semartabat Uskup, untuk tetap menjaga keutuhan isi iman Katolik, yang oleh Tuhan dipercayakan kepada para Rasul. Sementara diterjemahkan ke dalam segala ungkapannya, isi itu tidak boleh dirugikan atau dikurangi. Sementara mengenakan bentuk-bentuk lahir yang khas bagi tiap  bangsa, dan dijabarkan denganjelas melalui ungkapan teologis, yang mengindahkan lingkungan budaya, sosial dan bahkan kesukuan yang serba berbeda, isi itu harus tetap merupakan isi iman Katolik, persisi seperti Magisterium gerejawi telah menerima dan menyalurkannya.

KEMAJEMAKAN TUGAS-TUGAS.

 66. Oleh kaerna itulah seluruh Gereja dipanggil untuk mewartakan Injil. Tetapi di dalam Gereja harus dilaksanakan berbagai tugas evangelisasi. Keragaman pelayanan dalam kesatuan misi yang sama itu mewujudkan kekayaan dan keindahan pewartaan Injil. Tugas-tugas itu dengan singkat akan kami ulas.
            Pertama kami  tunjukkan pada halaman-halaman Injil kesungguhan Tuhan, ketika meneyrahkan kepada para Rasul tugas mewartakan sabda. Ia memilih mereka[96], membina mereka dalam pergaulan erat selama beberapa tahun[97], mengangkat[98] dan mengutus mereka[99] sebagai saksi dan guru berwenang penuh untuk menyampaikan amanat keselamatan. Kemudian Duabelas Rasul mengutus para pengganti mereka, yang dalam jalur penggantian mereka melanjutkan misi mewartakan kabar gembira.

67. Jadi atas kehendak Kristus pengganti Petrus diserahi pelayanan luhur sekali, yakni mengajarkan kebenaran yang diwahyukan. Acap kali Perjanjian Baru menampilkan Petrus ”penuh dengan Roh Kudus” berbicara atas nama semua murid[100]. Justru itulah alasannya mengapa St. Leo Agung melukiskannya sebagai dia yang selayaknya menerima posisi utama dalam kerasulan[101]. Itu  pula sebabnya mengapa suara Gereja menampilkan paus” pad atitik puncak-”in apice, in specula” –kerasulan”[102]. Konsili Vatikan II bermaksud menegaskannya lagi, ketika menyatakan, bahwa ”perintah Kristus mewartakan kabar gembira kepada tiap makhluk (bdk. Mrk 16:15) pertama-tama dan secara langsung menyangkut para Uskup bersama Petrus dan di bawah Petrus”[103].
            Kewenangan penuh tertinggi dan universal[104], yang oleh Kristus diberikankepada wakil-Nya untuk pembimbingan pastoral Gereja-Nya, dengan demikian secara khas dilaksanakan oleh Paus dalam kegiatan pewartaan dan usahanya, supaya warta gembira keselamatan disebarluaskan.

 68. dalam eprsatuan dengan pengganti Petrus, para Uskup yang menggantikan para Rasul melalui kuasa tahbisan episkopal mereka menerima kewenangan untuk mengajarkan kebenaran yang diwahyukan dalam Gereja. Merekalah guru-guru iman.
            Tergabungkan pada para Uskup dalam pelayanan mewartakan Injil, sekaligus juga bertanggung jawab atas dasar yang khas, ialah mereka yang karena tahbisan imamat ”bertindak dalam pribadi Kristus”[105]. Merekalah pembina umat Allah dalam iman dan pewarta, pun sekaligus pelayan Ekaristi dan sakramen-sakramen lainnya.
            Oleh karena itu kita para gembal adiundang untuk memperhatikan tugas itu, lebih dari para anggota Gereja mana pun juga. Yang merupakan ciri khas pelayanan kita sebagai imam menyatukan secara mendalam seribu satu tugas, yang dari hari ke hari menuntut perhatian dan seumur hidup kita, lagi pula memberi ciri tersendiri kepada kegiatan-kegiatan kita ialah tujuan ini yang selalu dalam segala tindakan kita, yakni: menyiarkan warta gembira tentang Allah[106].
            Suatu corak jatidiri kita yang pantang disangsikan atau digoyahkan oleh keberatan mana pun yakni: selaku gembala, kita-kendati kurang memadai-berkat kerahiman Sang Gembala Tertinggi[107], telah dipilih untuk mewartakan dengan kewibawaan sabda Allah; untuk menghimpun umat-Nya yagn tercerai-berai; untuk memelihara umat memakai lambang-lambang tindakan Kristus, yakni sakramen-sakramen; untuk menempatkan umat pada jalan menuju keselamtan; untuk melestarikannya dalam kesatuan,-untuk itu kita di berbagai tingkat menjadi upaya yang aktif dan hidup; dan untuk tiada hentinya menjaga agar persekutuan yang terhimpun sekitar Kristus tetap setia kepada panggilannya yang terdalam. Kalau semuanya kita jalankan dalam batas kemampuan insani kita dan berkat rahmat Allah, pewartaan Injilah yang sedang kita lakukan . Karya itu menyangkut diri kami sendiri sebagai gembala Gereja semesta, Saudara-Saudara kami para Uskup pemimpin Gereja-Gereja khusus, para imam dan diakon dalam persatuan dengan Uskup-Uskup yang mereka bantu, berdasarkan persekutuan yang bersumber pada sakramen Tahbisan dan cintakasih Gereja.

69. Para religius menemukan dalam hidup bakti mereka upaya yang luar biasa untuk mewartakan Injil secara efektif.
            Pada inti terdalam hidup mereka terintegrasikan dalam dinamisme kehidupan Gereja, yang haus akan Nan Mutlak ilahi dan dipanggil untuk kekudusan. Kekudusan itulah yang menajdi pokok kesaksian mereka. Mereka mengejawantahkan gereja dalam keinginannya untuk mempertaruhkan diri seutuhnya demi tuntutan radikal Sabda Bahagia. Karena perihidup mereka menjadi tanda kesediaan sepenuhnya untuk mengabdi Allah, Gereja dan sesama. Karena kesediaan itu mereka secara khas relevan dalam konteks kesaksian, yang seperti telah kami katakan penting sekali dalam pewartaan Injil. Sekaligus, sebagai tantangan terhadap dunia dan Gereja sendiri, kesaksian tanpa kata-kata akan kemiskinan dan ingkar diri, akan kemurnian dan ketulusan, akan pengurbanan diri dalam ketaatan, dapat menjadi kesaksian penuh makna, yang mampu menyentuh hati umat bukan-Kristiani juga, yang beriktikad baik dan peka terhadap nilai-nilai tertentu.
            Dalam perspektif itu jelaslah peranan yang dlaam pewartaan Injil dijalankan oleh pria maupun wanita relifius, yang membaktikan diri bagi doa, berdiam diri, ulahtapa dan pengurbanan. Kaum religius lain, yang berjumlah besar, secaralangsung membaktikandiri bagi pewartaan Kristus. Kegiatan misioner mereka jelas tergantung dari hirarki, dan perlu dikoordinasi dengan rencana pastoral yang dilaksanakan oleh hirarki. Tetapi siapakah tidak melihat sumbangan tiada taranya yang telah dan tetap diberikan ioleh para religius kepada pewartaan Injil? Berkat pentakdisan mereka mereka secara istimewa bersedia dan bebas untuk meninggalkan segalnya danpergi serta mewartakan Injil bahkan sampai ke penjuru dunua. Mereka penuh semagnat kerja dan kerasulan mereka sering diwarnai sifat asli, ditandai kreativitas yagn mengagumkan. Mereka berjiwa besar: sering mereka dijumpai di pelosok-pelosok misi, dan mereka sanggup menghadapi risiko terbesar bagi kesehatan dan bahkan hidup mereka sendiri. Gereja sungguh banyak berhutang budi kepada mereka.

70. Umat awam, yang karena panggilan khas berada di tengah masyarakat, dan bertanggung jawab atas tugas-tugas duniawi yang sangat beraneka, justru karena alasan itu harus menjalankan bentuk pewartaan Injil yang sangat istimewa.
            Tugas mereka yagn utama dan langsung bukan mendirikan dan mengembangkan jemaat gerejawi-itu tugas khas para gembala-melainkan memanfaatkan tiap kemungkinan Kristiani dan Injili, yang terselubung tetapi sudah ada dan aktif dalam perkara-perkara dunia. Bidang yang khusus bagi mereka untuk mewartakan Injil ialah dunia politik, masyarakat dan perekonomian, yang luas dan penuh masalah, tetapi juga dunia kebudayaan, ilmu-pengetahuan dan kesenian, kehidupan internasional, media komunikasi sosial. Termasuk juga kenyataan-kenyataa lain yang terbuka bagi evangelisasi, misalnya cintakasih manusiawi, keluarga pendidikan anak-anak dan kaum remaja, kerja profesional, penderitaan. Semakin banyak umat awam berjiwakan Injil yang  berkecimpung dalam kenyataan-kenyataan itu, jelas-jelas melibatkan diri, cakap untuk membawa kemajuan, dan sadar bahwa mereka diharapkan mengerahkan sepenuhnya potensi-potensi Kristiani mereka, yagn sering terpendam dan tercekam, semakin kenyataan-kenyataan itu akan diabdikan kepada Kerajaan Allah, dan karena itu kepada penyelamatan dalam Yesus Kristus, tanpa bagaimana pun juga kehilangan atau mengurbankan makna manusiawinya, melainkan menunjuk kepada dimensi transenden, yang sering diabaikan.

71. Tidak dapat diabaikan penekanan pada kegiatan keluarga mewartakan Injil dalam kerasulan evangelisasi umat awam. Pada berbagai saat dalam sejarah Gereja, begitu pula dalam Konsili Vatikan II, keluarga memang selayaknya mendapat gelar indah ”Gereja keluarga”[108]. Itu berarti, bahwa di tiap keluarga Kristiani harus terdapat pelbagai aspek seluruh Gereja. Lagi pula keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat Injil disalurkan, dan memancarkan Injil.
            Dalam keluarga yang menyadari misi itu, semua anggota mewartakan Injil dan mengalami penginjilan. Orangtua tidak hanya menyalurkan Injil kepada anak-anak mereka, melainkan dari anak-anak pun mereka sendiri dapat menerima Injil, sebagaimana mereka hayati secara mendalam.
            Dan keluarga seperti itu menjadi pewarta Injil bagi banyak keluarga lainnya dan bagi lingkungan mereka. Keluarga-keluarga berdasarkan pernikahan campur pun wajib mewartakan Kristus kepada anak-anak sebagai konsekuensi penuh Baptis bersama; selain itu mereka mempunyai tugas yang sukar, yakni membangun kesatuan.

72. Situasi mengundang kami untuk secara khas menyebutkan kaum muda. Meningkatnya jumlah mereka, dan bertumbunya kehadiran mereka dalam masyarakat, begitu pula masalah persoalan yagn menyerbu mereka, harus membangkitkan pada siapa pun keinginan untuk penuh semangat dan pengertian menyajikan kepada mereka cita-cita Injili, supaya dikenal dan dihayati. Dan di lain pihak, kaum muda yang dibina dengan baik dalam iman dan doa harus makin mnejadi rasul-rasul kaum muda. Gereja banyak mengandalkan sumbangan mereka, dan kami sendiri sudah sering menyatakan kepercayaan kami sepenuhnya terhadap mereka.

73. Dengan demikian kehadiran aktif umat awam dalam kenyataan-kenyataan duniawi ternyata penting sekali. Akan tetapi tidak dapat diabaikan atau dilupakan dimensi lainnya: umat awam dapat juga merasa diri terpanggil, atau memang dipanggil, untuk bekerja sama dengan para gembala mereka dalam pelayanan kepada jemaat gerejawi, demi pertumbuhan serta kehidupannya, dengan menjalankan aneka macam pelayanan menurut rahmat serta karisma-karisma yang Tuhan berkenan mengurniakan kepada mereka.
            Kami tak dapat lain kecuali mengalami kegembiraan batin yang besar, menyaksikan sekian banyak gembala, religius dan umat awam, yang penuh semangat menunaikan misi mereka mewartakan Injil, dan mencari cara-cara yang makin cocok untuk secara efektif mewartakan Injil. Kami dorong sikap terbuka, yang dewasa ini ditunjukkan oleh Gereja ke arah itu dan penuh kepedulian. Itulah terutama sikap terbuka bagi renungan, kemudian bagi pelayanan-pelayanan gerejawi yang dapat membaharui dan meneguhkan semangat mewartakan Injil dalam Gereja.
            Sudah pastilah, di samping pelayanan-pelayanan berdasarkan tahbisan,-di situ orang-orang tertentu diangkat menajdi gembala dan secara khas membaktikan diri untuk melayani jemaat,-Gereja mengakui posisi pelayanan-pelayanan tanpa tahbisan, yang dapat memberi pelayanan khusus kepada Gereja.
            Selayang pandang atas awalmula Gereja menjelaskan banyak hal, dan memberi keuntungan pengalaman awal tentang pelayanan-pelayanan. Pengalaman itu makin tinggi nilainya, karena memungkinkan Gereja memantapkan diri, berkembang dan kian meluas. Akan tetapi perhatian terhadap sumber-sumber perlu dilengkapi dengan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan umat manusia maupun Gereja zaman sekarang. Menimba dari sumber-sumber yagn selalu kaya inspirasi tanpa mengurbankan nilai-nilainya yang mana pun, dan sekaligus tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan serta kebutuhan-kebutuhan masa kini-itulah tolak-ukur yang memungkinkan  orang mencari dengan bijaksana dan menemukan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan oleh Gereja, dan yang akan disanggupi dengan gembira oleh banyak anggotanya untuk menjamin gairah hidup yang lebih besar dalam jemaat gerejawi. Pelayanan-pelayanan itu akan memiliki nilai pastoral yang nyata, sejauh diselenggarakan dengan sikap hormat sepenuhnya terhadap kesatuan, sementara pedoman-pedoman para gembala dipatuhi; sebab merekalah yang bertanggung jawab atas kesatuan Gereja dan membangunnya.
            Pelayan-pelayan itu nampaknya saja baru, tetapi berkaitan erat dengan pengalaman nyata Gereja dari abad ke abad, misalnya katekis, pemimpin doa  dan nyanyian, orang-orang Kristiani yang melayni sabda Allah atau menolong sesama dalam kebutuhan mereka, pemuka jemaat-jemaat kecil, atau orang-orang lain yang bertanggung jawab atas gerakan-gerakan kerasulan. Pelayanan-pelayanan itu berharga sekali bagi pembentukan, kehidupan dan pertumbuhan Gereja, dan bagi kemampuannya mempengaruhi lingkungannya dan menjangkau mereka yang jauh dari padanya. Sudah selayaknya pula kami nyatakan penghargaan istimewa kami terhadap semua awam, yang sungguh membaktikan sebagian waktu dan tenaga mereka, dan ada kalanya seluruh hidup mereka, untuk melayani misi-misi.
            Dibutuhkan persiapan yang sungguh baik bagi semua yang berkarya dalam evangelisasi. Persiapan itu makin perlu bagi mereka yang membaktikan diri bagi pelayanan sabda. Dijiwai oleh keyakinan yang terus menerus diperdalam akan keagungan dan kekayaan sabda Allah, mereka yang diutus menyalurkannya harus memberi perhatian sebesar mungkin kepada keanggunan, kecermatan dan penyesuaian bahasa mereka. Siapa pun tahu bahwa sekarang ini seni-wicara sungguh penting sekali. Bagaimana mungkin para pewarta dan katekis mengabaikannya? Dengan sungguh kami inginkan, agar di tiap Gereja Uskup betul-betul memperhatikan pembinaan yang memadai bagi semua pelayan sabda. Persiapan yang sungguh baik itu akan meningkatkan keyakinan yang mereka butuhkan dan semangat mereka untuk sekarang mewartakan Yesus Kristus.

VII

MEWARTAKAN DALAM KUASA ROH KUDUS

 74. Kami tidak hendak mengakhiri perjumpaan dengan Saudara-Saudari dan putera-puteri kami yang terkasih tanpa menyampaikan seruan yang mendesak tentang sikpa-sikap batin, yang harus menjiwai mereka yang berkarya dalam pewartaan Injil.
            Demi Rasul Petrus dan Paulus kami ingin mendorong semua saudara-saudari , yang berkat karisma-karisma Roh Kudus maupun atas perintah Gereja, menjadi pewarta Injil yang sejati, supaya dengan pantas menghayat panggilan itu, melaksanakannya tanpa terhambat oleh kebimbangan atau rasa takut, dan jangan melalaikan persyaratan, yang tidak hanya akan memungkinkan pewartaan Injil, melainkan mengaktifkan dan menyuburkannya juga. Berikut inilah-di antara sekian banyak lainnya-syarat-syarat mendasar, yang kami anggap penting ditekankan.

75. Pewartaan Injil tak pernah akan mungkin tanpa karya Roh Kudus. Roh turun atas Yesus dari Nazareth pada saat Ia dibaptis, ketika suara Bapa-”Inilah Putera-Ku yang terkasih, Aku berkenan pada-Nya”[109] -secara lahir memaklumkan pemilihan Yesus dan perutusan-Nya. Yesus ”dibimbing oleh Roh” untuk mengalami di padang gurun perjuangan yang menentukan dan ujian mutakhir sebelum memulai misi-Nya[110]. ”Dalam kuasa Roh”[111]-lah Ia kembali ke Galilea dan mengawali pewartaan-Nya di Nazareth dengan mengenakan pada Diri-Nya nas nabi Yesaya: ”Roh Tuhan turun atas Diri-Ku”. Dan Ia menyatakan: ”Hari ini terpenuhilah nas Kitab ini”[112]. Kepada para murid yang akan diutus-Nya Ia berkata sambil menghembusi mereka: ”Terimalah Roh Kudus”[113].
            Baru sesudah Roh Kudus turun pada hari Pentekostalah para Rasul bertolak ke segala penjuru bumi, untuk memulai karya agung Gereja mewartakan Injil. Petrus menjelaskan peristiwa itu sebagai pemenuhan nubuat Yoel: ”Aku akan mencurahkan Roh-Ku”[114]. Petrus penuh dengan Roh Kudus[115] , sehingga ia mampu berbicara kepada umat tentang Yesus Putera Allah[116]. Paulus pun dipenuhi oleh Roh Kudus, sebelum ia membaktikan diri kepada pelayanan kerasulannya, seperti Stefanus juga ketika ia dipilih untuk tugas pelayanan dan kemudian untuk kesaksian berdarah[117]. Roh, yang mendorong Petrus, Paulus dan Duabelas untuk berbicara, dan yang mengilhamkan kata-kata yang harus mereka ucapkan, turun juga ”atas mereka yang mendengarkan sabda”[118].
            Dalam ”penghiburan Roh Kudus”-lah Gereja berkembang[119]. Roh Kudus ialah jiwa Gereja. Dialah yang menjelaskan kepada umat beriman makna mendalam ajaran Yesus dan misteri-Nya. Roh Kuduslah yang sekarang seperti pada awal Gereja, berkarya dalam tiap pewarta Injil, yang membiarkdan diri dirasuki dan dituntun oleh-Nya. Roh Kudus menaruh ke dalam mulutnya kata-kata, yang tidak dapat ditemukannya sendiri, dan sekaligus Roh Kudus pula yang menyiapkan jiwa pendengar untuk membuka diri dan menerima warta gembira, serta bagi Kerajaan yang sedang diwartakan.
            Teknik-teknik pewartaan Injil baik saja. Akan tetapi teknik yang paling maju pun tidak dapat menggantikan karya Roh yang serba halus. Persiapan pewartaan Injil yang paling sempurna pun tidak ada buahnya tanpa Roh Kudus. Tanpa Roh penalaran yang paling meyakinkan pun tidak berkuasa atas hati manusia. Tanpa Roh program-program yang paling canggih pun, yang mempunyai dasar sosiologis atau psikologis, cepat akan ternyata tiada nilainya sama sekali.
            Kita hidup dalam Gereja pada saat Roh yang istimewa. Di mana pun orang-orang berusaha mengenal-Nya makin baik, seprti diwahyukan oleh Kitab Suci. Mereka berbahagia menaruh diri di bawah inspirasiNya. Mereka berkumpul di sekitar-Nya. Mereka hendak membiarkan diri dituntun oleh-Nya. Nah, kalau Roh Allah mempunyai tempat yang istimewa dalam seluruh kehidupan Gereja, apa lagi dalam misi Gereja untuk mewartakan Injilah Ia paling aktif. Bukan kebetulan saja permulaan agung evangelisasi berlangsung pada pagi hari Pentekosta, berkat inspirasi Roh.
            Perlu dikatakan bahwa Roh Kuduslah Pelaku utama evangelisasi: Dialah yang mendorong tiap orang supaya mewartakan Injil; Dia pula yang dilubuk hati orang-orang menyebabkan sabda keselamatan diterima dan dimengerti[120]. Akan tetapi dapat dikatakan juga, bahwa Dialah tujuan pewartaan Injil. Dialahsatu-satunya yang membangkitkan ciptaan baru, umat manusia baru yang harus berbuah-hasil dalam pewartaan Injil, dengan kesatuan dalam kemacam-ragamannya, yang mau dicapai melalui evangelisasi dalam jemaat Kristiani. Berkat karya Roh Kudus Injil memasuki hati dunia; sebab Dialah yang membimbing umat menjalankan penegasan terhadap tanda-tanda zaman, yang dikehendaki oleh Allah. Pewartaan Injil menyingkapkan dan memanfaatkan tanda-tanda itu dalam sejarah.
            Sinode para Uskup tahun 1974, yang cukup kuat menekankan peranan Roh Kudus dalam pewartaan Injil, menyatakan keinginannya juga, agar para gembala dan para teolog-dan kami ingin menambahkan: umat beriman yang ditandai meterai Roh pada Baptis- mempelajari secara lebih mendalam hakikat dan cara Roh Kudus berkarya dalam pewartaan Injil zaman sekarang. Itulah yang kami inginkan juga. Dan kami mendorong semua pewartaan Injil,  siapa pun mereka itu, untuk tiada hentinya berdoa kepada Roh Kudus penuh iman dan semangat , serta membiarkan diri dituntun dengan kebijaksanaan oleh Dia sebagai Pengilham yang menentukan bagi rencana-rencana, prakarsa-prakarsa, dan kegiatan mereka mewartakan Injil.

SIFAT-SIFAT PEWARTA INJIL

76. Marilah kita pandang pribadi para pewarta Injil sendiri. Sekarang sering dikatakan bahwa abad ini haus akan keaslian. Khususnya mengenai kaum muda dikatakan: mereka muak akan apa saja yang dibuat-buat atau palsu, dan terutama mereka sedang mencari kebenaran dan kejujuran.
            ”Tanda-tanda zaman” itu hendaklah menjadikan kita waspada. Diam-diam atau lantang-tetapi selalu dengan tegas-kita ditanya: Benarkah anda sungguh mengimani apa yang anda wartakan? Benarkah anda hayati apa yang anda imani? Lebih dari sebelum ini kesaksian kehidupan merupakan syarat pokok, supaya pewartaan sungguh efektif. Justru karena itulah dalam arti tertentu kita bertanggung jawab atas kemajuan Injil yang kita wartakan.
            ”Bagaimanakah keadaan Gereja sepuluh tahun seusai Konsili?”, Begitulah kamitanyakanpada awal renungan ini. Benarkah posisinya mantap di tengah masyarakat, tetapi toh cukup bebas dan tidak tergantung, sehingga mampu meminta perhatian dunia? Benarkah Gereja memberi kesaksian akan solidaritas dengan rakyat, dan sekaligus akan Nan Mutlak yang ilahi? Benarkah Gereja lebih berkobar dalam kontemplasi dan sembah-sujud dan lebih bersemangat dalam kegiatan misioner, amal kasih dan pembebasan? Lebih penuhkah komitmen Gereja terhadap usaha memperjuangkan pemulihan kesatuan umat Kristiani seutuhnya, kesatuan yang meningkatkan efektifnya kesaksian bersama, ”supaya dunia percaya”?[121] Kita semua bertanggung jawab atas tanggapan-tanggapan yang dapat diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan itu.
            Oleh karena itu anjuran kami ini kami tujukan kepada Saudara-Saudara kami dalam martabat Uskup, yang oleh Roh Kudus diangkat untuk memimpin Gereja[122]. Kami sampaikan anjuran ini kepada para imam dan diakon, rekan-rekan sekerja para Uskup dalam menghimpun umat Allah dan memberi penjiwaan rohani kepada jemaat-jemaat setempat. Anjuran ini kami arahkan kepada kaum religius, saksi-saksi Gereja yang dipanggil untuk kekudusan, dan karena itu mereka sendiri diundang untuk perihidup yang memberi kesaksian akan Sabda Bahagia menurut Injil. Kami sampaikan anjuran ini kepada umat awam: keluarga-keluarga Kristiani, anak-anak muda, kaum dewasa, semua saja yang menjalankan perdagangan atau profesi, para pemimpin, tanpa melupakan kaum miskin, yang sering justru kaya dalam iman dan harapan –seluruh umat awam yang menyadari peranan mereka mewartakan Injil dalam pengabdian kepada Gereja atau di tengah masyarakat dan dunia. Kepada mereka semua kami serukan: semangat kita mewartakan Injil harus bersumber pada kekudusan hidup yang sejati, dan – seperti disarankan oleh Konsili Vatikan II-pewartaan, sendiri harus mendorong pewarta untuk berkembang dalam kekudusan, yang dipupuk melalui doa dan terutama melalui cintakasih terhadap Ekaristi[123].
            Kendati – secara paradoksal – tidak terbilang tanda-tanda pengingkaran terhadap Allah, dunia toh masih merindukan Dia dengan cara-cara yang tak terduga, dan mempunyai pengalaman yang menyakitkan tentang kebutuhan akan Dia. Dunia membutuhkan pewarta-pewarta Injil untuk berbicara kepadanya tentang Allah, yang mereka sendiri harus mengenal dan menyapa dengan akrab, seolah-olah mereka dapat melihat yang tidak nampak[124]. Dunia memerlukan dan mengharapkan dari kita kehidupan yang ugahari, semangat doa, cintakasih terhadap siapa saja, khasnya terhadap mereka yang dina dan miskin, ketaatan dan kerendahan hati, sikap lepas-bebas dan pengurbanan diri. Tanpa ciri kekudusan itu, perkataan kita akan mengalami kesukaran menyentuh hati manusia modern. Kata-kata itu menghadapi risiko percuma saja dan mandul.

 77. Daya-kekuatan evangelisasi akan banyak berkurang, bila dengan pelbagai cara para pewarta Injil terpecah-belah antara mereka sendiri. Tidakkah itu barangkali salah-satu penyakit parah dalam pewartaan Injil zaman sekarang? Memang, jika Injil yang kita wartakan nampak tersobek-sobek oleh berbagai perdebatan tentang ajaran, beberapa polarisasi ideologis, atau kecaman-kecaman timbal-balik di kalangan umat Kristiani, jika Injil menjadi kurban pandangan-pandangan mereka yang berbeda-beda tentang Kristus dan Gereja, bahkan juga karena beraneka macam pengertian mereka tentang masyarakat dan lembaga-lembaga manusiawi, bagaimana mungkin mereka yang kita sapa dengan pewartaan kita tidak terganggu, kehilangan arah, bahkan terkena oleh batu-sandungan?
            Wasiat rohani Tuhan menyatakan, bahwa kesatuan antara para pengikut-Nya tidak hanya membuktikan bahwa kita milik-Nya, melainkan juga bahw aIa diutus oleh Bapa. Kesatuan itulah batu-ujian kredibilitas (kelayakan dipercaya) umat Kristiani dan Kristus sendiri. Sebagai pewarta Injil janganlah kita menyajikan kepada umat beriman milik Kristus citra umat yang terbagi dan tercerai-berai akibat percekcokan yang berdampak merusak; melainkan citra umat yang dewasa imannya dan mampu menemukan titik temu melampaui pelbagai ketegangan yang nyata, berkat usaha kita bersama yang tulus dan tanpa pamrih untuk menemukan kebenaran. Ya, nasib evangelisasi pasti terikat pada kesaksian akan kesatuan yang diberikan oleh Gereja. Itu sumber tanggung jawab tetapi juga peneguhan.
            Di sini kami hendak menekankan tanda kesatuan antara semua orang Kristiani sebagai jalan dan upaya pewartaan Injil. Perpecahan di kalangan umat Kristiani merupakan kendala yang gawat, yang merintangi karya Kristus sendiri. Konsili Vatikan II dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa perpecahan itu ”merugikan perkara amat kudus, yakni pewartaan Injil kepada semua orang; dan menghalang-halangi banyak orang untuk iman”[125]. Karena alasan itu dalam memaklumkan Tahun Suci kami memandang perlu mengingatkan segenap umat beriman di dunia Katolik, bahwa ”sebelum semua orang dapat dihimpun dan dipulihkan kepada rahmat Allah Bapa kita, persekutuan harus dibentuk kembali antara mereka, yang karena iman telah mengakui dan merima Yesus Kristus sebagai Tuhan kerahiman, yang membebaskan umat manusia dan menyatukannya dalam Roh cintaksih dan kebenaran”[126]. Dengan cita rasa kuat harapan Kristianilah kami memandang usaha-usaha yang sedang dijalankan di dunia Kristiani untuk memulihkan kesatuan penuh yang dikehendaki oleh Kristus. St. Paulus menyatakan kepada kita bahwa ”harapan tidak mengecewakan kita”(125)[127]. Sementara kami sedang berusaha memperoleh kesatuan penuh dari Tuhan, kami ingin melihat doa ditingkatkan. Lagi pula kami bergabung dengan keinginan para Bapa Sidang Umum III Sinode para Uskup akan kerjasama yang ditandai dengan komitmen yang lebih penuh dengan saudara-saudari Kristen, yang belum bersatu dengan kita dalam kesatuan sempurna, berdasarkan Baptis dan pusaka-warisan iman kita bersama. Dengan begitu kita sudah dapat memberi kesaksian bersama yang lebih agung akan Kristus di hadapan dunia dalam karya pewartaan Injil sendiri.
            Perintah Kristus mendesak kita untuk menjalankannya. Kewajiban mewartakan injil dan memberi kesaksian tentangnya meminta itu.

78. Injil yang dipercayakan kepada kita sekaligus juga sabda kebenaran. Kebenaran itu membebaskan[128], satu-satunya yagn mendatangkan damai di hati; itulah yang dicari oleh orang-orang bila kita menyiarkan warta gembira kepada mereka. Kebenaran tentang Allah, tentang manusia dan tujuan hidupnya yang penuh rahasia, tentang dunia. Kebenaran yang sulit, yang kita cari dalam sabda Allah dan yang –sekali lagi kami ulangi-tidak kita kuasai atau kita miliki, melainkan dipercayakan kepada kita para bentara dan pelayannya.
            Setiap pewarta Injil diharapkan menghormati kebenaran, khususnya karena kebenaran yang dipelajari dan disampaikannya tidak lain kecuali kebenaranyang diwahyukan, dan karena itu partisipasi dalam kebenaran perdana, yakni Allah sendiri. Oleh karena itu pewarta Injil hendaklah seorang pribadi, yang bahkan dengan menyangkal diri dan menderita senantiasa mencari kebenaran, yang harus disalurkannya kepada sesama. Ia tidak pernah mengkhianati atau menyembunyikan kebenaran karena ingin menyenangkan hati orang-orang, untuk menimbulkan rasa kagum atau mengejutkan, atau demi originalitas atau karena ingin mempesonakan. Ia tidak menolak kebenaran. Ia tidak mengaburkan kebenaran yang diwahyukan dengan bersikap terlalu sombong untuk mencarinya, atau demi kesenangannya sendiri, atau karena takut. Ia tidak melalaikan mempelajarinya. Ia melayani kebenaran dengan kebesaran jiwa, tanpa mengabdikannya kepada dirinya.
            Kita gembala-gembala umat beriman. Pelayan pastoral kita mendorong kita melestarikan, membela dan menyalurkan kebenaran tanpa menghitung pengurbanan yang tercakup di dalamnya. Sekian banyak gembala yang ulung dan kudus meninggalkan kepada kita teladan cintakasih akan kebenaran itu. Sering sekali itu cintakasih berjiwa kepahlawanan. Allah kebenaran mengharapkan kita menjadi pembela yang waspada dan pewarta kebenaran yang sungguh mencintainya.
            Saudara-saudari yang cendekia-entah teolog, ahli tafsir Kitab Suci atau ahli sejarah-karya evangelisasi memerlukan usaha penelitian yang tak kenal lelah, lagi pula kecermatan dan kearifan dalam menyalurkan kebenaran, yang anda temukan melalui studi, tetapi yang selalu lebih agung dari hati manusia, karena kebenaran Allah sendiri.
            Para orangtua dan guru-guru, kewajiban anda-dan sekian banyak konflik zaman sekarang tidak mempermudahnya-ialah membantu anak-anak kita dan siswa-siswi anda untuk menemukan kebenaran, termasuk kebenaran keagamaan dan rohani.

79. Karya pewartaan Injil mengandaikan pada pewarta cintakasih yang makin berkembang terhadap mereka yang dilayaninya melalui pewartaan. Pola pewartaan Injil, yakni Rasul Paulus, menulis kepada umat di Tesalonika kata-kata berikut, yang menjadi program bagi kita semua: ”Dalam kasih sayang yang besar akan kamu, kami bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi”[129]. Apakah cintakasih itu? Jauh melebihi kasih seorang guru; itu kasih seorang bapak; lagi pula cinta seorang ibu[130]. Cintakasih itulah, yang oleh Tuhan diharapkan dari setiap pewarta Injil, dari setiap pembangun Gereja.
            Suatu tanda cintakasih ialah kepedulian menyampaikan kebenaran dan mengantar umat kepada kesatuan. Tandanya yang lain ialah dedikasi untuk mewartakan Yesus Kristus, tanpa reserve atau mundur.
            Marilah kita tambahkan bebarapa tanda lainnya untuk cintakasih itu. Pertama: sikap hormat terhadap situasi keagamaan dan rohani mereka yang menerima pewartaan Injil. Sikap hormat terhadap kecepatan daya tangkap mereka; tidak seorang pun  berhak memaksa mereka secara berlebihan. Sikap hormat terhadap hatinurani maupun keyakinan-keyakinan mereka, yang tidak boleh diperlakukan dengan kasar.
            Suatu tanda cintakasih lainnya yakni kepedulian untuk tidak melukai hati sesama, khususnya kalau ia lemah imannya[131], dengan pernyataan-pernyataan, yang barangkali jelas bagi mereka yang sudah diantar untuk mendalaminya, melainkan yang bagi umat beriman dapat menimbulkan kebingungan atau batu-sandungan, bagaikan luka-luka dalam jiwa.
            Suatu tanda lain lagi bagi cintakasih ialah usaha menyampaikan kepada umat Kristiani, bukan hal-hal yang diragukan atau tidak pasti, timbul dari banyaknya pengetahuan tanpa diolah dengan baik, melainkan hal-hal yang pasti dan dapat diandalkan, karena bertumpu pada sabda Allah. Umat beriman membutuhkan hal-hal yang pasti itu bagi penghayatan Kristiani mereka. Mereka berhak atasnya, sebagai putera-puteri Allah yang menyerahkan diri sepenuhnay ke dalam tangan-Nya dan kepada tuntutan-tuntutan cintakasih.

80. Seruan kami di sini diilhami oleh semangat para pengkotbah dan pewarta Injil yang ulung, yang membaktikan hidup mereka kepada kerasulan. Kami bergembira menunjukkan di antara para pewarta itu mereka , yang telahkami ajukan untuk dihormati olehumat beriman selama Tahun Suci ini. Mereka dulu tahu bagaimana  mengatasi sekian banyak rintangan terhadap evangelisasi.
            Rintangan-rintangan semacam itu sekarang punada, dan kami akan membatasi diri dengan hanya menyebutkan tiadanya semangat. Itu  semakin gawat, karena berasal dalam. Gejala-gejalanya ialah: rasa jenuh, kekecewaan, kompromi, tidak ada minat, dan terutama tidak ada kegembiraan dan harapan. Kami anjurkan kepada mereka yang bertugas mewartakan Injil, karena alasan apa pun dan pada tingkat mana pun, untuk senantiasa memupuk semangat rohani[132].
            Semangat itu pertama-tama meminta, supaya kita tahu bagaimana mengesampingkan dalih-dalih, yang menghambat pewartaan Injil. Yagn paling gawat di antara dalih-dalih itu pasti ialah, yang menurut orang-orang tertentu didukung oleh ajaran-ajaran tertentu Konsili.
            Begitulah terlampau sering terdengar ungkapan, dengan pelbagai cara, bahwa mengharuskan menerima kebenaran, biar itu kebenaran Injil, atau mengharuskan suatu jalan, entah itu jalan keselamatan, hanyalah berarti melanggar kebebasan beragama. Selain itu, begitu ditambahkan, mengapa mewartakan Injil, kalau seluruh dunia diselamatkan berkat ketulusan hati? Kita toh tahu juga bahwa dunia dan sejarah penuh dengan ”benih-benih sabda”. Maka tidakkah itu khayalan belaka meng-”klaim” menyampaikan Injil ke tempat itu sudah terdapat dalam benih-benih yang sudah ditaburkan oleh Tuhan sendiri?
            Siapa pun yang mau bersusah-payah mempelajari dalam dokumen-dokumen Konsili soal-soal, yang bagi dalih-dalih itu menjadi landasan yang terlampau dangkal, akan menemukan pandangan yang berbeda sekali.
            Sudah pasti merupakan kesesatan, memaksakan sesuatu pada hatinurani sesama. Akan tetapi menyajikan kepada hatinurani mereka kebenaran Injil dan keselamatan dalam Yesus Kristus, secara terang-benderang dan dengan sepenuhnya menghormati pilihan-pilihan bebas yang diajukannya-”tanpa paksaan, atau penekanan yang tak terhormat dan tak layak”[133],-sama sekali bukan serangan terhadap kebebasan beragama, melainkan berarti menghormati sepenuhnya kebebasan itu, sebab kepadanya diajukan pilihan jalan, yang bahkan oleh kaum tak beriman pun dipandang luhur dan mengangkat martabat manusia. Apakah itu kejahatan melawan kebebasan sesama, untuk dengan gembira mewartakan kabar sukacita, yang mulai dikenal berkat belaskasihan Tuhan?[134] Dan mengapa hanya kepalsuan dan kesesatan, kemerosotan akhlak dan pornografi berhak dihidangkan kepada rakyat, dan sayang sekali sering dipaksakan atas mereka melalui propaganda media massa yang serba merusak, melalui toleransi perundang-undangan, akbiat rasa takut orang-orang baik dan kekebalan hati orang-orang jahat?
            Penuh hormat menyajikanKristus beserta Kerajaan-Nya merupakan lebih dari sekedar hak pewartaan Injil; itu kewajibannya. Begitu pula merupakan hak sesamanya menerima dari padanya pewartaan kabar gembira keselamatan. Allah dapat menyelenggarakan keselamatan itu pada siapa pun dikehendaki-Nya dengan cara-cara yang hanya diketahui oleh-Nya[135]. Meskipun begitu, kalau Putera-Nya datang, itu justru untuk mewahyukan kepada kita, melalui sabda dan hidup-Nya, jalan yang biasa menuju keselamatan. Dan Ia telah memerintahkan kita untuk menyalurkan perwahyuan itu kepada sesama atas kewibawaan-Nya sendiri. Akan berguna, bila tiap orang Kristiani dan tiap pewarta Injil berdoa tentang gagasan berikut: manusia dapat beroleh keselamatan juga melalui jalan-jalan lain, berkat belaskasihan Allah, juga kendati kita tidak mewartakan Injil kepada mereka. Akan tetapi dari pihak kita, dapatkah kita beroleh keselamatan karena kelalaian atau rasa takut atau malu-yang oleh St Paulus disebut ”merasa malu karena Injil”[136]-atau kalau akibat gagasan-gagasan yang salah kita tidak mewartakannya? Sebab itu akan berarti mengkhianati panggilan Allah, yang menghendaki benih subur berbuah melalui suara para pelayan Injil. Dan akan tergantung dari kita, apakah benih itu bertunas dan bertumbuh menjadi pohon dan menghasilkan buah yang sepenuhnya.
            Oleh karena itu marilah kita tetap memelihara semangat jiwa kita. Marilah kita lestarikan kegembiraan yagn menyenangkan dan menghibur hati mewartakan Injil, juga kendati dengan airmatalah kita harus menabur. Hendaklah pewartaan itu bagi kita-seperti bagi Yohanes Pembaptis, Petrus, dan Pulus, bagi para Rasul lainnya dan bagi sekian banyak pewarta Injil yang ulung di sepanjang sejarah Gereja-berarti entusiasme batin, yang tidak dapat dipadamkan oleh siapa pun atau apa pun. Semoga itu merupakan kegembiraan besar hidup kita yang ditakdiskan. Dan semoga dunia masa kini, yang sedang mencari, kadang dengan cemas-gelisah, kadang dengan berharap, dimapukan menerima warta gembira bukan dari pewarta-pewarta Injil yang kehilangan semangat, putus asa, tidak sabar atau serba ragu, melainkan dari para pelayan Injil, yang berkobar semangatnya, yang pertama menerima kegembiraan Kristus, dan bersedia mempertaruhkan hidup mereka, supaya Kerajaan diwartakan dan Gereja dibangun di tengah dunia.

 81. Demikianlah, Saudara-Saudara dan putera-puteri terkasih, seruan kami setulus hati. Seruan itu mengemakan suara Saudara-Saudara kami yang berhimpun pada Sidang Umum III Sinode para Uskup. Itulah tugas yang ingin kami percayakan kepada anda pada penutupan Tahun Suci, yang memampukan kita melihat lebih jelas lagi dari sebelum ini kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan sekian banyak saudara-saudari, Kristiani maupun bukan-Kristiani, yang mendambakan dari Gereja sabda keselamatan.
            Semoga cahaya Tahun Suci, yang bersinar di Gereja-Gereja setempat dan di Roma bagi jutaan hatinurani yang berdamai dengan Allah, tetap bercahaya seperti itu sesudah yubile melalui program kegiatan pastoran dengan pewartaan Injil sebagai ciri dasarnya, selama tahun-tahun mendatang, yang menandai masa menjelang abad baru, masa juga menjelang millennium ketiga Kristianitas.

82. Itulah keinginan, yang penuh kegembiraan kami percayakan ke dalam tangan dan hati Santa Perawan Maria yagn tak bernoda, pada hari ini yang secara istimewa dikuduskan kepadanya, dan yang juga merupakan ulang tahun kesepuluh Penutupan Konsili Vatikan II. Pada pagi ari Pentekosta Santa Maria melindungi dengan doanya permulaan pewartaan Injil, yang diilhami oleh Roh Kudus. Semoga Santa Maria juga menjadi bintang evangelisasi yang tetap dibaharui; pewartaan yang oleh Gereja, selalu taat-patuh kepada perintah Tuhannya, harus dimajukan dan dilaksanakan, khususnya zaman sekarang ini, yang serba sukar tetapi penuh harapan!
            Demi nama Kristus kami memberkati anda, jemaat-jemaat anda, keluarga-keluarga anda, semua saja yang anda kasihi, dengan kata-kata yang oleh Paulus ditujukan kepada jemaat di Filipi:”Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita...aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Injil...Sebab kamu semua ada dalam hatiku, karena kamu semua ikut serta dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku..pada waktu aku membela dan meneguhkan Injil. Sebab Allah ialah Saksiku, betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kami sekalian”[137].
            Dimaklumkan di Roma, di gereja basilika St. Petrus, pada hari raya Santa Perawan Maria dikandung Tak Bernoda, tanggal 8 Desember tahun 1975, pada tahun ketigabelas masa kepausan kami.

PAUS PAULUS VI

[1] Bdk. Luk 22:32.
[2] 2Kor 4 11:28.
[3] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.1: AAS 58 (1966) hlm. 947.
[4] Bdk. Ef 4:24; 2:15; Kol 3:10; Gal 3:27; Rom 13:14; 2Kor 5:17.
[5] 2 Kor 5:20.
[6] Bdk. Paus Paulus VI, Amanat pada penutupan sidang umum III Sinode para Uskup (tgl.26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm. 634-635,637.
[7] Paus Paulus VI, Amanat kepada Dewan para Kardinal (tgl.22 Juni 1973): AAS 65 (1973) hlm. 383.
[8] 2 Kor 11:28.
[9] 1 Tim 5:17.
[10] 2 Tim 2:15.
[11] Bdk. 1Kor 2:5.
[12] Bdk. Luk 4:43.
[13] Ibidem.
[14] Luk 4:18; bdk. Yes 61:1.
[15] Bdk. Mrk 1:1; Rom 1:1-3.
[16] Bdk. Mat 6:33.
[17] Bdk. Mat 5:3-12.
[18] Bdk. Mat 5-7
[19] Bdk. Mat 10,
[20] Bdk. Mat 13.
[21] Bdk. Mat 18
[22] Bdk. Mat 24-25.
[23] Bdk. Mat 24:36; Kis 1:7; 1Tes 5:1-2.
[24] Bdk. Mat 11:12; Luk 16:16.
[25] Bdk. Mat 4:17.
[26] Mrk 1:27.
[27] Luk 4:22.
[28] Yoh 7:46.
[29] Luk 4:43.
[30] Yoh 11:52.
[31] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “Dei Verbum” tentang wahyu ilahi, art.4: AAS 58 (1966) hlm. 818-819.
[32] 1Ptr 2:9.
[33] Bdk. Kis 2:11.
[34] Luk 4:43
[35] 1Kor 9:16.
[36] “Pernyataan para Bapa Sinode”, 4:L’Osservatore Romano (tgl.27 Oktober 1974) hlm.6.
[37] Mat 28:19.
[38] Kis 2:41, 47.
[39] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.8: AAS 57 (1965) hlm. 11: Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.5: AAS 58 (1966) 951-952.
[40] Bdk. Kis 2:42-46; 4:32-35; 5:12-16.
[41] Bdk. Kis 2:11; 1 Ptr 2:9.
[42] Bdk. Dekrit “ Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.5, 11-12: AAS 58 (1966) hlm. 951-952, 959-961.
[43] Bdk. 2Kor 4:5; St. Agustinus, Kotbah XLVI tentang Para Gembala, CCLXLI, hlm. 529-530.
[44] Luk 10:16; bdk. St. Siprianus, “De Unione Ecclesiae” (tentang Persatuan Gereja), 14.PL 4, 527; St. Agustinus Enarrat., 88; Kotbah 2:14: PL 37, 1140; St. Yohanes Krisostomus, Homili “de capto Eutropio” (tentang Eutropius yang ditawan), 6: PG.52, 402.
[45] Ef 5:25.
[46] Why 21:5; bdk. 2Kor 5:17; Gal 6:15.
[47] Bdk. Rm 6:4.
[48] Bdk. Ef 4:23-24; Kol 3:9-10.
[49] Bdk. Rom 1:16; 1Kor 1:18-24.
[50] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, art.53: AAS 58 (1966) hlm. 1075.
[51] Bdk. Tertulianus, “Apologeticum” (pembelaan Iman), 39:CCL, I, hlm.150-153; Minucius Felix, Octavius 9 dan 31, CSLP, Turin 1963, hlm. 11-13, 47-48.
[52] 1Ptr 3:15.
[53] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.1, 9, 48: AAS 57 (1965) hlm. 5, 12-14, 53-54; Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Moern, art.42, 45: AAS 58 (1966) hlm.1060-1061, 1065-1066; Dekrit “ Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art. 1, 5: AAS 58 (1966) hlm. 947, 951-952.
[54] Bdk. Rom 1:16; 1Kor1:18.
[55] Bdk. Kis 17:22-23.
[56] 1 Yoh 3:1; bdk. Rom 8:14-17.
[57] Bdk. Ef 2:8; 1:16. Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “ Declaratio ad fidem tuendam in mysteria Incarnationis et SS. Trinitatibus e quibusdam recentibus erroribus” (Pernyataan untuk membela iman akan misteri Penjelmaan dan Tritunggal Mahakudus terhadap berbagai kesesatan akhir-akhir ini) (tgl. 21 Februari 1972): AAS 64 (1972) hlm. 237-241.
[58] Bdk. 1Yoh 3:2; Rom 8:29; Flp 3:20-21. Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art 48-51: AAS 57 (1965) hlm. 53-58.
[59] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, “ Declaratio circa Catholicam Doctrinam d Ecclesia contra nonnullos errores hodiernos tuendam” (Pernyataan sekitar Ajaran Katolik tentang Gereja yang harus dipertahankan melawan berbagai kesesatan zaman sekarang (tgl.24 Juni 1973): AAS 65 (1973) hlm.396-408.
[60] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, art. 47-52: AAS 58 (1966) hlm. 1067-1074; Paus Paulus VI, Ensiklik “ Humanae Vitae”: AAS 60 (1968) hlm. 481-503.
[61] Paus Paulus VI, Amanat pembukaan Sidang Umum III Sinode para Uskup (tgl.27 September 1974): AAS 66 (1974) hlm.562.
[62] Ibidem.
[63] Paus Paulus VI, Amanat kepada  para “Campesinos” di Kolumbia (tgl.23 Agustus 1968): AAS 60 (1968) hlm. 623.
[64] Paus Paulus VI, Amanat untuk “Hari Perkembangan” di Bogota (tgl.23 Agustus 1968): AAS 60 (1968) hlm.627; St. Agustinus, Surat 229:1, PL 33: 1020.
[65] Paus Paulus VI, Amanat pada Penutupan Sidang Umum III Sinode para Uskup (tgl.26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm. 637.
[66] Paus Paulus VI, Amanat pada tgl.15 Oktober 1975, L’Osservatore Romano (tgl.17 Oktober 1975).
[67] Paus Paulus VI, Amanat kepada para anggota Panitia tentang Umat Awam (tgl.2 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm.568.
[68] Bdk. 1Ptr 3:1.
[69] Rom 17
[70] Bdk. 1Kor 2:1-5.
[71] Rom 10:17.
[72] Bdk. Mat 10:27; Luk 12:3.
[73] Mrk 16:15.
[74] Bdk. St. Yustinus, I Apologia (pembelaan), 46,1-4, PG.6,11; Apologia, 7(8) 1-4;10,1-3; 13,3-4; Florilegium Patristicum (Bunga-rampai Patristik) II, cet 2 Bonn 1911, hlm.81, 125, 129, 133; Klemens dari Iskandaria, stromata 1, 19, 91, 94, Sources chretiennes, hlm. 117-118; 119-120; Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.11: AAS 58 (1966) hlm. 960; Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja art.17: AAS 57 (1965) hlm. 20.
[75] Eusebius dari Kaisarea, “ Praeparatio Evangelica” (persiapan Injil) I, 1, PG.21,26-28; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis ”Lumen Gentium” tentang Gereja, art.16: AAS 57 (1965) hlm.21.
[76] Bdk.Ef 3:8.
[77] Bdk. Henri de Lubac, “Le drame de I’humanisme athee”, Paris” Spes 1945.
[78] Bdk: Konstitusi pastoral “ Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, art.59: AAS 58 (1966) hlm.1080.
[79] 1 Tim 2:4.
[80] Bdk. Mat 9:36; 15:32.
[81] “Communautes de base”
[82] “Agape”= (perjamuan) cintakasih.
[83] Rom 10:15.
[84] Pernyataan ”Dignitatis Humanae” tetnang Kebebasan Beragama, art.13: AAS 58 (1966) hlm. 939; bdk. Konstitusi dogmatis ”Lumen Gentium” tentang Gereja art.5: AAS 57 (1965) hlm. 7-8. Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.1: AAS 58 (1966) hlm. 947.
[85] Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.35: AAS 58 (1966) hlm. 983.
[86] St. Agustinus, “Enarratio in Ps” (uraian tentang Mazmur) 44, 23 CCLXXXVIII, hlm.510; bdk. Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.1: AAS 58 (1966) hlm. 947.
[87] St. Gregorius Agung, “Homil. In Evangelica” (Homili tentang Injil), 19,1, PL.76,1154.
[88] Kis 1:8; bdk. “Didache” (Ajaran para Rasul) 9,1, Runk, “Patres Apostolici”, 1,22.
[89] Mat 28:20.
[90] Bdk. Mat 13:32.
[91] Bdk.Mat 13:47.
[92] Bdk. Yoh 21:11/
[93] Bdk. Yoh 10:1-16.
[94]Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi “ Sacrosanctum Concilium” tentang liturgi, art.37-38: AAS 56 (1964)hlm.110; bdk. Juga buku-buku liturgis dan dokumen-dokumen lain yang diterbitkan sesudahnya oleh Takhta apostolik untuk melaksanakan pembaharuan liturgi yang dicita-citakan oleh Konsili.
[95] Paus Paulus VI, Amnat penutupan Sidang Umum III Sinode para Uskup (tgl.26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hlm. 636.
[96] Bdk. Yoh 15:16; Mrk 3:13-19; Luk 6:13-16.
[97] Bdk. Kis 1:21-22.
[98] Bdk. Mrk 3:14.
[99] Bdk. Mrk 3:14-15; Luk 9:2.
[100] Kis 4:8 ; bdk. 2:14; 3:12.
[101] Bdk. St. Leo Agung, Sermo (kotbah) 69,3; Sermo 70,1-3, Sermo 94,3; Sermo 95,2; Sources chretiennes 200, hlm. 50-52; 58-66; 258-260; 268.
[102] Bdk. Konsili Ekumenis I di Lyon, Konstitusi “ Ad Apostolicae Dignitatis” ; Conciliorum Oecumenicorum Decreta, Bologna: Istituto per le Scienze Religiose, 1973, hlm.278; Konsili Ekumenis di Vienna, Konstitusi “ Ad Providam Christi”, ed.cit, hlm.343; Konsili Ekumenis V di Lateran, Konstitusi “ In Apostolici Culminis”, ed.cit., hlm. 608; Konstitusi “ Pastquam ad Universalis”, ed.cit., hlm.609; Konstitusi “ Supernae Dispositionis”, ed. Cit., hlm. 614; Konstitusi “ Divina Disponente Clementia”, ed.cit., hlm.638.
[103] Dekrit “ Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art. 38: AAS 58 (1966) hlm. 985.
[104] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “ Lumen Gentium” tentang Gereja, art. 22: AAS 57 (1965) hlm.26.
[105] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis “ Lumen Gentium” tentang Gereja, art.10, 37: AAS 57 (1965) hlm.14, 43: Dekrit “ Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art. 39: AAS 58 (1966) hlm. 986; Dekrit “ Presbyterorum Ordinis” tentang Pelayanan dan Kehidupan para imam, art.2, 12, 13: AAS 58 (1966) hlm. 992, 1010, 1011.
[106] Bdk. 1Tes 2:9.
[107] Bdk. 1Ptr 5:4.
[108] Konstitusi dogmatis “Lumen Gentium” tentang gereja, art.11: AAS 57 (1965); Dekrit “ Apostolicam Actuositatem” tentang Kerasulan Awam, art. 11: AAS 58 (1966) hlm. 848; St. Yohanes Krisostomus, In Genesim Serm. (Kotbah tentang kitab Kejadian), VI,2; VII,1; PG 54, 607-608.
[109] Mat 3:17.
[110] Mat 4:1.
[111] Luk 4:14.
[112] Luk 4:18, 21; bdk. Yes 61:1.
[113] Yoh 20:22.
[114] Kis 2:17.
[115] Bdk. Kis 4:8.
[116] Bdk. Kis 9:17.
[117] Bdk. Kis 6:5, 10; 7-55.
[118] Kis 10:44.
[119] Kis 9:31.
[120] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja, art.4: AAS 58 (1966) hlm. 950-951.
[121] Yoh 17:21.
[122] Bdk. Kis 20:28.
[123] Bdk. Dekrit “ Presbyterorum Ordinis” tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, art.13: AAS 58 (1966) hlm. 1011.
[124] Bdk. Ibr 11:27.
[125] Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja art.6: AAS 58 (1966) hlm. 954-955; bdk: Dekrit ”Unitatis Redintegratio” tentang Ekumenisme, art.1: AAS 57 (1965) hlm. 90-91.
[126] Bulla “Apostolorum Limina”, VII: AAS 66 (1974) hlm. 305.
[127] Rom 5:5.
[128] Bdk. Yoh 8:32.
[129] 1 Tes 2:8; bdk. Flp 1:8.
[130] Bdk. 1 Tes 2:7-11; 1Kor 4:15; Gal 4:19.
[131] Bdk. 1Kor 8:9-13; Rom 14:15.
[132] Bdk. Rom 12:11.
[133] Konsili Vatikan II, Pernyataan “Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama, art.4: AAS 56 (1966) hlm.933.
[134] Bdk. Ibidem, art.9-14; loc.cit., hlm. 935-940.
[135] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Ad Gentes” tentang Kegiatan Misioner Gereja; art.7: AAS 58 (1966) hlm. 955.
[136] Bdk. Rom 1:16
[137] Flp 1:3-5, 7-8