SOLLICITUDO REI SOCIALIS - KEPRIHATINAN SOSIAL




ENSIKLIK
PAUS YOHANES PAULUS II


“SOLLICITUDO REI SOCIALIS”
(KEPRIHATINAN SOSIAL)

            KEPADA PARA USKUP, PARA IMAM, TAREKAT-TAREKAT HIDUP BAKTI, PARA PUTERA-PUTERI GEREJA, DAN SEMUA ORANG YANG BERIKTIKAD BAIK, PADA ULANG TAHUN KEDUA-PULUH ENSIKLIK “POPULORUM PROGRESSIO”


            Saudara-saudara yang terhormat para Putera-puteri yang terkasih, Damai-Sejahtera dan Berkat Apostolik.

I
PENDAHULUAN

1. KEPRIHATINAN SOSIAL Gereja mengenai perkembangan sejati manusia dan masyarakat, yang akan menunjang dan memajukan semua daya-kemampuan manusia, telah tercetuskan melalui pelbagai cara. Akhir-akhir ini upaya untuk menyalurkan ajaran Gereja terutama terletak pada Magisterium para Paus, mulai dengan eEnsiklik Paus Leo XIII “Rerum Novarum”, yang menjadi pokok acuan bagi semua dokumen lainnya[1]. Masalah-persoalan social memang berulang kali dibahas oleh Magisterium. Selama ini berbagai dokumen social diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun dokumen perdana itu[2].
            Para Paus tidak kurang bersungguh-sungguh menyoroti ajaran social Gereja dengan pandangan-pandangan baru melalui amanat-petuah mereka. Hasilnya ialah: ajaran itu, berawal dengan amanat Paus Leo XIII yang gemilang, diperkaya melalui perkembangan ajaran Magisterium selanjutnya, telah bertumbuh menjadi suatu “keseluruhan” ajaran. “Keseluruhan”[3] itu terhimpun secara berangsur-angsur, sementara Gereja-sambil mendambakan kepenuhan Sabda yang diwahyukan oleh Yesus Kristus, dan atas dorongan Roh Kudus ( bdk. Yoh 14:16, 26; 16: 13-15)-menyelidiki peristiwa-peristiwa masyarakat di sepanjang sejarah. Seraya memanfaatkan pengolahan nalariah maupun ilmu-pengetahuan manusiawi. Gereja berusaha membimbing orang-orang untuk mematuhi panggilan mereka selaku pembangun-pembangun arif masyarakat duniawi.

2. Dalam keseluruhan ajaran social yang cemerlang itu Ensiklik “Populorum Progressio”[4], yang diterbitkan oleh Pendahulu kami Paulus VI pada tanggal 26 Maret 1967, menduduki tempat utama.
            Sampai sekarang pun dampak-pengaruh serta kewibawaan Ensiklik itu jelas-jelas diakui, melihat banyaknya upacara kenangan, yang pada tahun ini diselenggarakan dengan pelbagai cara dan di banyak tempat, dalam berbagai lingkungan gerejawi maupun kalangan masyarakat. Demi maksud itu pula Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian menjelang akhir tahun yang lalu mengedarkan surat resmi kepada Sinode-Sinode Gereja-Gereja Timur dan Konferensi-Konferensi para Uskup. Para Uskup dimohon dengan sangat menyampaikan pandangan-pandangan serta usul-usul, yang pada hemat mereka paling sesuai untuk merayakan kenangan ulang tahun Ensiklik itu, untuk memperkaya ajarannya dan menggali dari padanya pesan-pesan yang berfaedah bagi zaman sekarang. Komisi yang kami sebutkan tadi menyelenggarakan upacara kenangan megah-meriah yang kami hadiri secara pribadi dan kami akhiri dengan amanat kami[5]. Sekarang ini, seraya memperhatikan pula jawaban-jawaban atas surat edaran Komisi itu, kami pandang sangat sesuai untuk menjelaskan akhir tahun 1987 menyusun Ensiklik dengan maksud menguraikan tema “Populorum Progressio”.

3. Dengan demikian kami terutama hendak mencapai dua sasaran yang cukup penting, yakni: pertama menyampaikan kata pujian terhadap dokumen Paus Paulus VI yang bersejarah itu disertai kesaksian tentang kewibawaan ajarannya; kemudian, mengikuti jejak para Pendahulu kami yang mulia di Takhta Petrus, kami bermaksud meneguhkan lagi kontinuitas ajaran social beliau pun sekaligus pembaharuannya terus. Sebab memang kontinuitas sperti juga pembaharuan itu dipandang sebagai bukti tetap berlakuknya ajaran Gereja.
            Dua sifat itu merupakan cirri khas ajaran social Gereja. Di satu pihak ajaran itu bersifat tetap, karena senantiasa sama saja dalam asas-asanya yang paling mendasar dalam “prinsip-prinsip refleksinya”, dalam “norma-norma penilaiannya”, dalam “pedoman-pedoman dasarnya untuk bertindak”[6], dan terutama dalam hubungannya yang vital dengan Injil Tuhan. Di pihak lain ajaran itu selalu baru, karena secara tanggap dan niscaya harus disesuaikan dengan pelbagai situasi zaman yang silih berganti dan dengan peristiwa-peristiwa perubahan yang tiada bentinya yang menadai kehidupan orang-orang dan masyarakat.

4. Memang kami yakin, bahwa ajaran Ensiklik “Populorum Progressio”, yagn ditujukan kepada orang-orang dan masyarakat dasawarsa 60-an, sekarang pun-menjelang akhir decade 80-an-tetap masih terasa daya-kekuatannya sebagai seruan kepada suarahati. Sementara itu kami mencoba mengutarakan garis-garis utama bagi dunia masa kini,-selalu dalam rangka tujuan “Populorum Progressio”, yang masih jauh belum tercapai. Oleh karena itu kami bermaksud mengumandangkan secara lebih luas lagi seruan Ensiklik itu, dan mengaitkan amanatnya dengan penerapan-penerapan untuk zaman sekarang, yang tidak kalah dramatis dengan kenyataan dua puluh tahun yang lampau.
            Kita semua tahu: waktu senantiasa melestarikan irama yang praktis sama. Akan tetapi sekarang ini waktu terasa makin cepat berlalu terutama karena berlipatganda dan makin kompleksnya peristiwa-peristiwa yang kita hadapi sendiri. Oleh karena itu wajah dunia, selama dua puluh tahun terakhir ini-sungguhpun berbagai sifat dasarnya masih tetap ada-mengalami bermacam-macam perubahan, sehingga menampilkan aspek-aspek yang sungguh baru.
            Periode sekarang ini, menjelang millennium kristiani yang ketiga, ditandai suatu harapan yang tersebar luas, seolah-olah akan tibalah “adven” yang baru[7], yang dengan cara tertentu menyentuh semua orang, dan membuka peluang untuk mendalami ajaran Ensiklik, supaya diketahui juga perspektif masa depannya.
            Tujuan refleksi sekarang ini terutama ialah, supaya-berkat bantuan penyelidikan teologis tentang situasi sekarang ini-makin terurai dan makin jelaslah pengertian tentang pembangunan, seperti disajikan oleh Ensiklik. Selain itu mau dibeberkan berbagai cara untuk mewujudkannya secara nyata.


II
SIFAT ORIGINAL ENSIKLIK “POPULORUM PROGRESSIO”

5.  Begitu diumumkan secara resmi, dokumen Paus Paulus VI menawan perhatian umum karena sifat originalnya. Secara konkret dan jelas sekali nyatalah dua sifat khas tadi, yakni kontinuitas dan pembaharuan dalam konteks ajaran social gereja. Oleh karena itu maksud gagasan-gagasan berikut ialah, supaya dengan membaca Ensiklik ini berulang kali dan dengan cermat kita menemukan pelbagai pokok ajarannya.
            Akan tetapi sebelum itu kami menginginkan waktu sejenak untuk merenungakan tahun terbitnya Ensiklik itu sendiri, yani 1967. Alasan, mengapa Paus Paulus VI memutuskan, untuk menurunkan Ensiklik beliau tentang hidup social justru pada tahun itu, mengajak kita memandang dokumen itu sebagai berkaitan dengan Konsili Vatikan II, yang berakhir pada tgl. 8 Desember tahun 1965.

6. Yang layak diperhatikan bukan saja bahwa kedua dokumen itu kronologis berdekatan. Sebab Ensiklik “Populorum Progressio” dengan cara tertentu tampil sebagai dokumen, yang memang mau menerapkan ajaran Konsili. Bukan saja karena Ensiklik terus menerus mengacu kepada teks-teks Konsili[8], melainkan karena terutama muncul dari keprihatinan Gereja, yang memang mengilhami seluruh hasil karya Konsili- khususnya Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes”-sebab di sit terhimpun dan dikembangkan berbagai tema ajaran sosialnya.
            Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ensiklik “Populorum Progressio” merupakan tanggapan terhadap seruan Konsili yang tercetus pada awal Konstitusi “Gaudium et Spes”.
            “Kegembiraan dan harapan, kedukaan dan kegelisahan masyarakat zaman sekarang, khususnya mereka yang miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, kedukaan dan kegelisahan para murid Kristus. Memang tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi yang tidak menggema di hati mereka”[9].
            Kata-kata itu mengungkapkan tema mendasar yang mengilhami dokumen agung Konsili, yang mulai dengan mengetengahkan situasi kemiskinan dan keadaan terbelakang yang mewarnai hidup rakyat yang tak terbilang jumlahnya.
            Kemiskinan dan situasi terbelakang itulah yang oleh Konsili diungkapkan dengan kata-kata lain, yakni” (kutipan)….Menghadapi panorama penuh jerih-pedih dan penderitaan seluas itu, Konsili membentangkan cakrawala kegembiraan dan harapan. Ensiklik Paus Paulus VI memang mempunyai waksud itu juga, dan setia sepenuhnya terhadap inspirasi Konsili.

7. Akan tetapi juga mengenai rangkaian tema, Ensiklik semata-mata mematuhi tradisi agung ajaran social Gereja, dan secara lebih jelas lagi menyajikan pembahasan yang baru dan sintese yagn kaya mencakup pokok-pokok yang dikemukakan oleh Konsili, terutama dalam Konstitusi “Gaudium et Spes”.
            Isi maupun tema-tema, yang diangkat oleh Ensiklik, perlu diteguhkan lagi, yakni: kesadaran Gereja selaku “pakar hal-ihwal manusiawi” akan kewajibannya “ menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil”[10]; kesadaran yang sedalam itu pula akan tugas “pengabdiannya”, yang jelas dibedakandari fungsi Negara, juga bila menyangkut situasi konkret orang-orang[11]; pengamatan tentang adanya perbedaan-perbedaan besar sekali dalam situasi maupun kondisi orang-orang itu, yang juga dipaparkan oleh Konstitusi[12]; pengukuhan ajaran Konsili, bagaikan suara yang dengan setia menggemakan tradisi berabad-abad lamanya, yang mengingatkan, bahwa “harta-benda” diperuntukkan bagi semua orang”[13]; penghargaan terhadap kebudayaan dan peradaban teknologis, yang mendukung pembebasan manusia[14], tetapi tanpa mengabaikan batas-batasnya[15]; akhirnya tentan gtema khas Ensiklik, yakni perkembangan[16], sangat ditekankan “kewajiban amat berat”, yang ditanggung oleh negar-negara yang lebih maju, yakni: “membantu bangsa-bangsa yang sedang berkembang”. Pengertian perkembangan sendiri yang disajikan oleh Ensiklik langsung digali dari pembahasan Konstitusi pastoral tentang masalah itu[17].
            Dari acuan-acuan itu maupun lainnya kepada Konstitusi pastoral memang dapat disimpulkan, bahwa Ensiklik bermaksud menekankan penerapan ajaran social Konsili, khususnya tentang perkembangan dan situasi terbelakang bangsa-bangsa.

8. Analisa singkat masalah-persoalan itu sekarang membantu kita untuk lebih menghargai sifat baru Ensiklik, yang dapat dirangkum menjadi tiga pokok:
            Pokok pertama yakni kenyataan sendiri, bahwa dokumen itu diterbitkan oleh kewibawaan tertinggi Gereja Katolik, dan dialamatkan kepada Gereja sendiri, tetapi juga kepada  “semua orang yang beriktikad baik”[18], ialah tentang hal yang spintas lalu nampakny abersifat ekonomis dan social, yakni tentan gperkembangan atau kemajuan bangsa-bangsa. Selanjutnya memang jelas, istilah “perkembangan” diangkat dari kosakata ilmu-pengetahuan social dan ekonomi. Ditinjau dari sudut itu Ensiklik “Populorum Progressio” bergerak pada jalur Ensiklik “Rerum Novarum”, yang mengulas” kondisi kaum buruh”[19]. Dilihat selayan pandang, kedua tema itu barangkali memberi kesan  berada di luar kepedulian Gereja sebagai lembaga keagamaan- bahkan “perkembangan lebih berkesan dimikian dari pada “kondisi kaum buruh”.
            Meneruskan haluan Ensiklik Paus Leo XIII, harus diakui, bahwa dokumen Paus Paulus VI berjasa besar, dengan menekankan sifat etis maupun budaya problem perkembangan, begitu pula dengan mengutarakan hak yang pasti maupun perlunya campur tangan Gereja dalam perkara-perkara itu.
            Dengan demikian ajaran social Gereja sekali lagi menampilkan sifatnya yang khas: menerpakan sabda Allah pada perihidup manusia maupun masyarakat dan pada perkara-perkara duniawi yang bertautan dengannya, sambil mengemukakan “prinsip-prinsip…yang dituntut oleh nalar yang sehat…serta berbagai pedoman”[20]. Dalam dokumen Paus Paulus VI ini terdapat masing-masing dari tiga unsure itu dalam perpektif praktis hidup sehari-hari, yakni  perilaku susila.

9. Sifat original kedua Ensiklik “Populorum Progressio” Nampak dalam luasnya perspektif, seperti layaknya terbuka bagi segala sesuatu, yang lazimnya tercakup dalam istilah “masalah social”.
            Memang sudah sebelumnya perspektif yagn luas itu dibeberkan dalam Ensiklik Paus Yohanes XXIII “Mater et Magistra”[21], dan dalam Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” Konsili menanggapinya dengan mengumandangkannya lagi. Akan tetapi ajaran social Gereja sampai saat itu belum mencapai tahap pernyataan sejelas itu, bahwa masalah sosial sekarang mengenakan dimensi dunia semesta[22]. Apa lagi pernyataan itu disertai analisanya belum dituangkan menjadi “pedoman untuk bertindak”, seperti dilaksanakan oleh Paus Paulus VI dalam Ensikliknya.
            Akan tetapi dipilihnya posisi eksplisit seperti itu menyajikan kekayaan ajaran yangamat besar, yagn sebaiknya dipaparkan di sini juga.
            Pertama-tama perlu disingkirkan setiap kemungkinan timbulnya salah faham. Dari kenyataan bahwa “masalah sosial” diakui telah mengenakan dimensi “universal”, tidak dapat disimpulkan seolah-olah bobotnya berkurang, atau kehilangan relevansinya bagi masing-masing bangsa atau daerah. Sebaliknya itu berarti, bahwa masalah-masalah dalam perusahaan-perusahaan industry atau dalam gerakan-gerakan kaum buruh serta serikat-serikat mereka di setiap negeri atau wilayah tidak boleh dipandang sebagai kasus-kasus terserndiri tanpa antar-hubungan. Sebaliknya justru makin tergantung dari pengaruh faktor-faktor yang melampaui lingkup regional dan batas-batas nasional.
            Akan tetapi saying sekali, ditinjau dari sudut ekonomi bangsa-bangsa yang sedang berkembang jauh lebih banyak jumlahnya dari pada yang sudah maju: begitu pula massa manusia, yang tidak dapat memanfaatkan harta-benda dan jasa-jasa yang disediakan oleh perkembangan jauh lebih besar dari jumlah mereka yang memilikinya.
            Dari sebab itu yang kita hadapi masalah gawat sekali: pembagian yang tidak serasi uapya-upaya dan sarana-sarana kehidupan yang sebenarnya diperuntukkan bagi semua orang, dan karena itu pembagian keuntungan-keuntungan yang dihasilkannya secara tidak seimbang pula. Dan itu terjadi bukan karena kesalahan orang-orang yang serba kekurangan, apa lagi bukan karena nasib malang yang tidak terelakkan akibat kondisi-kondisi alam sendiri atau akibat situasi hidup mereka secara keseluruhan.
            Dengan menyatakan, bahwa “masalah social dewasa ini telah meliputi seluruh umat manusia”, Ensiklik Paus Paulus VI pertama-tama menunjukkan suatu fakta moril berdasarkan analisa obyektif kenyataan. Menurut Ensiklik sendiri “sekarang ini penting sekalilah, bahwa semua orang menyadari dan bagaikan merasakannya sendiri[23], justru karena itu langsung menyentuh suara hati sendiri, sumber keputusan-keputusan moril.
            Dalam rangka itu sifat original Ensiklik “Populorum Progressio” bukan pertama-tama terletak pada pernyataan yang bersifat historis, bahwa masalah sosial berdimensi universal, melainkan terutama pada penilaian moril situasi itu. Oleh Karen aitu para pemimpin politik dan setiap warga negara-negara yang kaya sebagai perorangan, terutama mereka yang beriman kristiani, terikat kewajiban moril-sesuai dengan kadar tanggung jawab mereka masing-masing-untuk dalam keputusan-keputusan pribadi mereka dan dalam ketetapan-ketetapan pemerintah sepenuhnya memperhitungkan dimensi universal itu, dengankat alain hubungan timbal-balik antara perilaku moril mereka di satu pihak, dan di lain pihak kemelaratan serta keterbelakangan sekian juta orang. Kemudian Ensiklik Paus Paulus VI dengan lebih cermat melukiskan kewajiban moril itu sebagai “kewajiban solidaritas”[24]. Kendati dalam banyak hal situasi dunia telah berubah, pernyataan itu sekaran gini tetap masih mempunyai bobot yang sama dan masih berlaku seperti ketika ditulis.
            Di lain pihak, tanpa menyimpang dari asas-asas visi moril itu, sifat original Ensiklik juga terletak pada pandangan mendasar, bahwa pengertian perkembangan sendiri, bila ditinjau dalam perspektif solidaritas semesta dan timbal-balik antar manusia, mengalami perubahan yang berarti. Perkembangan yang sejati tidak dapat berupa penimbunan kekayaan melulu , atau pada makin tersedianya harta-benda maupun jasa-jasa pelayanan, kalau semuanya itu diperoleh seraya merugikan perkembangan massa rakyat, dan tanpa seperti layaknya mengindahkan dimensi-dimensi sosial, budaya dan rohani pribadi manusia[25].

10. Ketiga, Ensiklik “Populorum Progressia” member sumbangan sangat original kepada keseluruhan Ajaran Sosial Gereja dan kepada faham “perkembangan” sendiri. SIfat original itu Nampak pada suatu ungkapan dalam alinea penutup dokumen, dan yang dengan tepat boleh dipandang sebagai rumus ikhtisar ajarannya, bukan melulu sebagai suatu cirri historinya “tidak seorang pun meragukan, bahwa kemajuan sama saja maknanya dengan perdamaian”[26].
            Kalau memang benar, bahwa “masalah sosial sekarang mempunyai dimensi universal”, sebabnya ialah karena tuntutan-tuntutan keadilan hanya dapat dipenuhi pada taraf universal. Pengingkaran tuntutan-tuntutan itu dapat memperkuat godaan pada para korban ketidak-adilan untuk bereaksi dengan kekerasan, seperti terjadi pada awal banyak koflik bersenjata. Bangsa-bangsa yang terkecualikan dari pembagian wajar harta benda, yang pada dasarnya diperuntukkan bagi semua orang, dapat bertanya diri: “Mengapa tidak membalas dengan kekerasan mereka semua, yang mendahului memperlakukan kita dengan kekerasan?” dan bila situasi ditinjau dari sudut perpecahan seluruh dunia menjadi dua blok ideologis bangsa-bangsa,-perpecahan itu sudah nyata pada tahun 1967-dan dari sudut pantulan-pantulan maupun ketergantungan-ketergantungan yang menyusulnya di bidang ekonomi dan politik, bahaya ternyata jauh lebih besar.
            Ulasan kalimat yagn sungguh menyentuh hati dalam Ensiklik Paus Paulus VI itu dapt digaribawahi lagi dengan uraian lain,yang oleh dokumen itu disinggung sejenak[27]: Bagaimana dapat dipertanggung jawabkan, bahwa dana-dana tak terhingga besarnya, yagn sebenarnya dapat dan harus digunakan untuk meningkatkan perkembangan para bangsa, justru disalahgunakan untuk memperkaya orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok, atau dihamburkan untuk mengembangkan perlengkapan senjata pada bangsa-bangsa yang sudah maju maupun yang sedang ebrkembang, dan dengan demikian prioritas-prioritas yang sesungguhnya justru diputar-balikkan? Soalnya bahkan lebih parah lagi mengingat kesulitan-kesulitan besar yang sering merintangi penyaluran langsung modal-modal yang disisihkan guna membantu negera-negara yang masih miskin. Bila memang “kemajuan itu nama baru bagi perdamaian”, sebaiknya perang dan penyediaan kekuatan senjata menjadi musuh terbesar bagi perkembangan paripurna bangsa-bangsa.
            Begitulah dalam teran gpernyataan Paus Paulus VI kita diajak mempertimbangkan ulang faham “perkembangan”. Jelaslah pengertian itu tidak terbatas melulu pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil melalui pertambahan harta-kekayaan, apa lagi bila sementara itu penderitaan sebagian besar umat manusia diabaikan semata-mata, dan usaha berlebihan demi kepentingan perorangan maupun bangsa sendiri dijadikan satu-satunya motivasi. Maka dengan tajam surat Yakobus mengingatkan : “dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling bertentangan dalam tubuhmu? Kamu menginginkan sesuatu, tetapi tidak memperolehnya”(Yak 4:1-2).
            Sebaliknya, di suatu dunia lain, yang ditandai oleh kepedulian terhadap kesejahteraan umum semua orang, dengan kata lain: diwarnai oleh minat-perhatian terhadap “perkembangan rohani dan manusiawi semua orang”, dan tidak dikuasai oleh nafsu keuntungan perorangan, kiranya mungkinlah perdamaian terwujudkan sebagai hasil “keadilan yagn lebih sempurna antara manusia”[28].
            Lagi pula unsure baru Ensiklik itu mempunyai dampak kekuatan yang lestari, dan sungguh berharga untuk menanggapi sikap manusia masa kini, yang secara sesitif menangkap hubungan erat antara pelaksanaan keadilan dan terwujudnya perdamaian sejati.









III
PANORAMA DUNIA MASA KINI

11. Ajaran Ensiklik “Populorum Progressio” yang sangat mendasar ketika itu disambut dengan hangat karena sifat originalnya. Akan tetapi pantang diragukan, bahwa situasi sosial zaman kita sekarang ini tidak dapat dikatakan sama saja dengan keadaan dua puluh tahun yang lalu. Oleh Karena itu kami sekarang ingin melayangkan selintas pandangan atas berbagai cirri pokok dunia dewasa ini, untuk mengembangkan ajaran Ensiklik Paus Paulus VI, sekarang pun dari sudut “perkembangan bangsa-bangsa”.
12. Yang pertama-tama layak dicatat ialah, bahwa justru harapan akan perkembangan, yang ketika itu masih begitu kuat, sekarang ini ternyata jauh-jauh belum terlaksana.
            Dalam hal ini Ensiklik tidak memupuk khayalan-khayalan. Bahasanya, yang sungguh berbobot dan acap kali dramatis, melulu menekankan betapa serius situasi ketika itu, dan mencamkan pada suarahati setiap orang kewajiban mendesak untuk berperanserta dalam menyehatkan keadaan. Pada tahun-tahun itu masih ada suatu optimism yang tersebar luas tentang kemungkinan mengatasi-tanpa jerih-payah yang berlebih-lebihan-keterbelakangan bangsa-bangsa yagn miskin di bidang ekonomi, menciptakan infrastruktur bagi mereka, dan membantu mereka dalam segala usaha ke arah industrialisasi.
            Dalam konteks historis itu, di samping daya-upaya setiap bangsa Perserikatan Bangsa-Bangsa terus menerus mendukung terwujudnya dua dasawarsa perkembangan”.[29] Memang telah ditempuh berbagai langkah timbal-balik antara dua negara atau lebih, untuk membantu banyak bangsa: ada di antaranya yang sudah agak lama merdeka, tetapi ada juga-dan itu mayoritasnya-yang baru akhir-akhir ini lahir dari proses dekolonisasi. Pada pihaknya Gereja menyadari kewajibannya memperdalam pengertiannya tentang masalah-persoalan yang muncul dalam situasi baru ini, dan bermaksud mendukung usaha-usaha itu dengan inspirasi religious maupun manusiawinya, untuk “menjiwai” dan mendorong segala ikhtiar itu secara efektif.

13. Memang tidak dapat dikatakan, bahwa pelbagai usaha di bidang keagamaan dan manusiawi, di bidang ekonomi dan teknik, serba percuma saja; sebab setidak-tidaknya ada beberapa yang berhasil. Akan tetapi pada umumnya, seraya mempertimbangkan pelbagai factor, tidak dapat diingkari bahwa –ditinjau dari sudut “perkembangan bangsa-bangsa” situasi dunia zaman sekarang member kesan yang agak negatif.
            Oleh karena itu kami hendak meminta perhatian terhadap sejumlah indicator umum, untuk kemudian masih menguraikan indikator-indikator yang lebih khas juga. Tanpa sekarang ini memasuki analisis angka-angka dan statistik-statistik, cukuplah sudah menatap kenyataan orang-orang yang tak terbilang jumlahnya, -anak-anak, kaum dewasa, orang-orang yang lanjut usia-dengan kata lain, pribadi-pribadi manusia yang serba nyata dan unik, -yagn tertekan oleh beban malapetaka yang tak tertanggung lagi. Selain itu berjuta-jutalah jumlah mereka, yang sudah kehilangan harapan, karena di banyak wilayah dunia situasi mereka jelas makin memburuk. Menghadapi keadaan kemelaratan dan kemiskinan sekian banyak saudara-saudari kita yang sungguh menyedihkan itu, Tuhan Yesus sendirilah yang datang untuk menantang kita (bdk. Mat 25: 31-46).

14. Kendala pertama yang Nampak ialah kelestariannya dan acap kali makin melebarnya jurang antara kawasan yang disebut “Utara” yang maju dan “Selatan” yang sedang berkembang. Peristilahan geografis itu bersifat indikatif melulu. Sebab patang disangkal kenyataan, bahwa batas antara kekayaan dan kemiskinan bersilang di lingkup masyarakat sendiri, entah maju atau sedang berkembang. De facto seperti ketimpangan sosial hingga taraf kemiskinan terdapat di negara-negara kaya, begitu pula di negara-negara yang kurang maju sering tampillah cintadiri dan pemaparan kekayaan, yang meresahkan dan menajdi batu sandungan.
            Kelimpahan harta-benda dan jasa-jasa yang tersedia di berbagai wilayah dunia, khususnya di kawasan Utara yang sudah maju, di kawasan Selatan ditandingi dengan keadaan terbelakang yang tak dapat dibiarkan lagi. Padahal justru daerah geopolitis inilah yang dihuni oleh sebagian besar umat manusia.
            Bila ditinjau semua sektor yang bermacam-ragam-produksi dandistribusi bahan makanan, reksa kesehatan dan perumahan, persediaan air minum, kondisi-kondisi kerja (khususnya bagi buruh wanita), harapan kehidupan, dan indikator-indikator ekonomi dan sosial lainnya,-gambaran umum sungguh mengecewakan, dipandang baik secara tersendiri maupun dalam kaitan dengan data-data padanan di negara-negara yang lebih maju. Istilah kesenjangan spontan muncul di benak kita.
            Barangkali bukan itulah istilah yang tepat bagi kenyataan yang sesungguhnya, sebab dapat menimbulkan kesan seolah-olah itu gejala yang tak berubah. Kenyataannya berbeda. Laju perkembangan di negara-negara yang maju dan yang sedang berkembang tahun-tahun terakhir ini berlainan. Karena itulah jarak semakin jauh. Demikianlah negara-negara yang sedang berkembang, khususnya yang termiskin, mengalami keadaan terbelakang yang sangat serius.
            Lagi pula perlu diperhatikan keanekaan kebudayaan dan sistem nilai antara pelbagai golongan penduduk. Perbedaan-perbedaan itu tidak selalu berpadanan dengan taraf perkembangan ekonomi, melainkan justru menciptakan jarak. Unsur-unsur dan aspek-aspek itulah yang menjadikan masalah sosial jauh lebih kompleks, justru sebab persoalan itu berdimensi universal.
            Melihat berbagai kawasan dunia yang terceraikan oleh kesenjangan yang makin melebar itu, serta kenyataan bahwa agaknya masing-masing wilayah menempuh cara-caranya yang khas dengan hasil-hasil usahanya sendiri, dapat difahami penggunaan ungkapan yang sudah lazim: ada berbagai ”Dunia” dalam satu dunia kita: Dunia Pertama, Dunia Kedua, Dunia Ketiga, dan kadang Dunia Keempat[30]. Ungkapan-ungkapan serupa, yang jelas tidak berpretensi menggolong-golongkan semua negara yang ada, toh cukup berarti. Istilah-istilah itu menyingkapkan perasaan meluas, bahwa kesatuan dunia, artinya kesatuan umat manusia, termodal secara serius. Selain mengandung makna kurang-lebih obyektif, pastilah terminologi itu mengungkapkan isi moril, yang tak boleh tidak diacuhkan oleh Gereja, ”Sakramen atau lambang dan upaya....kesatuan segenap umat manusia”[31].

15. Akan tetapi lukisan itu tadi tidak akan memadai, kalau ”indeks-indeks ekonomi dan sosial ” situasi terbelakang tidak dilengkapi dengan pertanda-tanda lain yang negatif juga, bahkan masih lebih meresahkan, bertolak dari taraf budaya. Petunjuk-petunjuk itu: kendala buta huruf, sulit atau mustahilnya menempuh pendidikan yang lebih tinggi, ketidakmampuan berperanserta dalam pembangunan bangsa, pelbagai bentuk penghisapan dan penindasan perorangan beserta hak-haknya di bidang ekonomi, sosial, politik dan bahkan keagamaan, segala macam diskriminasi, khususnya yang sungguh sangat tercela, yakni berdasarkan pembedaan suku. Beberapa malapetaka itu masih disesalkan di kawasan Utara yang lebih maju; dan sudah pasti terdapat lebih sering, bertahan lebih lama, dan lebih sukar diberantas di negara-negara yang sendang berkembang dan belum maju.
            Layak dicatat, bahwa di dunia sekarang , di antara hak-hak lain; hak berprakarsa di bidang ekonomi sering dilanggar. Padahal hak itu penting bukan saja bagi perorangan, melainkan juga bagi kesejahteraan umum. Menurut pengalaman, pengingkaran  atau pembatasan hak itu-konon demi ”keadilan” bagi setiap warga masyarakat-mengurangi atau praktis sama sekali menghancurkan semangat berprakarsa, artinya, kemandirian kreatif warganegara. Akibatnya yang muncul bukan keadilan yang sejati, melainkan ” penyamarataan”. Yang tampil bukan prakarsa yang kreatif, melainkan sikap pasif, serba tergantung dan tunduk terhadap aparat birokrasi, yang sebagai satu-satunya badan ”penata” dan ” pengambil keputusan”-kalau bukan sekaligus ”pemilik”-seluruh harta-kekayaan dan segala upaya produksi, menempatkan siapa pun pada posisi ketergantungan yang hampir mutlak, serupa dengan ketergantungan tradisional buruh proletar dalam kapitalisme. Kenyataan itu mengundang rasa frustasi atau putus asa, dan menimbulkan sikap banyak orang untuk mengundurkan diri dari kehidupan bangsa, serta mendorong banyak orang  pula untuk beremigrasi, begitu juga menunjang berkembangnya semacam emigrasi ”psikologis”.
            Situasi itu mempunyai konsekuensinya pula ditinjau dari sudut ”hak-hak bangsa-bangsa individual”. Kenyataannya cukup sering ada bangsa yang kehilangan kemandiriannya, dengan kata lain, ”kedaulatan” yang menajdi haknya, dalam arti ekonomis, politik-sosial, pun-dalam arti tertentu-makna budayanya, karena dalam masyarakat nasional semua dimensi hidup saling berkaitan.
            Perlu diulangi pula, bahwa tiada kelompok sosial, misalnya partai politik, berhak merebut peranan satu-satunya pimpinan. Sebab itu menghancurkan kemandirian sejati yang ada pad amasyarakat dan warganegara perorangan, seperti terjadi pada setiap bentuk pemerintahan totaliter. Dalam situasi itu perorangan dan masyarakat menjadi ”obyek” atau sasaran, kendati segala pernyataan dan jaminan lisan yang mengatakan sebaliknya.
            Perlu ditambahkan, bahwa di dunia zaman sekarang ada banyak bentuk lain kemiskinan. Sebab tidakkah ada perampasan hak atau milik yang layak disebut demikian? Pengingkaran atau pembatasan hak-hak manusiawi-misalnya hak atas kebebasan keagamaan, hak untuk berperan-serta dalam pembangunan masyarakat, kebebasan berorganisasi dan membentuk serikat , atau mengadakan prakarsa di bidang ekonomi-tidakkah semuanya itu memiskinkan pribadi manusia, seperti-kalau bukan lebih  dari-perampasan hartabenda jasmani? Dan benarkah pengembangan, yang tidak mengindahkan pengakuan hak-hak itu sepenuhnya sungguh merupakan pengembangan pada tingkat manusiawi?
            Pendek kata, keadaan terbelakang pada zaman modern ini bukan saja terdapat di bidang ekonomi, melainkan juga di bidang budaya, politik dan manusiawi umumnya, seperti dua puluh tahun yang lalu telah dinyatakan oleh ensiklik ”Populorum Progressio”. Oleh karena itu di sini perlulah kita bertanya diri, bukankah keyataan menyedihkan sekarang ini barangkali , sekurang-kurangnya sebagian, diakibatkan oleh pandangan yang terlampau sempit tentang pengembangan, yakni terutama di bidang ekonomi.

16. Hendaklah diperhatikan, bahwa kendati usaha-usaha terpuji yang dijalankan selama dua dasawarsa terakhir oleh bangsa-bangsa yang lebih maju atau sedang berkembang maupun oleh organisasi-organisasi internasional, untuk merintis jalan keluar dari situasi, atau setidak-tidaknya mengatasi berbagai kendalanya, kondisi-kondisi justru jelas memburuk.
            Memburuknya situasi itu disebabkan oleh pelbagai faktor. Di antaranya yang jelas menyolok yakni kasus-kasus berat kelalaian di pihak bangsa-bangsa yang sedang berkembang sendiri, dan khususnya di pihak mereka yang berkuasa di bindang ekonomi dan politik. Tidak dapat pula kita berbuat seolah-olah tidak melihat tanggungjawab negara-negara maju, yang tidak selalu, sekurang-kurangnya sebagaimana layaknya menyadari kewajibannya membantu negara-negara yang tersisihkan dari dunia mereka sendiri yang kaya.
            Lagi pula harus dikecam adanya mekanisme-mekanisme ekonomis, finansial dan sosial, yang –kendati dimanipulasi oleh orang-orang-sering berjalan hampir secara otomatis, dan dengan demikian mempertajam situasi kekayaan sejumlah orang dan kemiskinan golongan lain. Mekanisme-mekanisme itu,yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh negara-negara yang lebih maju, degnan berfungsinya sendiri sudah mendukung kepentingan pihak-pihak yang memanipulasinya. Akan tetapi akhirnya mekanisme-mekanisme itu mencekik atau kuat-kuat mempengaruhi ekonomi negara-negara yang kurang maju. Kemudian mekanisme-mekanisme itu perlu dianalisis dengan cermat dari sudut etis-moril.
            Ensiklik ” Populorum Progressio” sudah meramalkan kemungkinan, bahwa dalam sistem-sistem semacam itu kaum kaya akan makin bertambah kaya dan kaum miskin tetap akan miskin[32]. Bukti terwujudnya ramalan itu munculnya apa yang disebut Dunia Keempat.

17. Betapa pun masyarakat dunia menampilkan tanda-tanda perpecahan, yang terungkap dalam peristilahan yang sudah lazim, yakni Dunia Pertama, Kedua, Ketiga, dan bahkan Keempat, keempat Dunia itu tetap erat saling tergantung. Bila ketergantungan timbal-balik itu diceraikan dari tuntutan-tuntutan etisnya, akan menimbulkan akibat-akibat parah sekali bagi golongan yang paling lemah. Memang, karena semacam dinamika batin serta dorongan mekanisme-mekanisme yang hanya tepat disebut jahat, ketergantungan timbali-balik itu mempunyai akibat-akibat yang negatif bahkan di negara-negara yang kaya. Justru di negara-negara itulah-meskipun pada tingkatan lebih rendah-terdapat kendala-kendala kondisi terbelakang yang lebih khas. Demikian seharusnya jelaslah, bahwa pengembangan atau sama-sama dinikmati oleh setiap bagian dunia, atau mengalami proses kemunduran juga di daerah-daerah yang diwarnai kemajuan terus menerus. Itu mengungkapkan banyak tentang sifat pengembagnan yang sejati: Atau semua bangsa di dunia ini ikut menikmatinya, atau itu bukan pengembagan yang sejati.
            Di antara gejala-gejala khas sitausi terbelakang, yang makin meliputi negara-negara maju pula, ada dua khususnya yang mengungkapkan situasi yang mengenaskan. Yang pertama ialah krisis perumahan. Selama Tahun Internasional para Tunawisma yang diumumkan oleh perserikatan Bangsa-Bangsa ini, perhatian dipusatkan pada jutaan manusia yang tidak mempunyai rumah yang memadai atu tunawisma sama sekali, untuk menggugah hatinurani setiap orang dan menemukan pemecahan bagi masalah yang cukup gawat ini beserta dampak-pengaruhnya yang negatif atas perorangan, keluarga dan masyarakat[33].
            Kekurangan perumahan dialami di mana-mana di dunia, dan sebagian besar disebabkan oleh gejala urbanisasi yang meningkat[34]. Bangsa-bangsa yang paling maju pun menyajikan pemandangan yang menyedihkan: orang-orang dan keluarga-keluarga yagn semata-mata berjuagna mempertahankan hidup tanpa naungan atap, atau dengan atap begitu buruk, sehingga sebenarnya sama sekali tidak memberi naungan.
            Kurangnya perumahan, suatu soal yagn sangat serius sekali,hendaklah dipandang sebagai tanda dan rangkuman serangkaian kekurangan di bidang ekonomi, sosial, budaya atuu manusiawi pada umumnya. Menilik meluasnya kendala, kita tidak usah diyakinkan betapa kita masih jauh dari cita-cita pengembagnan sejati bangsa-bangsa.

18. Suatu indikator lain yang umum bagi sebagian terbesar bangsa-bangsa yakni kendala pengangguran dan kekurangan kerja.
            Setiap orang mengakui kenyataan dan makin gawatnya masalah ini di negara-negara industri[35]. Soal itu sangat mencemaskan di negara-negara  yang sedang berkembang, dengan cepatnya laju pertumbuhan penduduknya dan besarnya jumlah angkatan muda. Di negara-negara yang sangat maju ekonominya lapangan kerja agaknya menciut, sehingga kesempatan kerja bukan bertambah, melainkan justru berkurang.
            Kendala itu pula, dengan serangkaian dampak-pengaruhnya yang negatif bagi orang perorangan maupun masyarakat, dari rasa direndahkan hingga rasa kehilangan harga diri yang dibutuhkan oleh setiap orang mendorong kita untuk secara serius mempertanyakan model pengembangan yang dianut selama dua puluh tahun yang lampau. Di sini sangat tepatlah pesan ensiklik ”Laborem Exercens”: ”Perlu ditekankan, bahwa unsur hakiki dalam kemajuan itu, begitu pula cara paling memadai untuk menilainya dalam semangat keadilan dan damai, yang disiarkan oleh Gereja dan tiada hentinya didoakannya...ialah tetap dihargainya kerja manusia, baik ditinjau dari sudut tujuan obyektifnya maupun dari sudut martabat pelaku setiap kerja, yakni manusia”. Di lain pihak ”kita tak dapat tidak tersentuh oleh kenyataan proporsi yagn tiada hingganya dan cukup menggelisahkan: kenyataan bahwa...jumlah kaum penganggur sudah tidak terhitung lagi...Pantang disangkal kenyataan itu menunjukkan, bahwa baik dalam setiap masyarakat politik maupun dalam hubungan-hubungan  di tingkat benua dan dunia ada yang tidak beres mengenai 0rganisasi kerja dan pekerjaan, justru menyangkut hal-hal yang sangat menentukan dan ditelaah dari sudut sosial penting sekali”[36].
            Kendala yang kedua itu, seperti yang pertama tadi, karena sifatnya universal dan cenderung untuk terus menyebar, merupakan pertanda negatif yang jelas sekali bagi keadaan dan mutu pengembangan bangsa-bangsa di masa sekarang.

19. Kendala ketiga, yang karakteristik juga bagi masa akhir-akhir ini, meskipun tidak di mana-mana ditanggapi, jelas sekali menunjukkan pula, betapa ngara-negara yang maju dan yang sedang berkembang saling tergantung. Kendala itu soal utang internasional, yang ditanggapi oleh Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian dengan suatu dokumen[37].
            Di sini tak dapat disangkal hubungan erat antara masalah seperti itu-bahwa soal itu makin gawat sudah diramalkan oleh ensiklik ”Populorum Progressio”[38]-dan soal pengembagnan bangsa-bangsa.
            Alasan, yang mendorong bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk menerima tawaran modal yang tersedia secara melimpah, ialah harapan akan mampu menanamnya dalam proyek-proyek pembangunan. Begitulah tersedianya modal dan kenyataan menerimanya sebagai pinjaman dapat dipandang sebagai sumbangan untuk pengembangan, sesuatu yang memang layak diharapkan dan wajar juga, meskipun barangkali kurang bijaksana dan kadang tergesa-gesa.
            Karena perubahan situasi baik pada bangsa-bangsa yang berutang mapun pada pasar keuangan internasional, upaya yang dipilih untuk menunjang pengembangan berbalik menjadi mekanisme yang menimbulkan akibat kebalikannya. Sebabnya yakni: karena bangsa-bangsa yang berutang, untuk melunasi utang mereka, merasa wajib mengekspor modal yang dibutuhkan untuk memperbaiki atau setidak-tidaknya mempertahankan mutu hidup mereka. Sebab lain ialah, karena alasan itu pula mereka tidak mampu mendapat dana-dana yang baru dan sema perlunya.
            Melalui mekanisme itu upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan bangsa-bangsa justru berbalik menghambat pengembangan, bahkan dalam beberapa kasus memperparah keadaan terbelakang.
            Menurut dokumen Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian akhir-akhir ini[39], catatan-catatan itu seharusnya mengajak kita memikirkan sifat etis ketergantungan timbal-bali antar bangsa. Dan sejalan dengan itu pula, menajak kita mempertimbangkan tuntutan-tuntutan dan syarat-syarat, juga berdasarkan prinsip-prinsip etis, bagi kerjasama dalam pengembangan.

20. Bila di sini diselidiki sebab-musabab tertundanya proses pengembangan seserius itu,-dan terhambatnya proses itu bertentangan dengan indikasi ensiklik ”Populorum Progressio”, yang dulu menimbulkan harapan-harapan sebesar itu, perhatian secara khas tertarik kepada faktor-faktor politik situasi zaman sekarang.
            Menghadapi kombinasi faktor-faktor yang memang sungguh kompleks itu, di sini tidak dapat diharapkansuatu analisis yang menyeluruh. Akan tetapi pantang disangkal kenyataan yang menyolok mata, yakni peta politik seusai Perang Dunia II. Kenyataan itu cukup besar dampaknya atas gerakan maju pengembangan bangsa-bangsa.
            Yang kami maksudkan ialah adanya dua blok yang bertentangan, dan lazim dikenal sebagai blok Timur dan blok Barat. Alasan untuk melukiskannya bukan melulu bersifat politik, melainkan juga-menurut istilahnya-geopolitik. Masing-masing dari kedua blok itu cenderung untuk mengasimilasikan atau menghimpun di sekitar dirinya negara-negara atau kelompok-kelompok negara-negara lain, dengan berbagai taraf ketergantungan atau partisipasi.
            Pertentangan itu pertama-tama bersifat politik, sejauh masing-masing blok beridentifikasi dengan sistem penataan masyarakat dan pelaksanaan kekuasaan yang menyajikan diri sebagai alternatif terhadap sistem yang lain. Pertentangan politik itu sendiri bersumber pada pertentangan yang lebih mendalam dan bersifat ideologis.
            Di barat terdapat sistem, yang dalam sejarah diilhami oleh asas-asas kapitalisme liberal, yang selama abad terakhir berkembang bersama industrialisasi. Di Timur ada sistem, yang beroleh inspirasinya dari kolektivisme Marksis, yang muncul dari suatu tafsiran situasi golongan proletar dalam terang interpretasi khusus sejarah. Masing-masing dari kedua ideoogi itu-berdasarkan dua visi yang jauh berbeda tentang manusia dan kebebasan serta peranan sosialnya, telah menyajikan dan masih memperjuangkan pada tingkat ekonomi bentuk-bentuk yang bertentangan bagi organisasi kerja dan bagi struktur-struktur pemilikan, khususnya berkenaan dengan apa yang disebut upaya-upaya produksi.
            Tidak mungkin dihindari lagi, bahwa dengan mengembangkan sistem-sistem dan pusat-pusat kekuasaan yang serba berlawanan, masing-masing dengan bentuk-bentuk propaganda danindoktrinasinya sendiri, pertentangan ideologis itu berkembang menjadi pertentangan militer yang kian sengit, dan memunculkan dua blok kekuatan bersenjata, yang masing-masing curiga dan kawatir terhadap dominasi lawannya.
            Lalu hubungan-hubungan internasional mau tak mau ikut diwarnai oleh konsekuensi-konsekuensi jalan pikiran kedua blok itu, dan oleh lingkup dampak-pengaruh masing-masing. Ketegangan antara dua blok itu, yang mulai sesuai Perang Dunia II, mewarnai seluruh periode 40 tahun berikutnya. Ada kalanya ketegangan itu berupa ”perang dingin”, kadang-kadang berupa ”perang perwakilan” dengan memanipulasikan konflik-konflik setempat, acap kali juga menimbulkan rasa tegang dan gelisah di kalangan rakyat akibat ancaman perang terbuka dan menyeluruh.
            Meskipun sekarang ini bahaya itu agaknya reda tetapi belum sama sekali hilang, dan meskipun telah tercapai persetujuan awal tentang penghancuran satu jenis senjata nuklir, adanya kedua blok dan pertentangan antara keduanya itu tetap masih merupakan kenyataan yang meresahkan dan mewarnai peta dunia.

21. Kenyataan itu mempunyai akibat-akibat negatif yang khas pada hubungan-hubungan internasional yang menyangkut negara-negara yang sedang berkembang. Sebab jelaslah ketengan antara Timur dan Barat bukan dengan sendirinya pertentangan antara dua tingkatan perkembangan yang berlainan, melainkan antara dua pengertian perkembangan pada orang-orang perorangan maupun bangsa-bangsa. Kedua fahamitu tidak sempurna dan perlu dikoreksi secara radikal. Pertentangan itu dialihkan kepada negara-negara berkembang sendiri, dan dengan demikian ikut memperlebar jurang yang sudah ada di bidang ekonomi atara Utara dan Selatan, akibat jarak antara kedua Dunia, yakni Dunia yang lebih maju dan Dunia yang kurang maju.
            Itulah salah satu alasannya, mengapa Ajaran Sosial Gereja bersikap kritis terhadap kapitalisme liberal maupun kolektivisme Marksis. Sebab dari sudut perkembangan muncullah begitu saja pertanyaan: Bagaimana dan seberapa jauhkah kedua sistem itu dapat berubah dan disesuaikan, sehingga menunjang dan memajukan pengembangan yang sejati dan menyeluruh baik orang-orang perorangan maupun bangsa-bangsa dalam masyarakat yang modern? Kenyataannya perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian itu sungguh mendesak dan mutlak perlu demi pengembangan bersama semua orang.
            Negara-negara, yang akhir-akhir ini mencapai kemerdekaan dan sedang berusaha membangun jatidiri budaya maupun politik sendiri, serta memerlukan bantuan efektif dan netral dari semua negara yang lebih kaya dan lebih maju, terlibat sendiri dan ada kalanya dilanda oleh konflik-konflik ideologi, yang mau tak menciptakan perpecahan dalam negeri,sehingga kadang menimbulkan perang-saudara penuh. Itu disebabkanjuga karena modal-modal yang ditanam dan bantuan untuk pengembangan sering dialihkan dari tujuannya yang sesungguhnya, dan disalah-gunakan untuk mendukung konflik-konflik,terlepas dari dan harusnya beruntung karena modal dan bantuan itu. Banyak di antara negara-negara itu makin menyadari adanya bahaya menjadi korban suatu bentuk neo-kolonialisme, dan berusaha mengelakkannya. Kesadaran itulah , yang kendati segala kesukaran, ketidak-pastian dan kadang pertentangan-pertentangan, melahirkan gerakan internasional bangsa-bangsa non blok. Segi positif gerakan itu ialah: mau menegaskan secara efektif hak setiap bangsa atau jatidirinya, atas kemerdekaan dan keamanan, begitu pula hak untuk ikut memanfaatkan harta-benda yang dimaksudkan bagi semua orang, berdasarkan keadilan dan solidaritas.

 22. Dalam terang pertimbangan-pertimbangan itu dengan mudah diperoleh gambaran lebih jelas tentang dua dasawarsa terakhir dan pengertian lebih mendalam tentang konflik-konflik di belahan dunia Utara, yakni antara Timur dan Barat, sebagai sebab yang penting, mengapa Selatan mengalami kelambanan atu kemacetan.
            Negara-negara berkembang tidak menjadi bangsa-bangsa yang otonom, penuh kepedulian akan kemajuan mereka sendiri menuju partisipasi yang adil dalam memanfaatkan harta-benda maupun jasa-jasa yang diperuntukkan bagi semua. Mereka menjadi bagian suatu mesin, suku-cadang roda raksasa. Sering itu benar juga di bidang komunikasi sosial, yang dikemudikan oleh pusat-pusat yang kebanyakan terdapat di belahan dunia Utara, dan tidak selalu memberi perhatian sewajarnya kepada prioritas-prioritas dan masalah-persoalan negara-negara yang berkembang, atau mengindahkan tata-budaya mereka. Negara-negara maju sering memaksakan visi yang keliru tentang hidup dan tentang manusia, dan dengan demikian tidak menanggapi tuntutan-tuntutan pengembangan yang sejati.
            Masing-masing dari kedua blok dengan caranya sendiri mengandung kecondongan ke arah imperialisme, menurut istilah yang lazim, atau ke arah berbagai bentuk neo-kolonialisme; memang godaanitu menggiurkan dan-seperti ternyata dalam sejarah, termasuk akhir-akhir ini-sering mereka ikuti saja.
            Situasi abnormal akibat perang dan keprihatinan yang berlebihan dan tidak wajar akan keamanan itulah, yang melumpuhkan dorongan menjuju kerjasama semua pihak secara terpadu demi kesejahteraan umum bangsa manusia, dan terutama merugikan bangsa-bangsa yang cinta damai, sehingga terhalang menjangkau harta-benda yang dimaksudkan bagi semua orang sesuai dengan hak mereka.
            Ditelaah dari sudut itu, perpecahan dunia sekarang ini secara langsung merintangi perubahan yang sesungguhnya dalam kondisi terbelakang negara-negara yang berkembang dan belum begitu maju. Akan tetapi tidak selalu bangsa-bangsa begitu saja menyerah kepada nasib mereka. Lagi pula kebutuhan-kebutuhan perekonomian yang dicekik oleh pembelanjaan untuk keperluan militer, oleh birokrasi dan tidak efisiennya tata-laksana intern, agaknya sekarang mendukung proses-proses, yang barangkali melunakkan pertentangan yang ada, dan mempermudah dimulainya dialog yang subur dan kerjasama yang tulus demi perdamaian.

 23. Peryataan ensiklik ”Populorum Progressio”, bahwa sumber-sumber daya dan penanaman modal untuk produksi senjata seharusnya dipakaiuntuk meringankan penderitaan bangsa-bangsa yang dimiskinkan[40] , menjadikan makin mendesak seruan untuk mengatasi pertentangan antara kedua blok.
            Kenyataan sekarang ialah, bahwa sumber-sumber daya itu digunakan untuk memampukanmasing-masing dari kedua blok itu mengungguli blok yang lain, dan dengan demikian menjamin keamanannya sendiri. Bangsa-bangsa, yang ditinjau dari sudut sejarah, ekonomi dan politik mempunyai kemungkinan memainkan peranan kepemimpinan, dihalangi oleh kesesatan yang mendasar itu untuk secara memadai menunaikan kewajiban mereka bersikap solider demi kepentingan bangsa-bangsa yang mencita-citakan pengembangan yang sepenuhnya.
            Sekarang ini saat yang tepat-dan itu tidak berlebihan-untuk menyatakan, bahwa peranan kepemimpinan antara bangsa-bangsa hanya dapat dipertanggungjawabkan , bila ada kemungkinan dan kesediaan untuk secara luas dan dengan kebesaran jiwa menyumbangkan demi kesejahteraan umum.
            Sekiranya suatu bangsa secara kurang lebih sengaja mengikuti saja godaan untuk mengungkung diri dan tidak mematuhi tanggungjawabnya berdasarkan keunggulan posisinya dalampersekutuan bangsa-bangsa, bangsa itu  secara serius melalaikan kewajiban morilnya yang jelas. Itu nampak jelas dalam kenyataan sejarah, bila umat beriman mengenali maksud-maksud penyelenggaraan ilahi untuk menggunakan bangsa-bangsa guna mewujudkan rencana-Nya, dan dengan demikian ”menggagalkan rencana bangsa-bangsa” (bdk Mzm 33:10).
            Bila dunia Barat menimbulkan kesan makin menutup diri secara egoistis, dan dunia Timur agaknya karena alasan-alasan yang problematis tidak mau tahu menahu tentang  kewajibannya berperanserta dalam tugas meringankan penderitaan umat manusia, yang nampak di situ bukan saja pengkhianatan terhadap harapan-harapan umat manusia yang wajar-dan pengkhianatan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi yang tak terbayangkan sebelumnya,-melainkan juga kesengajaan meninggalkan suatu kewajiban moril.

 24. Produksi senjata di dunia zaman sekarang secara serius mengacau usaha mencukupi kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang sejati dan upaya-upaya untuk memenuhinya. Begitu pula perdagangan senjata layak dikecam. Tentang perniagaan itu memang perlu ditambahkan, bahwa penilaian moril bahkan lebih keras lagi. Kita semua tahu, bahwa perdagangan itu tidak mengenalbatas, malahan mampu melintasi garis pemisah antara kedua blok. Perniagaan itu tahu bagaimana mengatasi perpecahan antara Timur dan Barat, dan terutama antara Utara dan Selatan, sehingga-dan ini lebih gawat lagi-mampu menerobos memasuki pelbagai kawasan yang tergolong belahan bumi Selatan. Di sini kita dihadapkan pada kendala yang ganjil: Bantuan ekonomi dan rencana-rencana pembangunan terbentur pada rintangan perbatasan ideologi yang tak teratasi dan batas-batas biaya serta perdagangan; padahal senjata entah dari maa saja hampir sebebas-bebasnya beredar di seluruh dunia. Menurut dokumen baru Panitia Kepausan untuk  Keadilan dan Perdamaian tentang utang internasional[41], siapa saja mengetahui bahwa dalam berbagai kasusu modal yagn dipinjamkan oleh dunia yang maju telah disalahgunakan di dunia yang sedang berkembang untuk membeli senjata.
            Semua itu masih diperberat lagi oleh bahaya yang dahsyat dan diakui di mana-mana, akibat penimbunan senjata-senjata nuklir yang tak terbayangkan besarnya. Secara logis agaknya dapat disimpulkan: Di dunia masa kini termasuk dunia ekonomi, gambaran yagn dominan ialah :  umat manusia lebih cepat akan menuju kebinasaannya; bukan gambaran kepedulian akan pengembangan yang sejati, yang akan mengantar semua orang kepada hidup yang ”lebih manusiawi”, menurut maksud ensiklik ”Populorum Progressio”[42].
            Konsekuensi-konsekuensi situasi itu nampak pada membusuknya luka-luka, yang menandai dan mengungkapkan ketimpangan-ketimpangan dan kondlik-kondlik dunia modern: jutaan pengungsi akibat perang, bencana alam, penganiayaan dan segala macam diskriminasi telah kehilangan rumah, pekerjaan, keluarga dan tanah air. Keadaan mengenaskan massa pengungsi itu tercerminkanpada wajah kaum pria, wanita maupun anak-anak yang diliputi putus asa, karena di dunia yang terpecah-belah dan tidak bersahabat ini mereka tidak merasa krasan lagi.
            Jangan menutup mata pula terhadap luka-luka lain yang cukup parah di dunia sekarang, yakni: kendala terorisme dalam arti maksud membunuh orang-orang  dan menghancurkan harta-milik dengan gegabah, serta menciptakan suasana ketakutan dan ketidak-pastian, sering disertai penyanderaan. Bila suatu ideologi atau keinginan menciptakan masyarakat yang lebih diajukan sebagai motivasi perilaku yang tidak manusiawi itu pun, tindakan terorisme tidak pernah dapat dibenarkan. Apa lagi bila, seperti sekarang terjadi pula, keputusan dan tindakan semacam itu, yang kadang menimbulkan pembantaian yang mengerikan dan penculikan orang-orang tak bersalah, yang sedikit pun tiada sangkut-pautnya dengan konflik-konflik, berdalih bertujuan propaganda untuk memperjuangkan suatu kepentingan. Masih lebihjahat lagi, bila keputusan dan tindakan itu sendiri menjadi tujuan, sehingga terjadi pembantaian melulu untuk membunuh. Menghadapi hal yang mengerikan dan penderitaan seperti itu, pernyataan kami beberapa tahun yang lalu tetap masih berlaku, dan ingin kami  ulangi: ”Yang dilarang oleh agama Kristen yakni mencari pemecahan soal-soal...melalui kebencian, dengan membunuh orang-orang yang tak berdaya, melalui cara-cara terorisme”[43].

25. Di sini perlu disinggung soal kependudukan, dan cara membicarakannya sekarang ini, sejalan dengan pesan Paus Paulus VI dalam ensiklik beliau[44] dan dengan apa yang dengan panjang lebar kami uraikan sendiri dalam Anjuran Apostolik ”Familiaris Consortio”[45].
            Pantang disangkal-khususnya di belahan bumi Selatan-adanya masalah kependudukan, yang menimbulkan pelbagai kesulitan bagi pengembangan. Perlu langsung ditambahkan, bahwa di belahan bumi Utara soal itu mempunyai sifat kebalikannya: Di situ yang menimbulkan keprihatinan ialah menurunya laju kelahiran, beserta dampaknya yakni makin lanjutnya umur penduduk, yagn tidak mampu meremajakan diri secara biologis. Kendala itu sendiri dapat menghambat pengembangan. Tidak tepat dikatakan, bahwa kesukaran-kesukaran itu hanya muncul akbiat pertumbuhan penduduk. Begitu pula belum dibuktikan, bahwa setiap pertumbuhan penduduk tidak sesuai dengan pengembangan yang teratur.
            Di lain pihak amat mencemaskan menyaksikan pemerintah di banyak negara melancarkan kampanye sistematis melawan kelahiran. Itu bertentangan bukan hanya dengan jatidiri buday amaupun keagamaan negara-negara itu sendiri, melainkan berlawanan juga dengan sifat pengembangan yang sejati. Seringkali kampanye itu akibat tekanan dan pemasokan dana dari luar negeri, dan ada kalanya dijadikan syarat bagi penyaluran bantuan finansial dan ekonomis. Bagaimana pun juga sama sekali tidak ada sikap menghormati kebebasan memilih pada pihak-pihak yang berkepentingan; pria maupun wanita acap kali menanggung tekanan melampaui daya-tahan mereka, terutama tekanan ekonomi, untuk memaksa mereka menderita bentuk baru penindasan itu. Penduduk-penduduk yang paling miskinlah yang mengalami perlakuan tidak manusiawi itu. Kadang pula itu menimbulkan kecenderungan ke arah semacam rasisme, atau juga mendukung tumbuhnya bentuk-bentuk pengadaan keturunan yang sama-sama berbau rasisme.
            Kenyataan itu pula, yang layak dikecam sekeras mungkin, merupakan pertanda adanya faham yang sesat dan sungguh buruk tentang pengembangan manusiawi yang sejati.

 26. Pandangan umum yang terutama bernada negatif tentang situasi aktual perkembangan dunia masa kini itu tidak lengkap, kalau tidak disebutkan juga adanya aspek-aspek positif di sampingnya.
            Catatan positif pertama: sejumlah cukup besar pria maupun wanita menyadari sepenuhnya martabat mereka sendiri dan martabat setiap manusia. Kesadaran itu misalnya terungkap dalam keprihatinan ynag lebih hidup bahwa hak-hak manusiawi harus dihormati, pun juga dalam penolakan yang lebih tegas terhadap pelanggarannya. Salah satu tandanya yakni sejumlah serikat-serikat swasta yang belum lama ini didirikan, di antaranya ada yang tersebar diseluruh dunia, dan hampir semua bertujuan memantau dengan seksama dan dengan obyektivitas yang terpuji apa yang pada taraf internasional sedang berlangsung di bidang yang amat peka itu.
            Pada taraf itu layak diakui dampak-pengaruh Piagam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Manusiawi, yang resmi diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sekitar 40 tahun yang lalu. Bahwa Pernyataan itu ada dan makinditerima oleh masyarakat internasional menunjukkan meningkatnya kesadaran. Itu harus dikatakan juga-masih di bidang hak-hak manusiawi-tentang upaya-upaya yuridis lainnya, yang dilancarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Organisasi-organisasi internasional lainnya[46].
            Kesadaran yang dibicarakan di sini bukan hanya terdapat pada orang-orang perorangan, melainkan juga pada suku-suku maupun bangsa-bangsa, yang sebagai kelompok mempunyai jatidiri budaya yang khas, dan peka sekali terhadap pelestarian, pengamalan bebas dan pengembangan pusaka-warisan mereka yang berharga.
            Sekaligus juga, di dunia yang terpecah-belah dan sarat dengan segala macam konflik, makin meningkatlah keyakinan akan ketergantungan timbal-balik yang radikal, dan karena itu kebutuhan akan solidaritas, yang akan mengangkat interdependensi itu dan mengalihkannya ke taraf moral. Serang ini, barangkali lebih dari pada di masa lampau, orang-orang menyadari, bahwa mereka saling oleh tujuan hidup mereka bersama, dan itu harus mereka bangun bersama pula untuk menghindari malapetaka bagi semua orang. Dari jurang kegelisahan, rasa takut dna gejala-gejala pelarian seperti obat bius, carak khas dunia sekarang, lambat-laun muncullah pandangan, bahwa kesejahteraan yang merupakan tujuan panggilan kita semua, begitu pula kebahagiaan yang kita dambakan, tidak mungkin diperoleh tanpa daya-upaya dan kesanggupan hati pada semua orang tanpa kecuali, karena itu juga mustahil tanpa menyangkal egoisme perorangan.
            Layak disebutkan pula, sebagai ungkapan sikap hormat terhadap kehidupan-kendati segala godaan untuk menghancurkannya dengan pengguguran dan eutanasi-kepedulian akan perdamaian yang mengiringinya, sekaligus kesadaran bahwa perdamaian tidak terbagi-bagi. Atau untuk semua orang, atau tidak ada. Kesadaran itu menuntut taraf lebih tinggi sikap hormat yang ketat terhadap keadilan, dan karena itu pembagian wajar buah-hasil pengembangan yang sejati[47].
            Di antara tanda-tanda positif masa kini layak disebutkan pula kesadaran yang lebih mantap akan batas-batas sumber-daya yang tersedia, dan perlunya menghormati keutuhan serta irama-irama alam, lagi pula kewajiban mengindahkannya dalam merencanakan pengembagnan; jangan mengorbankan semuanya itu demi ide-ide menggerakkan rakyat untuk pembangunan. Sekarang itu disebut keprihatinan akan lingkungan.
            Selain itu layaklah diakui komitmen yang menunjukkan kebesaran jiwa para negarawan, tokoh politik, pakar ekonomi, para tokoh serikat-serikat niaga, kaum ilmuwan dan pejabat-pejabat internasional-dan banyak di antara mereka dijiwai oleh iman religius-yang dengan pengorbanan pribadi yang tak ringan berusaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan dunia; dengan pelbagai cara mereka mengikhlaskan diri pula untuk memperjuangkan, supaya semakin banyak orang menikmati pelbagai keuntungan perdamaian serta mutu kehidupan yang layak manusiawi.
            Organisasi-organisasi internasional yang besar dan sejumlah organisasi regional juga tidak kecil sumbangannya dalam usaha-usaha itu. Daya-upaya mereka yang terpadu memungkinkan tindakan yang lebih efektif.
            Berkat sumbangan-sumbangan itu jugalah beberapa negara Dunia Ketiga, kendati masih menanggung beban banyak faktor negatif, telah berhasil mencapai taraf swa-sembada tertentu dalam hal pangan, atau tingkatan industrialisasi yang tertentu, yang memungkinkannya tetap hidup secara terhormat, dan menjamin lapangan kerja secukupnya bagi angkatan kerjanya.
            Demikianlah di dunia zaman sekarang tidak segalanya serba negatif melulu, dan itu tidak mungkin pula, sebab penyelenggaraan Bapa di surga penuh kasih menyimak keprihatinan-keprihatinan kita sehari-hari juga[48]. Nilai-nilai positif yang kami canangkan memang membuktikan adanya kepedulian moril yang baru, khususnya berkenaan dengan masalah-persoalan mausiawi yang besar, seperti pengembangan dan perdamaian.
            Kenyataan itu mendorong kami untuk mengarahkan pemikiran kepada sifat pengembangan sejati bangsa-bangsa, sehaluan dengan ensiklik yang kita peringati dan sebagai tanda pengharapan terhadap ajarannya.

IV
PENGEMBANGAN MANUSIAWI YANG SEJATI

27. Pembahasan situasi dunia sekarang yang dianjurkan oleh ensiklik mengajak kita mencatat pertama-tama, bahwa pengembangan bukan proses yang serba lurus dan mulus, seolah-olah otomatis dan tanpa batas seakan-akan mengingat kondisi-kondisi tertentu umat manusia mampu berkembang pesat menuju suatu kesempurnaan yang belum jelas citranya[49].
            Gambaran semacam itu berkaitan denganp engertian ”kemajuan” beserta berbagai konotasi filsafah yang berasal dari masa Penerangan, dan tidak berpautan dengan pengertian ”pengembangan”[50] dalam arti khas ekonomis dan sosial. Agaknya gambaran itu sekarang amat diragukan, khususnya sejak pengalaman tragis kedua Perang Dunia, penghancuran terencana bangsa-bangsa yang sebagian memang terjadi juga, dan bahasa nuklir yang muncul. Suatu optimisme mekanistis yang naif digantikan dengan kegelisahan yang cukup beralasan mengenai nasib bangsa manusia.

28. Akan tetapi sementara itu dalam kaitannya dengan faham pengembangan konsep ”ekonomi” sendiri mengalami krisis. Kenyataan sekarang: ada pengertian lebih jelas, bahwa penimbunan harta-milik maupun jasa-jasa semata-mata, bahkan kalau menguntungkan mayoritas masyarakat pun, tidak cukup untuk mewujudkan kebahagiaan manusia. Konsekuensinya: tersedianya banyak hal yang sungguh menguntungkan berkat ilmu-pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini, termasuk ilmu-ilmu komputer pun, tidak berhasil membebaskan manusia dari setiap bentuk perbudakan. Sebaliknya, pengalaman tahun-tahun terakhir ini menunjukkan, bahwa kalau keseluruhan sumber-sumber daya dan bakat-kemampuan yang mempesonakan dan tersedia bagi manusia itu tidak dituntun oleh pengertian moril dan tidak diarahkan kepada kesejahteraan umat manusia yang sejati, semuanya itu mudah berbalik melawan manusia untuk menindasnya.
            Suatu kesimpulan yang mencemaskan mengenai masa mutakhir ini hendaklah kita petik hikmahnya: Di samping segal penderitaan akibat situasi terbelakang yang jelas tidak dapat diterima, kita ternyata terbentur pada semacam pengembangan yang berlebihan dan sama-sama tidak dapat diterima, sebab-seperti keadaan terbelakang-kemajuan itu pun berlawanan dengan apa yang baik dan sungguh membahagiakan. Pengembangan yang telanjur itu terdiri dari tersedianya segala macam harta jasmani secara berlebihan demi keuntungan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Keadaan itu mudah memperbudakkan manusia kepada ”harta-milik” dan kepada kenikmatan langsung, tanpa perspektif lain kecuali penimbunan atau penggantian terus menerus apa yang sudah dimiliki dengan hal-hal lain yang lebih baik lagi. Itulah yang disebut peradaban ”konsumsi” atau ”konsumerisme”, termasuk juga begitu banyak ”pembuangan” dan ”penghamburan”. Sesuatu yang sudah dimiliki, tetapi sekarang diungguli oleh sesuatu yang lebih baik, kemudian disingkirkan, tanpa pemikiran bahwa mungkin itu tetap masih bernilai, tanpa mengindahkan bahwa masih ada sesama yang lebih miskin.
            Kita semua langsung mengalami akibat-akibat menyedihkan, yagn timbul dari kehanyutan buta dalam konsumerisme semata-mata: pertama-tama materialisme yang mengerikan, dan serta-merta rasa sama sekali tidak puas; sebab, kalau orang tidak terlindung terhadap banjir iklan serta tawaran produk-produk yang tiada hentinya dan menggiurkan, ia cepat menemukan : makin banyak ia memiliki, makin banyak pula dibutuhkannya; sedangkan aspirasi-aspirasi yang lebih mendalam tetap tidak terpenuhi, barangkali malahan punah.
            Ensiklik Paus Paulus VI menunjukkan perbedaan yagn sekarang begitu sering ditekankan, antara ”memiliki” dan ”adanya” seseorang[51], seperti sebelumnya telah dicetuskan dengancermat oleh Konsili Vatikan II[52]. ”Memiliki” barang-barang dan harta-benda tidak dengan sendirinya menyempurnakan manusia, kecuali kalau itu menunjang proses pendewasaannya dan ikut memperkaya ”keberadaan”-nya; dengan kata lain: kecuali bila itu mendukung terwujudnya panggilannya sebagai manusia.
            Tentu saja perbedaan antara ”keberadaan” dan ”memiliki”, bahaya yang terletak dalam penimbunan belaka atau penggantian harta-kepunyaan dibandingkan denganniali ”keberadaan”, tidak usah meruncing menjadi pertentangan. Salah satu kenyataan ketidak-adilan yang paling memprihatinkan di dunia masa kini tepatnya terletak di sini: mereka yang memiliki banyak relatif hanya sedikit, sedangkan mereka yang hampir tidak mempunyai apa-apa besar jumlahnya. Itulah ketidak-adilan tidak meratanya pembagian harta-benda dan jasa-jasa, yang sebenarnya diperuntukkan bagi semua orang.
            Beginilah gambarannya: sejumlah orang-kelompok kecil saja yang memiliki banyak-sebenarnya tidak ebrhasil dalam ”keberadaan”, sebab-karena hirarki atau tata-susunan nilai-nilai diputar-balik-mereka dirintangi oleh idaman mereka untuk semata-mata ”memiliki” saja. Sedangkan golongan lain-banyak orang yang hanya mempunyai sedikit atau tidak mempunyai apa-apa-gagal mewujudkan panggilan dasar mereka sebagai manusia, karena kehilangan harta yang sungguh perlu bagi hidup mereka.
            Parahnya kesalahan tidak terletak pada ”memiliki” itu sendiri, melainkan pada ”mempunyai” tanpa mengindahkan mutu dan hirarki harta-milik. Mutu dan hirarki itu dijabarkan dari terbawahnya harta-kepunyaan kepada ”keberadaan” manusia beserta panggilannya yang sejati, dan tersedianya semuanya bagi ”keberadaan” dan panggilan itu.
            Maka jelaslah: pengembangan mau tak mau berdimensi ekonomis, sebab harus menyediakan bagi sebanyak mungkin penduduk dunia harta-milik yang sungguh mereka butuhkan untuk ”berada”. Akan tetapi pengembangan tidak terbatas pada dimensi itu. Kalau dibatasi padanya, pengembangan justru akan merugikan mereka yang dimaksudkan untuk memanfaatkannya.
            Ciri-ciri pengembangan sepenuhya,yakni yang bersifat ”lebih manusiawi”, dan mampu mewujudkan diri pada taraf panggilan manusiawi yang sejati tanpa mengingkari tuntutan-tuntutan ekonomis, telah dilukiskan oleh Paus Paulus VI[53].

29. Pengembangan, yang tidak bersifat ekonomis belaka, harus dinilai dan diarahkan seturut kenyataan serta panggilan manusia seutuhnya, yakni menurut dimensi batinnya. Pantang diragukan, ia membutuhkan harta tercipta dan produk-produk industri, yang terus menerus diperkaya oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi. Lagi pula makin tersedianya harta materiil bukan saja memenuhi kebutuhan-kebutuhan, melainkan juga membuka cakrawala baru. Bahaya penyalahgunaan harta-benda itu dan munculnya kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh manusia sendiri sama sekali tidak boleh menghalang-halangi kita untuk menghargai harta-milik dan sumber-sumber baru yang disediakan bagi kita, atau untuk memanfaatkannya. Sebaliknya semuanya itu harus kita pandang sebagai kurnia Allah, dansebagai tanggapan terhadap panggilan manusia, yang terwujudkan seutuhnya dalam diri Kristus.
            Akan tetapi, sementara berusaha mewujudkan pengembangan yang sejati, jangan pernah diabaikandimensi yang terletak pada kodrat khas manusia, yang diciptakan oleh Allah menurut citra-keserupaan-Nya (bdk.Kej 1:26). Kodrat manusia bersifat jasmani dan rohani, dan dilambangkan dalam kisah penciptaan yang kedua oleh kedua unsur: dari bumi Allah membentuk tubuh manusia, dan nafas kehidupan dihembuskan-Nya ke dalam hidung mausia (bdk. Kej 2:7).
            Itulah sebabnya mengapa manusia dalam arti tertentu menyerupai makhluk-makhluk lainnya: Ia dipanggil untuk menggunakan ciptaan-ciptaan itu dan melibatkan diri dengannya. Menurut kitab Kejadian (bdk.Kej 2:15) manusia ditempatkan di taman dan diserahi tugas mengolah serta memeliharnya; ia unggul terhadap makhluk-makhluk lainnya yang oleh Allah dibawahkan kepadanya (bdk.Kej 1:25-26). Akan tetapi sementara itu manusia wajib tetap patuh-taat kepada kehendak Allah yang menaruh batas-batas pada  penggunaan dan penguasaan manusia terhadap alam tercipta (bdk. Kej 2: 16-17), seperti Allah berjanji pada bahwa ia tidak akan mati (bdk.Kej 2: 9; Keb 2:23). Demikianlah manusia citra Allah, sungguh serupa pula dengan Dia.
            Berdasarkan ajaran itu pengembangan tidak dapat hanya berarti penggunaan, penguasaan dan pemilikan hal-hal tercipta maupun produk-produk kerajinan manusia sesuka hatinya. Tetapi pengembangan berarti terbawahnya pemilikan, penguasaan danpenggunaan semuanya itu kepada manusia selaku citra Allah, kepada panggilannya untuk hidup abadi. Itulah kenyataan manusia yang mengatasi segala ciptaan lainnya. Kenyataan itu sejak semula dimiliki bersama oleh sepasang manusia, pria dan wanita (bdk. Kej 1: 27); maka pada dasarnya bersifat sosial.

 30. Oleh karena itu menurut Kitab Suci pengertian pengembangan bukan hanya ”umum” atau ”profan”, melainkan-sementara berdimensi sosio-ekonomi sendiri-dipandang juga sebagai perwujudan modern dimensi hakiki panggilan manusia.
            Kenyataannya yakni: manusia tidak diciptakan, boleh dikatakan, beku tak bergerak dan statis. Lukisan pertama manusia menurut Kitab Suci memang menggambarkannya sebagai makhluk dan citra Allah; kenyataannya yang terdalam digariskan oleh asalmula dan keserupaan yang menentukan jatidirinya. Akan tetapi semuanya itu menaburkan dalam diri manusia, pria maupun wanita, benih maupun tuntutan tugas khusus, yang harus dilaksanakan oleh mereka masing-masing selaku perorangan dan bersama-sama sebagai pasangan. Tugas manusia ialah”berdaulat” atas ciptaan-ciptaan lainnya, ”mengolah taman”. Dan itu harus dijalankannya dalam rangka ketaatan terhadap hukum ilahi, oleh karena itu disertai sikap hormat terhadap citra yang diterimanya, citra itulah dasar yang jelas bagi kewenangannya untuk berdaulat, yang diakui ada padanya sebagai upaya menuju kesempurnaannya (bdk. Kej 1:26-30; 2: 15-16; Keb 9: 2-3).
            Bila manusia tidak patuh kepada Allah dan menolak menaati kedaulatan-Nya, alam memberontak melawannya, dan tidak mengakuinya lagi sebagai ”tuan”nya; sebab ia mencemarkan citra ilahi dalam dirinya. Tuntutan atas pemilikan dan penggunaan alam tercipta memang tetap berlaku: akan tetapi sesudah dosa pelaksanaannya  menjadi sulit dan penuh derita (bdk. Kerj 3: 17-19).
            Bab berikut kitab Kejadian memang memperlihatkan,bahwa keturunan Kain membangun ”kota”, berternak domba, mengelola kesenian (musik) dan ketrampilan teknis (mengolah logam); sedangkan serta merta orang-orang bulai ”menyerukan nama Tuhan” (bdk. Kej 4: 17-26).
            Riwayat umat manusia seperti dikisahkan oleh Kitab Suci, juga sesudah jatuh berdosa, merupakan sejarah keberhasilan terus menerus. Meskipun selalu dipertanyakan dan terancam  oleh dosa, buah-hasil itu diulang-ulangi, bertambah dan makin meluas, menanggapi panggilan ilahi yang sejak semula dikurniakan kepada pria maupun wanita  (bdk. Kej 1: 26-28), dan tertera  dalam citra yang mereka terima.
            Secara logis disimpulkan, setidak-tidaknya di pihak mereka yang mengimani sabda Allah, bahwa ”pengembangan” zaman sekarang harus dipandang sebagai suatu momen dalam riwayat yang mulai pada pencitaan. Riwayat itu tiada hentinya terancam bahaya karena ketidak-setiaan terhadap kehendak Sang Pencipta, dan khususnya karena godaan penyembahan berhala. Akan tetapi pada dasarnya ”pengembangan” itu cocok dengan asas-asas pertama. Barangsiapa hendak mengabaikan tugas yang sulit tetapi luhur, yakni memperbaiki nasib manusia secara keseluruhan dan nasib semua orang, dengan dalih bahwa perjuangannya sulit dan bahwa terus menerus dituntut daya-upayanya, atau semata-mata akibat pengalaman kegagalan dan karena perlunya memulai lagi, orang itu menghianati kehendak Allah Pencipta. Mengenai hal itu dalam ensiklik ”Laborem Exercens” kami mengacu kepada panggilan manusia untuk bekerja, untuk menekankan gagasan, bahwa selalu manusialah yang harus memperjuangkan pengembangan[54].
            Memang Tuhan Yesus sendiri dalam perumpamaan tentang talenta menekankan tindakan keras terhadap orang yang berani menyembunyikan talentanya: ”Hai kamu, hamba yang jahat dan malas! Kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat aku tidak menabur, dan memungut dari tempat aku tidak menanam...Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu” (Mat 25: 26-28). Tergantung dari kitalah, yang menerima kurnia-kurnia Allah untuk menyuburkannya, untuk ”menabur” dan ”menuai”. Kalau itu tidak kita lakukan, bahkan yang kita miliki pun akan diambil dari kita.
            Renungan lebih mendalam tentang amanat yang keras itu akan mendorong kita untuk dengan lebih tegas memenuhi kewajiban, yang sekarang ini mendesak bagi setiap orang, yakni: bekerjasama demi pengembangan sesama sepenuhnya: ”pengembangan manusia seutuhnya dan semua orang”[55].

 31. Iman akan Kristus Penebus menjelaskan makna pengembangan sendiri, sekaligus juga menuntun kita dalam tugas kerjasama. Dalam surat Paulus kepada umat di Kolose tertulis, bahwa Kristus ialah ”yang sulung di antara semua ciptaan”, dan bahwa ”segala-sesuatu diciptakan dengan perantaraan-Nya” dan untuk Dia ( 1:15-16). Memang ”dalam Dia seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal, dan melalui Dia Allah berkenan mendamaikan segalanya dengan Dirinya ” (ay.20).
            Dalam rencana ilahi itu, yang mulai sejak kekal dalam Kristus,”citra” Bapa yang sempurna, dan yang mencapai puncaknya dalam Dia ”yang sulung diantara mereka yang mati”(ay.18), tercakuplah sejarah kita sendiri, yang ditandai oleh usaha kita perorangan maupun bersama untuk meningkatkan kondisi manusiawi dan mengatasi palang-perintang, yang terus menurut muncul sepanjang perjalanan kita. Begitulah riwayat kita menyiapkan kita untuk ikut serta dalam kepenuhan yang ”diam dalam Tuhan”, dan yang disalurkan-Nya ”kepada Tubuh-Nya, yakni Gereja”(ay.18; bdk. Ef 1:22-23). Sementara itu dosa yagn selalu mencoba menjerumuskan kita, dan yang membahayakan buah-hasil usaha manusiawi kita, dikalahkan, dan ditebus oleh ”pendamaian” yang terlaksana oleh Kristus (bdk. Kol 1:20).
            Di situ melebarlah cakrawala. Tampilah lagi impian tentang ”kemajuan tanpa batas”, yang secara radikal diubah oleh perspektif baru berdasarkan iman kristinai. Iman menegaskan, bahwa kemajuan itu hanya mungkin, karena Allah Bapa sejak semula telah menetapkan, untuk menjadikan manusia peserta dalam kemuliaan-Nya dalam Yesus Kristus yang bangkit dari kematian; dalam Dia ”kita beroleh penebusan berkat darah-Nya..pengampunan pelanggaran kita” (Ef 1:7). Dalam Dialah Allah hendak mengalahkan dosa dan menjadikannya penunjang kesejahteraan kita yang lebih luhur[56] dan tiada hingganya mengatasi apa yang mungkin dicapai oleh kemajuan.
            Oleh karena itu-sepanjang pergumulan di tengah segala kekelaman dan kekurangan situasi terbelakang dan perkembangan yang berlebihan-dapat dikatakan, bahwa suatu ketika tubuh yang dapat binasa ini akan mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati ( bdk. 1 Kor 15:54), bila Tuhan ”menyerahkan kerajaan kepada Allah Bapa” (ay. 24), dan segala perbuatan serta kegiatan yang layak bagi manusia akan ditebus.
            Selanjutnya pengertian iman dengan jelas menerangkan alasan-alasan yang mendorong Gereja untuk menggumuli masalah-masalah pengembangan, untuk memandangnya kewajiban pelayanan pastoral, dan untuk mendesak semua orang supaya memikirkan makna serta ciri-ciri pengembangan manusiawi yang sejati. Melalui komitmennya Gereja disatu pihak hendak menghambakan diri kepada rencana ilahi, yang dimaksudkan untuk mengarahkan segalanya kepada kepenuhan yang diam dalam Kristus (bdk. Kol 1: 19) dan yang disalurkan-Nya kepada Tubuh-Nya. Di pihak lain Gereja hendak menanggapi panggilanny ayang mendasar, yakni menjadi ”sakramen”, maksudnya; ”tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan segenap umat manusia”[57].
            Beberapa Bapa Gereja diilhami oleh gagasan itu untuk mengembangkan secara kreatif faham arti sejarah dan kerja manusia, yagn terarahkan kepada tujuan yang melampaui makna itu, dan selalu ditentukan oleh hubungannya dengan karya Kristus. Dengan kata lain, dalam ajaran para Bapa Gereja terdapat visi yagn optimis tentang sejarah dan kerja maksudnya: tentang nilai abadi hasil kerja manusiawi sejati, sejauh ditebus oleh Kristus dan diarahkan kepada kerajaan yang dijanjikan[58].
            Begitulah termasuk ajaran Gereja serta praksisnya yang kuno seklai keyakinan, bahwa berdasarkan panggilannya Gereja-Gereja sendiri para pelayannya dan setiap anggotanya-wajib meringankan nasib malang mereka yang menderita, yang jauh maupun yang dekat, bukan hanya dari ”kelimpahannya”, melainkan juga dari ”apa yang sungguh dibutuhkannya”. Menghadapi kenyataan-kenyataan  kebutuhan yang mendesak, tidak dapat orang mengabaikannya demi hiasan-hiasan Gereja dan perlengkapan bagi ibadat ilahi yang serba mahal dan tidak perlu. Sebaliknya dapat merupakan kewajiban menjual harta-benda itu, untuk menyediakan makanan, minuman, pakaian dan perumahan bagi mereka yang tidak memilikinya[59]. Seperti telah disebutkan, di sini kita menghadapi ”hirarki atau tata-susunan nilai-nilai”-dalam rangka hak atas milik-antara ”mempunyai” dan ”keberadaan”, khususnya bila ”pemilikan” suatu kelompok kecil dapat merugikan ”keberadaan” banyak orang lain.
            Dalam ensiklik beliau Paus Paulus menepati haluan ajaran beliau, seraya menimba ilham dari Konstitusi pastoral ”Gaudium et Spes”[60]. Dari pihak kami, kami sekali lagi hendak menekankan betapa serius dan mendesak ajaran itu, dan kami memohon Tuhan, supaya memberi segenap umat kristiani kekuatan, untuk dengan setia melaksanakannya.

 32. Kewajiban melibatkan diri dengan pengembangan bangsa-bangsa bukan tugas perorangan melulu, apa lagi bukan kegiatan yang individualistis, seolah-olah pengembangan mungkin tercapai melalui usaha masing-masing orang secara tersendiri. Melainkan itu kewajiban yang mengikat setiap orang, setiap masyarakat dan setiap bangsa. Khususnya itulah kewajiban Gereja Katolik dan Gereja-Gereja serta jemaat-jemaat gerejawi lainnya, sebab dengan merekalah kita setulusnya bersedia bekerjasama di bidang itu. Dalam arti itu kita umat Katolik mengundang saudara-saudari Kristen untuk bergabung dengan prakarsa-prakarsa kita. Begitu pula kami nyatakan, bahwa kita bersedia bekerja sama mewujudkan inisiatif-inisiatif mereka, dan kami menyambut baik undangan-undangan yang kami terima. Untuk mewujudkan pengembangan manusiawi seutuhnya kita juga dapat mencapai banyak bersama dengan para penganut agama-agama lain, seperti memang terjadi di pelbagai tempat.
            Kerjasama dalam pengembangan manusia seutuhnya dan setiap manusia memang merupakan kewajiban semua orang terhadap siapa pun, dan harus dijalankan bersama oleh keempat penjuru dunia: Timur dan Barat, Utara dan Selatan; atau seperti dikatakan sekarang, oleh berbagai ”dunia”. Sebaliknya, kalau suatu golongan mencoba melaksanakannya hanya di satu wilayah atau hanya di satu dunia, itu dilakukannya dengan merugikan pihak-pihak lain. Dan justru karena kelompok-kelompok lain itu diabaikan, pengembangan mereka sendiri berlebihan dan salah-arah.
            Masyarakat atau bangsa pun berhak atas pengembangan dirinya sepenuhnya. Sementara-seperti sudah dikatakan-mencakup segi-segi ekonomi dan sosial, pengembangan harus mencakup pula jatidiri budaya perorangan dan sikap terbuka terhadap Yang Adi Semesta. Bahkan kebutuhan akan pengembangan pun tidak boleh dipakai sebagai dalih untuk memaksakan cara hidup serta keyakinan keagamaannya sendiri terhadap pihak-pihak lain.

33. Begitu juga bagi manusia tidak sungguh layaklah pola pengembangan, yang tidak menghormati atau memajukan hak-hak manusiawi, pribadi maupun sosial, di bidang ekonomi maupun politik, termasuk hak-hak para bangsa dan masyarakat.
            Barangkali lebih dari pada di masa lampau, sekarang ini bertambah jelaslah hak-hak manusiawi sekali lagi mengungkapkan sifat moril pengembangan: peningkatan sejati manusia seturut panggilan kodrati dan historis setiap orang perorangan tidak tercapai dengan melulu memanfaatkan sedapat mungkin kelimpahan harta-benda maupun jasa-jasa, atau dengan tersedianya infrastruktur yang sempurna.
            Bila perorangan maupun persekutuan tidak menghormati sedalam-dalamnya tuntutan-tuntutan moril, budaya dan rohani berdasarkan martabat pribadi dan jatidiri setiap persekutuan, mulai degnan keluarga dan persekutuan keagamaan, lalu segala-sesuatu lainnya-tersedianya harta-benda, melimpahnya sumber-daya teknis yagn diterapkan pada hidup sehari-hari,taraf tertentu kesejahteraan materiil-akan ternyata tidak memuaskan dan akhirnya layak dianggap sepele. Itu jelas diamanatkan oleh Tuhan dalam Injil, ketika Ia meminta perhatian semua orang terhadap hirarki nilai-nilai yang sesungguhnya: ”Apa gunanya orang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?”(Mat 16:26).
            Pengembangan yang sejati menanggapi kebutuhan-kebutuhan khas manusia-pria maupunwanita, anak, dewasa atau lanjut usia-mencakup khususnya bagi mereka yang berperanserta aktif dalam proses itu dan bertanggung jawab atasnya, kesadaran yagn jelas akan nilai hak-hak semua dan setiap orang. Lagi pula mencakup kesadaran yang jelas akan keharusan menghormati hak setiap orang atas penggunaan penuh keuntungan-keuntungan yang tersedia berkat ilmu-pengetahuan dan teknologi.
            Dalam rangka kehidupan setiap bangsa, sikap menghormati semua hak menjadi penting sekali, khususnya : hak atas kehidupan pada setiap tahapnya; hak-hak keluarga sebagai persekutuan dasar atau ”sel masyarakat”, keadilan dalam hubungan-hubungan kerja; hak-hak yang tercakup dalam kehidupan masyarakat politik sebagai negara; hak-hak berdasarkan panggilan adikodrati manusia mulai dengan hak atas kebebasan mengakui dan melaksanakan kepercayaan keagamaannya sendiri.
            Pada tingkat internasional, artinya pada tingkat hubungan antar negara, atau-seperti sekarang lazim dikatakan-antara berbagai ”dunia”, seharusnya ada sikap hormat sepenuhnya terhadap jatidiri setiap bangsa beserta corak-ragam sejarah dan kebudayaannya sendiri. Begitu pula sungguh perlulah-seperti telah dicanangkan dalam ensiklik ”Populorum Progressio”, -mengakui hak yang sama pada setiap bangsa ”untuk duduk pada meja perjamuan bersama”[61], dan bukan seperti Lasarus terbaring di luar pintu, sementara ”anjing-anjing datang menjilati luka-lukanya” (bdk. Luk 16:21). Baik bangsa-bangsa maupun orang-orang perorangan selayaknya menikmati kesetaraan yang mendasar[62], yang merupkan landasan misalnya bagi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa: kesetaraan itu mendasari hak semua orang dan bagnsa untuk berperanserta dalam proses pengembangan sepenuhnya.
            Supaya bersifat sejati, pengembagnan harus berlangsung dalam rangka solidaritas dan kebebasan, tanpa pernah mengorbankan salah satu dari keduanya entah dengan dalih mana pun. Sifat moril pengembangan dan perlunya mendukung pengembangan ditekankan, bila dihormati sedalam-dalamnya segala tuntutan berdasarkan tata kebenaran dan kebaikan yang ada pada pribadi manusia. Selain itu, orang kristen yang belajar memandang manusia sebagai citra Allah, dan dipanggil untuk ikut menghayati kebenaran dan kebaikan yakni Allah sendiri, tidak memahami bagaimana mungkin komitmen terhadap pengembangan serta penerapannya, kalau sikap menghargai dan menghormati martabat khusus ”citra Allah” itu ditolak. Dengan kata lain, pengembangan yang sejati harus didasarkan pada cinta terhadap Allah dan kasih terhadap sesama, serta mendukung peningkatan hubungan antara perorangan dan masyarakat. Itulah ”peradaban cintakasih” yang acap kali disebut-sebut oleh Paus Paulus VI.

34. Begitu pula sifat moril pengembangan tidak dapat mengesampingkan sikap hormat terhadap makhluk-ciptaan, yang merupaan dunia alami. Pada zaman kuno alam semesta oleh bangsa Yunani disebut ”kosmos”, tepatnya mengacu kepada tata-tertib yagn mewarnainya. Juga kenyataan-kenyataan itu menuntut sikap hormat, berdasarkan tiga pertimbangan, yang ada gunanya direnungkan dengan seksama.
            Alasan pertama: sewajarnyalah ditingkatkan kesadaran, bahwa tidak dapat manusia menggunakan semau sendiri saja, untuk memenuhi kebutuhannya di bidang ekonomi, pelbagai golongan ciptaan, entah bernyawa entah tidak-marga-satwa, tumbuh-tumbuhan, unsur-unsur alam-tanpa akan tertimpa siksaan. Sebaliknya perlu diindahkan kodrat setiap makhluk serta hubungan antar ciptaan dalam satu tata-susunan yang teratur yang justru disebut ”kosmos”.
            Pertimbangan kedua berdasarkan kesadaran-barangkali ini lebih mendesak-bahwa sumber-sumber daya alam serba terbatas; dikatakan, bahwa ada sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Memakainya seakan-akan sumber daya itu tidak akan terkuras habis, dengan kesewenagan yang mutlak, menimbulkan bahaya yang gawat bagi persediaannya bukan hanya untuk generasi sekarang, melainkan terutama untuk generasi-generasi mendatang.
            Alasan ketiga langsung berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi pola pengembangan tertentu terhadap mutu kehidupan di kawasan-kawasan industri. Kita semua tahu, bahwa hasil langsung atau tidak langsung  industri-dan itu makin sering-ialah pencemaran lingkungan, dengan akibat-akibatnya yang parah bagi kesehatan penduduk.
            Sekali lagi jelaslah bahwa pengembangan-perencanaan yang mengaturnya, dan cara memanfaatkan sumber-sumber daya, harus disertai sikap hormat terhadap tuntutan-tuntutan moril. Salah satu tuntutan itu niscaya membatasi penggunaan dunia alami. Kedaulatan yang oleh Sang Pencipta dikurniakan kepada manusia bukan kesewenagan yang mutlak. Tidak dapat pula orang berbicara  tentang kebebasan untuk ”menggunakan dan menyalahgunakan”, atau untuk mengatur penggunaan semuanya itu sesuka hati. Batasan yang sejak awalmula ditetapkan oleh sang Pencipta sendiri, dan secara simbolis diungkapkan oleh larangan agar jangan  ”makan buah pohon itu” (bdk. Kej 2:16-17) cukup jelas menunjukkan, bahwa bila soalnya dunia lamai, kita terbawahkan bukan hanya kepada hukum-hukum biologis, melainkan juga kepada hukum-hukum moral yang tidak dapat dilanggar tanpa menghadapi siksaan.
            Pengertian pengembangan yang sejati tidak dapat bersikap tak acuh terhadap pemanfaatan  unsur-unsur alam tercipta, kemungkinan memperbarui sumber-sumber daya, dan akibat-akibat industrialisasi yang acak-acakan-tiga pertimbangan, yang menggugah kewaspadaan suara hati terhadap dimensi moril pengembangan[63].


V
TINJAUAN TEOLOGI TENTANG
MASALAH-MASALAH MODERN

35. Justru pengembangan pada hakikatnya bersifat moril, jelaslah bahwa hambatan-hambatan pengembangan pun berdimensi moril. Bahwa pada tahun-tahun menyusul terbitnya ensiklik Paus Paulus VI tidak ada pengembangan-atau pengembangan hanya sedikit sekali, tidak teratur, atau bahkan ada aspek-aspeknya yang bertentangan-sebab-musababnya tidak terletak di bidang ekonomi melulu. Seperti telah dikatakan, faktor-faktor politik pun memainkan peranan. Sebab keputusan-keputusan, yang mempercepat atau memperlambat pengembangan bangsa-bangsa memang mempunyai sifat politik. Untuk mengatasi mekanisme-mekanisme yang salah arah seperti pernah disinggung, dan menggantikannya dengan mekanisme-mekanisme baru yang lebih adil dan selaras dengan kesejahteraan umum umat manusia, diperlukan kehendak politik yang efektif. Sayang sekali, sesudah menganalisis situasi harus kami simpulkan, bahwa kehendak politik itu tidak memadai.
            Dalam dokumen pastoral seperti ini analisis, yang terbatas melulu pada faktor-faktor ekonomis dan politis penyebab situasi terbelakang (dan, dengan mengingat perbedaan-perbedaanya, apa yang disebut pengembangan berlebihan), tidak akan lengkap. Oleh karena itu perlulah mengetengahkan sebab-sebab moril, yang-tanpa mengurangi hormat terhadap perilaku pribadi-pribadi yang dipandang bertanggung jawab,-berperan sedemikian rupa, sehingga memperlambat jalannya pengembangan dan menghambat tercapainya pengembangan sepenuhnya.
            Begitu pula-bila tersedialah sumber-sumber ilmiah dan teknis, yang atas keputusan-keputusan politis konkret yang diperlukan harus membantu bangsa-bangsa menuju pengembangan yang sejati,-hambatan-hambatan utama terhadap pengembangan hanya akan diatasi melalui keputusan-keputusan  yang pada hakikatnya bersifat moril. Bagi umat beriman, khususnya bagi umat Kristen, keputusan-keputusan itu hendaklah menimba inspirasinya dari asas-asas iman, berkat bantuan rahmat ilahi.

36. Oleh karena itu pentinglah dicatat, bahwa dunia yang terbelah menjadi dua blok, masing-masing ditopang dengan ideologi yang ketat, lagi pula di situ bukan ketergantungan timbal-balik dan solidaritas, melainkan berbagai bentuk mimperialismelah yang merajalela, tak dapat lain kecuali dunia yang terbawah kepada struktur-struktur dosa. Keseluruhan faktor-faktor negatif, yang melawan kesadaran yang sejati akan kesejahteraan bersama bagi semua orang dan menentang keharusan untuk meningkatkannya, menimbulkan kesan menciptakan pada orang-orang maupun lembaga-lembaga hambatan yang cukup sulit diatasi[64].       
            Bila situasi sekarang memang timbul dari pelbagai kesulitan, pada tempatnyalah berbicara tentang ”struktur-struktur dosa”. Seperti pernah kamiutarakan dalam Anjruan apostolik ”Reconciliatio et Paenitentia”, struktur-struktur itu berakar dalam dosa pribadi, dengan demikian selalu berkaitan dengan tindakan-tindakan konkret mereka yang membentuk struktur-struktur itu, memantapkannya, dan menjadikannya sukar ditiadakan[65]. Begitulah struktur-struktur itu makin kuat serta meluas, dan menjadi sumber dosa-dosa lain, dan demikianlah mempengaruhi perilaku orang-orang.
            ”Dosa” dan ”struktur-struktur dosa” ialah faham-faham, yang jarang diterapkan pada situasi dunia masa kini. Akan tetapi kenyataan yang kita hadapi tidak mudah dapat dimengerti secara mendalam, kalau tidak ditegaskan akar malapetaka yang menimpa kita.
            Memang orang dapat berbicara tentang ”cinta diri” dan ”pandangan picik”, tentang ”perkiraan politik yagn salah” dan ”keputusan-keputusan yang gegabah di bidang ekonomi”. Di balik masing-masing penilaian itu terdengar gema penilaian etis dan moril. Kondisi manusia itu sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin dicapai analsisi kegiatan maupun kelalaian orang-orang yang lebih mendalam tanpa dengan suatu atau lain cara mencantum penilaian atau acuan di bidang etis.
            Penilaian itu sendiri positif, khususnya kalau betul-betul konsisten, dan didasarkan pada iman akan Allah danpada hukum-Nya, yang memerintahkan apa yang baik dan melarang apa yang jahat.
            Di situlah letak perbedaan antara analisis sosio-politik dan pengacuan formal kepada ”dosa” dan ”struktur-struktur dosa”. Dalam perspektif kedua itu tercakup kehendak Allah Tritunggal, rencana-Nya mengenai umat manusia, keadilan serta kerahiman-Nya. Allah yang kaya belaskasihan, Penebus manusia, Tuhan Pemberi kehidupan, meminta dari manusia sikap-pendirian yang jelas-tegas, yang terungkap juga dalam tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian terhadap sesama. Di sini kami dapat merujuk kepada ”loh batu kedua” tentang Sepuluh Perintah Allah (bdk. Kel 20:12-17; Ul 5:16-21). Tidak mematuhinya berarti mengundang murka Allah dan melukai sesama, serta memasukkan ke dalam dunia pengaruh-pengaruh dan hambatan-hambatan yang jauh melampaui kegiatan dan umur manusia yang pendek. Ketidak-taatan itu juga mengandung campurtangan dalam proses pengembangan bangsa-bagnsa. Penundaan atau lambannya proses itu harus dinilai pula dalam terang itu.

37.Analisis umum yang berdimensi religius itu dapat dilengkapi dengan sejumlah pemikiran khusus untuk menunjukkan, bahwa di antara tindakan-tindakan dan sikap-sikap yagn bertentangan dengan kehendak Allah yakni kesejahteraan sesama, dan ”struktur-struktur” yang mereka ciptakan, ada dua yang sangat khas; di situ pihak, keserakahan akan keuntungan yang merajalela, dan di lain pihak kehausan untuk berkuasa dengan maksud memaksakan kehendak sendiri atas orang-orang lain. Untuk lebih jelas lagi menonjolkan masing-masing dari sikap itu dapat dibubuhkan ungkapan: ”dengan mengorbankan apa pun juga”. Dengan kata lain, kita menghadapi pemutlakan sikap-sikap manusia dengan segala konsekuensi yang mungkin timbul dari padanya.
            Karena dapat tampil tanpa saling tergantung, sikap-sikap itu dapat dipisahkan . akan tetapi di dunia sekarang ini keduanya menyatu tak terceraikan; yang dominan sikap yang satu atau yang lainnya.
            Jelaslah bukan hanya orang perorangan yang terperosok ke dalam kedua sikap dosa itu. Bangsa-bangsa dan kedua blok itu pun dapat terjerumus. Dan itu bahkan lebih mendukung lagi bertumbuhnya ”struktur-struktur dosa” yang telah kami sebutkan. Seandainya bentuk-bentuk tertentu ”imperialisme” modern ditelaah dalam terang norma-norma moral itu, akan kelihatan, bahwa di balik keputusan-keputusan tertentu, yang nampaknya saja diilhmai oleh ekonomi atau politik semata-mata, sebenarnya tersembunyi bentuk-bentuk nyata penyembahan berhala: uang, ideologi, kelas, teknologi.
            Kami ingin memasukkan corak analisis itu terutama untuk menunjukkan  kenyataan kejahatan yang sesungguhnya, yang kita hadapi berkenaan dengan pengembangan bangsa-bangsa: Pokoknya ialah kejahatan moril, akibat banyak dosa yagn menimbulkan ”struktur-struktur dosa”. Mendiagnosa kejahatan dengan cara itu berarti menunjukkan dengan cermat, pada tingkat perilaku manusiawi, jalan yang harus ditempuh untuk mengatasinya.

38. Jalan itu panjang dan cukup rumit, apa lagi terus menerus terancam karena kerapuhan batin keputusan-keputusan dan hasil jerih-payah manusiawi, pun juga karena silih –bergantinya situasi dan kondisi lahiriah yang sulit sekali diramalkan seblumnya. Kendati begitu harus ada keberanian untuk memulai perjalanan itu, dan –bila berbagai langkah telah ditempuh atau sebagian perjalanan diselesaikan, keberanian untuk bertahan sampai akhir.
            Dalam konteks permenungan itu, keputusan untuk memulai atau melanjutkan perjalanan terutama mencakup nilai moril, yang oleh manusia beriman diakui sebagai tuntutan kehendak Allah, satu-satunya dasar yagn sejati bagi etika yang mengikat secara mutlak.
            Kirannya boleh diharapkan, bahwa orang-orangtanpa iman yang jelas pun akan yakin,bahwa hambatan-hambatan bagi pengembagnan yang menyeluruh bukansaja terdapat di bidang ekonomi, melainkan bersumber pada sikap0sikap lebih mendalam, yang oleh manusia dapat dijadikan nilai-nilai mutlak. Begitulah boleh diharapkan, bahwa mereka semua yang sampai taraf tertentu bertanggungjawab untuk memperjuangkan ”kehidupan lebih manusiawi” bagi sesama, entah apakah mereka dijiwai oleh iman keagamaan atau tidak, akan menyadari sepenuhnya mendesaknya kebutuhan untuk mengubah sikap-sikap  rohani, yang menentukan bagi hubungan setiap orang dengan dirinya sendiri, dengan sesama bahkan dengankelompok-kelompok manusia yang paling jauh pun, dan dengan alam tercipta. Dan semuanya itu demi nilai-nilai lebih luhur seperti kesejahteraan umum, atau –mengutip ungkapan yang tepat sekali dalam ensiklik ”Populorum Progressio”-pengembangan sepenuhnya ”manusia seutuhnya maupun semua manusia”[66].
            Bagi umat Kristen, seperti bagi siapa pun yagn mengakui makna teologis istilah dosa yang tepat, perubahan perilaku atau mentalitas atau corak hidup disebut pertobatan menurut bahasa Kitab suci (bdk. Mrk 13:3, 5; Yes 30:15). Pertobatan itu secara khas meliputi hubungan dengan Allah, dengna dosa yang dijalankan , dengan konsekuensi-konsekuensinya, dan karena itu dengan sesama, perorangan atau persekutuan. ”Dalam tangan Allah terletak hati kaum berkusa”[67] dan hati semua orang; maka Allah sendirilah, yang menurut janji-Nya dan karena kekuatan Roh-Nya dapat mengubah ”hati dari batu” menjadi ”hati dari daging” (bdk.Yeh 36:26).
            Pada jalan menuju pertobatan yang diinginkan, untuk mengatasi hambatan-hambatan moril terhadap pengembangan, sudah mungkinlah menunjuk kepada nilai positif dan moril meningkatnya kesadaran akan ketergantungan timbal-balik antar manusia dan antara bangsa. Keyataan bahwa orang-orang di pelbagai kawasan dunia merasa terkena secara pribadi oleh perbuatan tidak adil dan pelanggaran hak-hak manusiawi yang terjadi di negara-negara jauh, yang barangkali tidak pernah akan mereka kunjungi, merupakan pertanda lebih lanjut, bahwa suatu kenyataan berubah menjadi kesadaran, dan dengan demikian beroleh tambahan arti moril.
            Pokok utama ialah ketergantungan timbal-balik, yang dialami sebagai sistem yang menentukan hubungan-hubungan di dunia sekarang di bidang ekonomi, budaya, politik dan keagamaan, dan diterima sebagai kategori moril. Bila hubungan timbal-balik beroleh pengakuan itu, tanggapan yang sepadan sebagai sikap moril dan sosial, sebagai ”keutamaan”, ialah solidaritas. Solidaritas itu bukan perasaan belaskasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyakorang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikandiri kepada kesejahteraan umum, artinya: kepada kesejahteraan semua orang dan setiap perorangan, karena kita ini semua sungguh bertanggung jawb atas semua orang. Tekad itu bertumpu pada keyakinan yang mantap, bahwa yang menghambat pengembangan sepenuhnya ialah keinginan akan keuntungan dan kehausan akan kekuasaan seperti telah disebutkan. Sikap-sikap dan ”struktur-struktur dosa” itu hanya dikalahkan-dengan mengandaikan bantuan rahmat ilahi-oleh sikapyang sama sekali sebaliknya: komitmen terhadap kesejahteraan sesama disertai kesediaan menurut Injil untuk ”kehilangan diri sendiri”demi sesama, bukan untuk menghisapnya, dan untuk ”melayaninya”, bukan untuk menindasnya demi keuntungan sendiri (bdk. Mat 10:40-42; 20:25; Mrk 10:42-45; Luk 22:25-27).

39. Di setiap masyarakat solidaritas sungguh dilaksanakan, bila para warganya saling mengakui sebagai pribadi. Mereka, yang berpengaruh jasa-jasa umum, hendaklah merasa bertanggung jawab atas mereka yang lebih lemah, dan bersedia berbagi segala milik-kepunyaan dengan mereka. Di pihak lain, mereka yang lebih lemah-dalam semangat solidaritas itu juga-janganlah mengenakan sikap pasif belaka, atau sikapyang menghancurkan jaringan sosial; melainkan sementara menghendaki hak-hak mereka yang sah, hendklah ebrusaha sedapat mungkin demi kesejahteraan semua orang. Sedangkan kelompok-kelompok tengahan janganlah karena cinta-diri mendesakkan kepentingan-kepentingan mereka yang khas, melainkan menghormati kepentingan-kepentingan sesama.
            Tanda-tanda positif zaman sekarang yakni meningkatnya kesadaran akan solidaritas di antara kaum miskin sendiri, usaha-usaha mereka untuksaling mendukung, danunjuk-unjuk rasa mereka secara terbuka di gelanggang sosial. Tanpa menggunakan kekerasan tindakan-tindakan itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan serta hak-hak mereka sendiri menghadapi pemerintah yang tidak efisien atau korup. Karena kewajibannya menurut Injil, Gereja merasa terpanggil untuk memihak kaum miskin, untuk mengenali adilnya permintaan-permintaan mereka dan membantu memenuhinya, tanpa mengabaikan kepentingan kelompok-kelompok dalam rangka kesejahteraan umum.
            Norma itu secara analog diterapkan juga pada hubungan-hubungan internasional. Ketergantungan timbal-balik harus diubah menjadi solidaritas, berdasarkan prinsip bahwa harta-kekayaan alam tercipta diperuntukkan bagi semua orang. Begitu pula apa pun yagn dihasilkan oleh kerajinan manusiawi melalui pengolahan bahan-bahan mentah berkat kerja manusia, harus melayani kepentingan semua orang.
            Sambil mengatasi setiap betnuk imperialisme dan kemauan kuat untuk melestarikan dominasi mereka, bangsa-bangsa yang lebih kuat dan lebih kaya hendaklah memupuk rasa tanggung jawab moril atas bangsa-bangsa lain, supya terwujudlah suatu sistem internasional yangnyata berdasarkan kesamaan martabat semua bangsa dan perlunyasikap menghormati perbedaan-perbedaan mereka yang wajar. Negara-negara yang di bidang ekonomi lebih lemah, atau yang masih berada ditingkat mempertahankan kelangsungan mereka, hendaklah dengan bantuan bangsa-bangsa lain dan masyarakat internasional menjadi mampu untuk membawakan sumbangan mereka sendiri bagi kesejahteraan umum dengan harta-kekayaan kemanusiaan dan kebudayaan mereka, yang kalau tidak dimanfaatkan akan hilang untuk selamanya.
            Solidaritas membantu kita memandang ”pihak lain”-entah itu pribadi, masyarakat atau bangsa-tidak sebagai semacam alat belaka, beserta kemampuan kerja dan kekuatan fisiknya untuk dieksploatasi dengan biaya murah, kemudian disingkirkan kalau sudah kehilangan faedahnya, melainkan sebagai ”sesama” kita, sebagai ”pembantu” (bdk. Kej 2:18-20), untuk menjadi mitra usaha yang sederajat dengan kita pada perjamuan kehidupan, atas undangan Allah yang sama-sama ditujukan kepada semua orang. Oleh karena itu pentinglah membangkitkan lagi kesadaran keagamaan orang-orang maupun bangsa-bangsa.
            Demikian ditolaklah penghisapan, penindasan dan penyisihan pihak-pihak lain. Kenyataan-kenyataan itu, dalam situasi pembelahan dunia sekarang menjadi dua blok yang berlawanan, serentak menimbulkan bahaya perang dan pemusatan perhatian yang berlebihan pada keamanan pihaknya sendiri, sering hingga merongrong otonomi, kebebasan mengambil keputusan dan bahkankeutuhan wilayah bangsa-bangsa yang lebih lemah dalam apa yang disebut”kawasan-kawasan pengaruh” atau ”zona-zona keamanan”.
            Begitu pula ”struktur-struktur dosa” dan dosa-dosa yang berumber padanya bertentangan secara radikal dengandamai dan pengembangan; sebab pengembangan menurut istilah yang lazim dalam ensiklik Paus Paulus VI ialah ”nama baru bagi damai”.[68]
            Begitulah solidaritas yang kami anjurkan merupakan jalan menuju damai dan sekaligus pengembangan. Sebab perdamaian dunia tidak terbayangkan, selama para pemimpin dunia belum mengakui, bahwa ketergantungan timbal-balik itu sendiri meminta supaya politik kedua blok ditinggalkan, dan menuntut pengorbanan segala bentuk imperialisem di bidang ekonomi, militer atau politik, serta perombakan sikap saling curiga menjadi kerja sama. Justru itulah tindakan yang tepat bagi solidaritas antara pribadi dan antara bangsa-bangsa.
            Semboyan masa kepausan pendahulu kami yang mulia Paus Pius XII ialah ”Opus iustitiaw pax”: damai merupakan buah keadilan. Sekarang dapat dikatakan dengan cara secermat itu dan atas kekuatan ilham kitabiah yang sama pula (bdk. Yes 32:17; Yak 3:18): ”Opus solidaritas pax: damai merupakan buah solidaritas.
            Tujuan damai, yang begitu didambakan oleh setiap orang, pasti akan tercapai degnan melaksanakan keadilan sosial dan internasional, tetapi juga dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan yang menunjang kebersamaan, dan mengajar kita untuk hidup dalam kesatuan, untuk membangun dalam kesatuan, dengan memberi serta menerima masyarakat baru dan dunia yang lebih baik.

40. Pantang diragukan: solidaritas merupakan keutamaan Kristiani. Dalam apa yang diuraikan hingga sekarang mungkinlah mengenali banyak titik-temu antara solidaritas dan cintakasih, yagn merupakan ciri para murid Kristus (bdk. Yoh 13:35).
            Dalam terang iman solidaritas berusaha melampaui diri, mengenakan dimensi-dimensi khas Kristiani kemurahan hati yang sepenuhnya, pengampunan dan pendamaian. Sesama bukan melulu manusia beserta hak-haknya sendiri dan kesetaraan dasariah dengan manusia lain mana pun juga, melainkan menjadi citra yang hidup menyerupai Allah Bapa, ditebus berkat darah Yesus Kristus, dan tiada hentinya diliputi oleh karya Roh Kudus. Oleh karena itu sesama harus dikasihi, juga kalau ia seorang musuh, dengan cinta yang sama seperti kasih Tuhan sendiri terhadapnya. Dan demi sesama itu orang harus bersedia berkorban, bahkan sampai tuntas: menyerahkan nyawanya demi saudara-saudari (bdk. 1 Yoh 3:16).
            Di situlah kesadaran, bahwa Allah itu Bapa seluruh umat manusia, bahwa semua orang bersaudara dalam Kristus-”putera-puteri dalam Sang Putera”-dan bahwa Roh Kudus hadir dan berkarya sebagai Pemberi kehidupan, akan memperkaya visi kita tentang dunia dengan kriterium baru untuk menafsirkannya. Melampaui ikatan-ikatan manusiawi dan kodrati, yang sudah begitu erat dan kuat, dalam terang iman tampillah pola baru kesatuan umat manusia, yagn pada akhirnya harus mengilhami solidaritas kita. Pola kesatuan yang amat luhur itu, yang mencerminkan kehidupan batin Allah, satu Allah dalam tiga Pribadi, itulah yang kita maksudkan sebagai umat Kristen, kalau kita gunakan istilah ”communio”. Persekutuan khas Kristen yang dipertahankan penuh semangat itu, yang diperluas dan diperkaya berkat bantuan Tuhan, merupakan jiwa panggilan Gereja menjadi ”sakramen”, dalam arti seperti telah disebutkan.
            Oleh karena itu solidaritas harus berperan serta dalam realisasi Rencana ilahi itu, baik pada taraf orang perorangan, maupun pada taraf masyarakat nasional dan internasional. ”Mekanisme-mekanisme jahat” dan ”struktur-struktur dosa” yang telah kami bahas hanya dapat diatasi dengan mempraktekkan solidaritas manusiawi dan Kristinai. Untuk itulah Gereja memanggil kita, dan itulah yang oleh Gereja diperjuangkan tanpa kenal lelah. Hanya begitulah daya-kekuatan positif semacam itu dapat dilepas sepenuhnya guna menunjang pengembangan dan perdamaian.
            Banyak para kudus yang diakui resmi oleh Gereja memberi kesaksian yang mengagumkan akan solidaritas itu, dan dapat menjadi teladan dalam situasi yang serba sulit sekarang ini. Diantara mereka ingin kami sebutkan St. Petrus Klaver dan pengabdiannya kepada budak-budak belian di Kartagena de Indias, dan St. Maksimilian Maria Kolbe, yang mengorbankan hidupnya menggantikan seorang tawanan yang tidak dikenalnya dalam kamp konsentrasi di kota Auschwitz.

VI
BEBERAPA PEDOMAN KHUSUS

 41. Seperti dinyatakan oleh Paus Paulus VI dalam ensiklik beliau[69], Gereja tidak dapat menyajikan pemecahan-pemecahan teknis bagi masalah keterbelakangan. Sebab Gereja tidak mengusulkan sistem-sistem atau program-program ekonomi dan politik, tidak pula menyatakan diri lebih condong kepada yang satu dari pada ke arah yang lain, asal saja martabat mausiawi dihargai dan diperjuangkan  seperti layaknya, dan asal Gereja sendiri mendapat peluang yang dibutuhkannya untuk menunaikan pelayanannya di dunia.
            Akan tetapi Gereja itu ”pakar perihal kemanusiaan”[70], dan mau tak mau itu mendorongnya untuk memperluas misi keagamaanya hingga meliputi pelbagai bidang usaha-usaha manusia, untuk menemukan kebahagiaan yang selalu bersifat relatif, yang dapat diraih di dunia ini sesuai dengan martabatnya sebagai pribadi.
            Menganut teladan para pendahulu kami, perlu kami ulangi, bahwa apa pun yang menyangkut martabat manusia dan bangsa-bangsa, misalnya pengembangan yang sejati, tidak dapat dipersempit menjadi masalah ”teknis”. Bila dipersempit begitu, pengembangan akankehilangan maknanya yang sesungguhnya, dan itu berarti pengkhianatan terhadap manusia dan bangsa-bangsa, yang seharusnya beroleh manfaat dari pengembangan.
            Itulah sebabnya, mengapa sekarang ini, seperti dua puluh tahun yang lalu, pun juga di masa mendatang, Gereja wajib mengatakan apa-apa tentang sifat, persyaratan, tuntutan-tuntutan dan sasaran-sasaran pengembangan yang sejati, begitu pula tentang halangan-halangan yang menghambatnya. Dengan bertindak demikian Gereja menunaikan misinya mewartakan Injil. Sebab Gereja menyajikan sumbangannya yang pertama untuk memecahkan persoalan mendesak, yakni pengembagan, bila menyiarkan kebenaran tentang Kristus, tentang dirinya dan tentang manusia, seraya menerapkan kebenaran itu pada situasi konkret[71].
            Sebagai upaya untuk mencapai tujuan itu, Gereja menggunakan ajaran sosialnya. Dalam situasi masa kini yang serba sulit kesadaran yang lebih cermat dan penyebarluasan ”perangkat asas-asas untuk refleksi, norma-norma untuk penilaian dan pedoman-pedoman untuk bertindak”, yang disajikan oleh ajaran Gereja[72], akan banyak membantu untuk mendukung seksamanya penentuan soal-soal yang sedang dihadapi serta pemecahannya yang terbaik.
            Demikian langsung akan jelaslah, bahwa soal-soal yang kita hadapi pertama-tama ialah soal-soal moril. Analisis  masalah pengembangan maupun upaya-upaya untuk menanggulangi kesukaran-kesukaran sekarang tidak dapat mengabaikan dimensi hakiki itu.
            Ajaran sosial Gereja bukan ”jalan ketiga” di antara kapitalisme liberal dan kolektivisme Marksis, atau bahkan alternatif yang mungkin di samping cara-cara lain untuk memecahkan persoalan, yang tidak seradikal itu saling bertentangan. Akan tetapi ajaran sosial itu merupakan suatu kategori tersendiri. Ajaran itu juga bukan ideologi, melainkan perumusan cermat hasil-hasil refleksi yang seksama tentang kenyataan-kenyataan hidup manusiawi yang serba rumit, dalam masyarakat maupun dalam tata internasional, dalam terang iman dan tradisi gereja. Ajarna itu bermaksud menafsirkan kenyataan-kenyataan itu, dengan menetapkan keselarasan atau pun perbedaannya dengan haluan ajaran Injil tentang manusia dan panggilannya, panggilan sekaligus duniawi dan adikodrati. Begitulah tujuannya menuntun perilaku Kristiani. Oleh karena itu ajaran sosial Gereja tidak termasuk bidang ideologi, melainkan termasuk teologi, dan khususnya teologi moral.
            Pengajaran dan penyiaran ajaran sosial Gerej atercakup dalam misi Gereja mewartakan Injil. Dan karena tujuan ajaran itu membimbing perilaku orang-orang, maka membangkitkan ”komitmen kepada keadilan” sesuai dengan peranan-peranan, panggilan dan situasi masing-masing.
            Pengecaman kejahatan dan ketidak-adilan pun termasuk pelayanan mewartakan Injil di bidang sosial, yang merupakan suatu segi peranan kenabian Gereja. Akan tetapi perlu dijelaskan, bahwa pewartaan itu selalu lebih penting darip ada pengecaman, dan pengecaman tidak dapat mengabaikan pewartaan, yang memberinya kemantapan yang andal dan kekuatan motivasi yang lebih luhur.

42. Sekarang ini lebih dari pada di masa lamapu ajaran sosial Gereja harus terbuka bagi perspektif internasional seturut haluan Konsili Vatikan Kedua[73], ensiklik-ensiklik terakhir[74], dan khususnya selaras dengan ensiklik yang sedang kita kenangkan[75]. Oleh karena itu bukannya berlebihan mengkaji ulang dan makin menjelaskan dalam terang itu tema-tema dan pedoman-pedoman khas yang diuraikan oleh Kewenangan Mengajar Gereja beberapa tahun terakhir ini.
            Di sini kami ingin mengangkat salah satu tema, yakni: pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin. Yang dimaksudkan: pilihan atau bentuk khusus prioritas dalam mengamalkan cintakasih Kristiani. Seluruh Tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu. Pilihan atau sikap itu mewarnai kehidupan  setiap orang Kristen, sejauh ia berusaha meneladan kehidupan Kristus, tetapi diterapkan juga pada pokok-pokok tanggung jawab sosial kita, dan karena itu pada cara hidup kita, serta pada keputusan-keputusan sewajarnya yang perlu diambil mengenai hak-pemilikan dan penggunaan harta-benda.
            Lagi pula mengingat, bahwa dewasa ini masalah sosial meluas meliputi seluruh dunia[76], cintakasih yang mengutamakan kaum miskin itu, begitu pula keputusan-keputusan yang diilhaminya kepada kita, mau tak mau harus merangkul  massa tak terbilang mereka yang lapar, serba kekurangan, tunawisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama tanpa  harapan akan masa depan yang lebih cerah. Mustahil orang tidak memperhitungkan kenyataan-kenyataan itu. Mengabaikannya berarti menjadi seperti ”si kaya” yagn pura-pura tidak tahu-menahu tentang pengemis Lasarus yang terkapar di dekat pintu (bdk. Luk 16:19-31)[77].
            Hidup kita sehari-hari, begitu pula keputusan-keputusan kita di bidang politik dan ekonomi, harus diwarnai oleh kenyataan-kenyataan itu. Begitu pula para pemimpin bangsa-bangsa dan para ketua lembaga-lembaga internasional, sementara selalu wajib mengindahkan dimensi manusiawi sejati sebagai prioritas dalam rencana-rencana pengembangan mereka, jangan lupa memberi perhatian utama kepada gejala kemiskinan yang makin menjadi-jadi. Sungguh menyedihkan, bahwa kaum miskin tidak berkurang jumlahnya, justru makin banyak, bukan saja di negeri-negeri yang belum begitu maju, melainkan juga-dan batu sandungan ini agaknya tak kurang beratnya-di negeri-negeri yang sudah lebih maju.
            Perlu ditegaskan sekali lagi asas karakteristik ajaran sosial Kristiani: Harta-benda dunia ini pada mulanya dimaksudkan bagi semua orang[78]. Hak atas milik perorangan memang berlaku dan perlu juga, tetapi tidak menghapus prinsip itu. Kenyataannya milik perorangan itu terikat pada ”kewajiban sosial”[79]; artinya: pada hakikatnya terhadap mempunyai fungsi sosial justru berdasarkan prinsip bahwa harta-benda diperuntukkan bagi semua orang. Begitu pula dalam keprihatinan terhadap kaum miskin itu jangan dilupakan bentuk khas kemiskinan, yakni: bila orang dirampas hak-hak asasi manusiawinya, khususnya hak atas kebebasa beragama dan hak atas kebebasan berprakarsa di bidang ekonomi.

43. Motivasi yakni kepedulian terhadap kaum miskin-menurut istilah yang penuh makna mereka itu ”kaum miskin Tuhan”[80]-hendaklah dijabarkan pada segala tingkat menjadi kegiatan konkret, sampai secara menentukan tercapailah serangkaian pembaharuan yang dibutuhkan. Setiap situasi setempat akan memaparkan pembaharuan-pembaharuan manakah yang paling mendesak, dan bagaimana semuanya itu akan diwujudkan. Tetapi pembaharuan-pembaharuan yang dituntut karena situasi ketimpangan internasional, seperti telah dilukiskan, jangan dilupakan.
            Dalam konteks itu kami ingin secara khas menyebutkan: perombakan sitem dagang internasional, yagn terikat pada proteksionisme dan meningkatnya bilateralisme; perombakan sistem moneter dan finansial sedunia, yang sekarang diakui tidak memadai; soal pertukaran teknologi dan penggunaannya yang tepat; kebutuhan untuk meninjau kembali struktur organisasi-organisasi internasional yang ada, dalam rangka tata hukum internasional.
            Sistem dagang internasional sekarang sering menerapkan diskriminasi terhadap produk-produk industri-industri muda negara-negara yang sedang berkembang, dan menurunkan gairah para produsen bahan-bahan mentah. Terdapat pula semacam pembagian internasional kerja: produk-produk murah negara-ngera tertentu, yang tidak mengenal hukum-hukum kerja yang efektif, atau terlampau lemah untuk memberlakukannya, diperdagangkan di daerah-daerah lain dengankeuntungan cukup besar bagi perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam bentuk produksi itu, dan yang tidak tahu batas.
            Sistem moneter dan finansial sedunia ditandai oleh goncangan nilai tukar dan suku bunga yang berlebihan, sehingga merugikan neraca pembayaran dan memperparah situasi utang negara-negara yang lebih miskin.
            Bentuk-bentuk teknologi dan alih teknologi sekarang merupakan salah satu masalah cukup berat dalam percaturan internasional, disertai kerugian cukup besar yang diakibatkan olehnya. Sering sekali muncul kasus negara-negara berkembang, yang tidak diberi bentuk-bentuk teknologi yang dibutuhkan atau justru disaluri bentuk-bentuk yang tidak berguna.
            Menurut pandangan banyak orang, agaknya organisasi-organisasi internasional sedang mengalami tahap: cara-cara maupun biaya-biaya operasional serta daya-gunanya perlu ditinjau kembali dengan seksama dan mungkin dikoreksi juga. Jelaslah proses serumit itu tidak dapat dilaksanakan tanpa kerjasama semua pihak. Persyaratannya yakni: bahwa persaingan-persaingan politik diatasi, dan dilepaskan segala keinginan untuk memanipulasikan organisasi-organisasi, yang didirikan semata-mata demi kesejahteraan umum.
            Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang ada telah berkarya dengan baik dan berjasa bagi bangsa-bangsa. Namun sekarang umat manusia berada dalam tahap baru dan lebih sulit bagi pengembangannya yang sejati. Dibutuhkan penataan internasional yang lebih baik lagi, untuk melayani masyarakat-masyarakat, ekonomi-ekonomi dan kebudayaan-kebudayaan seluruh dunia.

 44. Pengembangan pertama-tama memerlukan semangat berprakarsa dipihak negara-negara yang membutuhkannya[81]. Masing-masing negara itu harus bertindak menurut tanggung jawabnya sendiri, tanpa mengharapkan segalanya dari negara-negara yang lebih mujur, dan bekerja sama dengannegara-negara lain dalam situasi yagn sama. Masing-masing negara hendaklah menemukan dan menggunakan bidang kebebasannya sendiri dengan cara yang paling menguntungkan. Masing-masing hendaklah mengembangkan kemampuannya berprakarsa menanggapi kebutuhan-kebutuhannya sendiri sebagai masyarakat. Masing-masing harus menyadari kebutuhan-kebtuhannya yang sesungguhnya juga, begitu pula hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang mengikatnya untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan itu. Pengembangan bangsa-bangsa mulai dan paling tepat diwujudkan dalam dedikasi masing-masing bangsa kepada pengembangannya sendiri, dalam kerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
            Maka pentinglah bahwa bangsa-bangsa yang sedang berkembang sendiri mendukung kemandirian setiap warganya dengan membuka pintu bagi kebudayaan yang lebih luas dan bagi arus informasi yang bebas. Apa pun yagn menunjang kemampuan membaca-menulis danpendidikan dasar yagn melengkapi dan memperdalamnya merupakan sumbangan langsung bagi pengembangan sejti, seperti dikemukakan oleh ensiklik ”populorum Progressio”[82]. Di begitu banyak wilayah dunia sasaran-sasaran itu masih belum terjangkau.
            Untuk menempuh jalan itu bangsa-bangsa sendiri harus menegaskan prioritas-prioritas mereka sendiri dan dengan jelas mengenali kebutuhan-kebutuhan mereka menurut  situasi khas rakyat mereka, lingkup geografis mereka dan tradisi-tradisi budaya mereka.
            Beberapa bangsa perlu meningkatkan produksi pangan, supaya selalu tersedialah nafkah yang dibutuhkan rakyat untuk tetap hidup dari hari ke hari. Di dunia modern-dengan begitu banyaknya korban kelaparan khususnya di antara anak-anak-ada beberapa contoh bangsa-bangsa yang belum maju sekali, yang toh sudah mencapai sasaran swa-sembada pangan, bahkan menjadi pengekspor pangan.
            Bangsa-bangsa lain perlu merombak struktur-struktur ketidak-adilan tertentu, khususnya lembaga-lembaga politik mereka, untuk menggantikan bentuk-bentuk pemerintahan yang korup, diktatorial dan otoriter dengan pola pemerintahan yang demokratis dan mendorong peranserta rakyat. Mudah-mudahan proses itu akan meluas dan makin mantap. Sebab ”kesehatan” masyarakat politik-seperti terungkap dalam peran serta bebas dan bertanggung jawab semua warganegara dalam soal-soal kenegaraan, dalam tegaknya hukum, dalam sikap hormat terhadap hak-hak manusiawi serta peningkatannya-merupakan syarat mutlak dan jaminan pasti bagi pengembangan ”manusia seutunya dan semua orang”.

45. Tiada apa pun yang telah dikatakan dapat dicapai tanpa kerja sama semua pihak-khususnya masyarakat  internasional-dalam rangka solidaritas yang mencakup setiap orang, mulai dengan mereka yang paling tersisihkan. Akan tetapi  bangsa-bangsa yang berkembang sendiri wajib melaksanakan solidaritas antara mereka sendiri dan dengan negara-negara yang termiskin di dunia.
            Misalnya alangkah baiknya bila bangsa-bangsa di kawasan geografis yang sama mengadakan bentukbentuk kerja sama, yang menguraikan ketergantungan mereka dari negara-negara produsen yang lebih berkuasa; hendaknya mereka membuka batas-batas mereka bagi produk-produk dari kawasan mereka; mereka hendaklah meneliti,, bagaimana produk-produk mereka barangkali dapat saling melengkapi; mereka harus berpadu tenaga, untuk menyelenggarakan jasa-jasa, yang masing-masing diantara mereka secara tersendiri tidak mampu menyediakan; mereka dihimbau untuk memeprluas kerja sama meliputi sektor moneter dan finansial.
            Ketergantungan timbal-balik sudah merupakan kenyataan di banyak negara-negara itu. Mengakui kenyataan itu untuk meningkatkan daya-gunanya sudah menyajikan alternatif terhadap ketergantungan yang berlebihan dari bangsa-bangsa yang lebihkaya danlebih berkuasa, sebagai aspek dalam pengembangan yang didambakan, tanpa menentang siapa pun, melainkan sambil menggali dan memanfaatkan sedapat mungkin potensi-potensi negara sendiri. Negara-negara berkembang di satu kawasan geografis, khususnya yang tercakup dalam istilah Selatan, dapat dan harus membentuk organisasi-organisasi regional yang baru berpedoman pada norma-norma kesetaraan, kebebasan dan partisipasi dalam serikat bangsa-bangsa-seperti sedang terjadi, sudah berhasil dan memberi harapan.
            Suatu syarat pokok bagi solidaritas sedunia ialah otonomi dan penentuan nasib sendiri secara bebas, juga di dalam perserikatan-perserikatan seperti sudah disebutkan. Akan tetapi sekaligus solidaritas meminta kesediaan untuk menerima pengorbanan-pengorbanan yang diperlukan demi kesejahteraan masyarakat dunia seluruhnya.

PENUTUP

46. Bangsa-bangsa maupun orang-orang perorangan mencita-citakan kebebasan. Daya-upaya mereka untuk mengembangkan diri sepenuhnya menandakan keingianan mereka untuk menanggulangi sekian banyak hambatan yang mencegah mereka menikmati ”perihidup lebih manusiawi”.
            Belum lama ini, dalam periode menyusul terbitnya ensiklik ”Populorum Progressio”, suatu cara baru untuk menanggapi soal-soal kemiskinan dan keadaan terbelakang telah meluas di berbagai kawasan dunia, khususnya di Amerika Latin. Pendekatan itu menjadikan pembebasan kategori dasar dan asas perdana kegiatan. Baik nilai-nilai positif maupun penyimpangan-penyimpangan dan risiko-risiko penyimpangan yang merugikan iman serta berkaitan dengan bentuk refleksi teologis  dan metode itu dengan tepat telah ditunjukkan oleh Kewenangan Mengajar Gereja[83].
            Seyogyanya ditambahkan, bahwa aspirasi kebebasan dari segala bentuk perbudakan, yang menyangkut perorangan maupun masyarakat, merupakan suatu nilai luhur dan memang wajar. Memang itulah tujuan pengembangan, atau lebih tepat pembebasan dan pengembangan, dengan mengindahkan kaitan erat antara keduanya.
            Pengembangan di bidang ekonomi melulu tidak mampu membebaskan  manusia. Sebaliknya akan berakhir dengan makin memperbudakkannya. Pengembangan yang tidak mencakup dimensi-dimensi budaya, adikodrati dan religius manusia dan masyarakat, hingga tidak mengakui adanya dimensi-dimensi itu, dan tidak mencoba mengarahkan sasaran-sasaran serta prioritas-prioritas kepadanya, bahkan masih kurang lagi menuju pembebasan yang sejati. Manusia hanya bebas sama seklai bila ia sepenuhnya menemukan jatidirinya, dalam kepenuhan hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya. Itu dapat dikatakan juga tentang masyarakat secara keseluruhan.
            Hambatan utama yang harus diatasi pada jalan menuju pembebasan yang sejati ialah dosa dan struktur –struktur yang timbul karena dosa kalau itu berlipatganda dan menyebar-luas[84].
            Kebebasan yang dikurniakan oleh Kristus kepada kita (bdk. Gal 5:1) mendorong kita untuk mengabdikan diri kepada semua orang. Begitulah proses pengembangan dan pembebasan beroleh bentuk konkret dalam pelaksanaan solidaritas; artinya: dalam cintakasih dan pelayanan terhadap sesama, khususnya mereka yang termiskin; ”Sebab bila tiada kebebasan dan cintakasih, proses pembebasan mengakibatkan matinya kebebasan, yang akan kehilangan segala dukungan[85].

47. Dalam konteks pengalaman tahun-tahun terakhir yang menyedihkan , dan dalam rangka gambaran yang terutama negatif zaman sekarang  ini, Gereja wajib  menyatakan dengan tegas kemungkinan mengatasi hambatan-hambatan, yang karena kelebihan atau kekurangan merintangi pengembangan. Gereja perlu menyatakan kepercayaannya akan pembebasan sejati. Pada dasarnya kepercayaan dan kemungkinan itu bertumpu pada kesadaran Gereja akan janji ilahi, yang menjamin, bahwa sejarah kita sekarang tidak terkungkung dalam dirinya, melainkan terbuka terhadap kerajaan Allah.
            Gereja mempunyai kepercayaan juga terhadap manusia, meskipun menyadari bahwa ia mampu berbuat  jahat. Sebab Gereja sungguh tahu, bahwa-kendati warisan dosa, dan dosa yang dapat dijalankan oleh siapa pun-dalam diri manusia terdapat sifat-sifat dan daya-kekuatan yang mencukupi, suatu ”kebaikan” yang mendasar (bdk. Kej 1:31); sebab manusia itu citra Sang Pencipta, ditaruh dalam lingkup pengaruh karya penebusan Kristus, yang ”secara tertentu menyatukan diri dengan setiap orang”[86], dan karena kegiatan Roh Kudus yang efektif ”memenuhi bumi” (Keb 1:7).
            Maka sikap putus asa atau pesimis atau masa bodoh tidak dapat dipertanggung jawabkan. Kendati dengan sedih,harus dikatakan orang dapat berdosa karena cintadiri dan keinginan akan keuntungan dan kekuasaan yagn berlebihan; begitu pula orang dapat dinilai tidak memenuhi kewajiban sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan mendesak sekian banyak orang yang tenggelam dalam situasi terbelakang, karena takut-takut, tidak berani mengambil keputusan, dan pada dasarnya pengecut. Kita semua dipanggil, dan itu memang wajib kita, utuk menanggapi tantangan berat dasawarsa terakhir dalam millennium kedua, juga karena bahaya-bahaya masa kini mengancam siapa saja, krisis ekonomi sedunia, perang tanpa perspektif, tanpa ada yang menang atau kalah. Menghadapi ancaman itu, pembedaan antara orang-orang serta negara-negara kaya danorang-orang serta negara-negara miskin tidak sangat relevan, kecuali bahwa mereka yang memiliki lebih dan mampu berbuat lebih mempunyai tanggung jawab lebih berat.
            Akan tetapi itu bukan satu-satunya motivasi, bahkan bukan motivasi yang terpenting. Yang dipertaruhkan martabat pribadi manusia, yang pembelaan dan pengembangannya dipercayakan kepada kita oleh Sang Pencipta. Kepada-Nya manusia di setiap saat sejarah berhutang budi penuh dan bertanggung jawab. Oleh banyak orang kurang-lebih sudah disadari dengan jelas, bahwa situasi zaman sekarang agaknya tidak selaras dengan martabat itu. Setiap orang dibutuhkan untuk berperan serta  dalam kampanye damai itu, kampanye yang harus dijalankan dengan upaya-upaya damai untuk mengamankan pengembangan dalam damai, untuk memelihara kelestarian alam sendiri dan dunia di sekitar kita. Gereja pun merasa terlibat secara mendalam dengan usaha-usaha itu, dan mengharapkan agar daya-upaya itu akhirnya akan berhasil.
            Oleh karena itu, mengikuti teladan Paus Paulus VI seperti tertera dalam ensiklik ”Populorum Progressio”[87], kami dengan tulus dan rendah hati ingin menyapa siapa pun, semua orang tanpa kecuali. Kami hendak meminta mereka, supaya insyaf akan seriusnya zaman sekarang ini dan akan tanggung jawab pribadi masing-masing. Kami menginginkan, agar mereka-melalui corak hidup mereka sebagai perorangan maupun keluarga, melalui penggunaan sumber-sumber daya mereka, melalui kegiatan mereka dalam masyarakat, melalui sumbangan mereka kepada keputusan-keputusan di bidang ekonomi dan politik, dan melalui komitmen pribadi kepada usaha-usaha di tingkat nasional maupun internasional- melaksanakan upaya-upaya yang dijiwai oleh solidaritas dan cintakasih yang mengutamakan kaum miskin. Itulah yang dituntut di masa kini dan terutama oleh martabat pribadi manusia sendiri, citra pantang dirusak yang menggambarkan Allah Pencipta, citra yang sama pada kita masing-masing.
            Dalam komitmen itu putera-puteri Gereja hendaklah tampil sebagai teladan dan anutan. Sebab mereka dibutuhkan untuk –sehaluan dengan rencana yang dimaklumkan oleh Yesus sendiri dalam rumah ibadat di Nazareth,-”menyiarkan warta gembira kepada kaum miskin....untuk mewartakan pembebasan kepada para tahanan dan pemulihan daya-lihat kepada mereka yang buta, untuk membebaskan mereka yang tertindas, untuk menyiarkan tahun yang berkenan kepada Tuhan” (Luk 4:18-19). Sungguh tepatlah menekankan peranan luhur kaum awam, pria maupun wanita, seperti dinyatakan ulang pada Sinode baru-baru ini. Tugas merekalah menjiwai kenyataan-kenyataan duniawi dengan komitmen Kristiani. Dengan itu mereka tunjukkan bahwa mereka saksi-saksi dan pelaku damai serta keadilan.
            Khususnya kami ingin menyapa mereka, yang berkat sakramen Baptis dan pengikraran Syahadat Iman hidup bersama kami dalam persekutuan iman yang sesungguhnya, kendati belum sempurna. Kami merasa pasti, bahwa keprihatinan yang diungkapkan dalam ensiklik ini, begitu pula motivasi-motivasi yang mengilhaminya, menyentuh hati mereka juga, sebab motivasi-motivasi itu diilhami oleh Injil Yesus Kristus. Di situ terdapat undangan baru untuk bersama-sama memberi kesaksian akan keyakinan kita bersama tentang martabat manusia, yang diciptakan oleh Allah, ditebus oleh Kristus, disucikan oleh Roh Kudus, dan dipanggil di dunia ini untuk menghayati hidup sesuai dengan martabat itu.
            Begitu pula seruan ini kami tujukan kepada bangsa Yahudi,yang bersama kami menggemban warisan Abraham, ”bapa kita dalam iman” (bdk. Rom 4: 11dst.)[88], dan tradisi Perjanjian Lama, begitu pula kepada kaum Muslimin, yang seperti kami beriman akan Allah yang Mahaadil dan Maharahim. Dan kami arahkan seruan ini kepada semua penganut agama-agama besar di dunia.
            Pertemuan yang pada tanggal 27 Oktober yang lalu diadakan di Assisi, kota santo Fransiskus, untuk berdoa memohon damai dan menyatakan kesanggupan memperjuangkan perdamaian-masing-masing dalam kesetiaan terhadap agamanya sendiri-menunjukkan, betapa damai dan –sebagai syarat mutlaknya-pengembangan pribadi manusia seutuhnya dan semua bangsa juga termasuk hidup keagamaan, dan bagaimana tercapainya sepenuhnya baik yang satu maupun yang lainnya tergantung dari kesetiaan kita terhadap panggilan kita sebagai insan beriman. Sebab itu terutama tergantung dari Allah.

 48. Gereja sungguh menyadari, bahwa tiada hasil kerja duniawi boleh dianggap sama saja dengan kerajaan Allah; melainkan semua hasil semacam itu melulu mencerminkan dan dalam arti tertentu merupakan kenyataan awal kemuliaan kerajaan itu, yang kita dambakan pada akhir sejarah, bila Tuhan akan datang kembali. Akan tetapi pendambaan itu tidak pernah dapat menjadi dalih untuk tidak mempedulikan orang-orang dalam pelbagai situasi konkret mereka perorangan pun dalam kehidupan sosial, nasional dan internasional mereka; sebab yang pertama iktu ditentukan oleh yang kedua, khususnya zaman sekarang ini.
            Betapa pun tidak sempurna dan bersifat sementara segala-sesuatu, yang dapat dan harus dilaksanakan melalui usaha-usaha terpadu semua orang dan berkat rahmat ilahi pada saat tertentu dalam sejarah, untuk menjadikan kehidupan masyarakat ”lebih manusiawi”, tiada sesuatu pun akan hilang atua percuma saja. Itulah ajaran Konsili Vatikan II, dalam suatu teks Konstitusi Pastoral ”Gaudium et Spes” yagn sungguh memberi terang: ”Bila kita telah menyebarkan di dunia ini buah-hasil kodrat maupunusaha kita-martabat manusiawi, persekutuan persaudaraan dan kebebasan-menurut perintah Tuhan dan dalam Roh-Nya, kita akan menemukannya kembali, ketika itu sudah dibersihkan dari pencemaran dosa, diterangi dan diubah, bila Kristus menyerahkan kepada Bapa-Nya suatu kerajaan kekal, yang meliputi semua orang...Di dunia ini kerajaan sudah hadir dalam misteri”[89].
            Kerajaan Allah hadir terutama dalam perayaan Sakramen Ekaristi, yakni korban Tuhan. Dalam perayaan itu buah-hasil bumi dan kerja manusiawi, yakni roti dan anggur, mengalami perubahan misterius tetapi nyata dan hakiki, berkat kuasa Roh Kudus dan kata-kata pelayanan, menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah dan Putera Maria, yang menghadirkan kerajaan Bapa di tengah kita.
            Harta-benda dunia ini danhasil kerja tangan kita-roti dan anggur melayani datangnya kerajaan Allah secara definitif. Sebab Tuhan, melalui Roh-Nya, mengangkat itu kedalam Dirinya, untuk mempersembahkan Diri kepada Bapa, dan untuk membersembahkan kita bersama Dirinya dalam pembaharuan korban-Nya yang tunggal, yang merupakan kenyataan awal kerajaan Allah dan mewartakan kedatangan-Nya pada akhir zaman.
            Begitulah Tuhanmenyatukankita dengan Dirinya melalui Ekaristi, sakramen dankorban. Ia menyatukan kita dengan Dirinya dan menyatukan kita antara kita dengan ikatan yang lebih kuat dari persatuan kodrati mana pun juga. Ia mengutus kita yang disatukan-Nya itu ke seluruh dunia, untuk melalui iman maupun karya-kegiatan memberi kesaksian akan cintakasih Allah, sambil menyiapkan datangnya kerajaan-Nya dan mulai mewujudkannya, kendati dalam kegelapan masa kini.
            Kita semua, yang ikut serta dalam Ekaristi, dipanggil untuk melalui sakramen itu menemukanmakna mendalam karya-kegiatan kita di dunia demi pengembangan dan perdamaian; lagi pula untuk menerima dari padanya kekuatan untuk membaktikan diri makin intensif dengan kebesaran jiwa, mengikuti teladan Kristus, yang dalam sakramen itu menyerahkan nyawa-Nya demi sahabat-sahabat-Nya (bdk. Yoh 15:13). Komitmen kita pribadi, seperti komitmen Kristus dan dalam persatuan dengan-Nya, tidak akan sia-sia, melainkan pasti akan membuahkan hasil-hasilnya.

49. Kami telah memaklumkan Tahun Maria sekarang ini, supaya umat Katolik makin mengarahkan pandangannya kepada Santa Maria, yang mendahului kita menempuh peziarahan iman[90], dan dengan kasih keibuannya menjadi pengantara kita di hadirat Puteranya, Penebus kita. Kami ingin mempercayakan kepadanya dan kepada perantaraannya saat dunia modern yang cukup sulit ini dan usaha-usaha yang sedang dan akan dijalankan, sering disertai penderitaan yang besar, untuk menunjang pengembangan sejati para bangsa, seperti telah disajikan dan disiarkan oleh pendahulu kami Paus Paulus VI.
            Mengikuti tradisi bhakti Kristiani di sepanjang masa, kami persembahkan kepada Santa Perawan Maria situasi-situasi perorangan yang serba sulit, supaya ia mengantarkannya menghadap Puteranya, dan memohonkan supaya Ia berkenan meringankan dan mengubahnya. Akan tetapi kami persembahkan kepadanya juga situasi-situasi sosial dan krisis internasional sendiri, beserta aspek-aspeknya yagn cukup memprihatinkan: kemiskinan, pengangguran, kekurangan pangan, perlombaan senjata, penghinaan terhadap hak-hak manusiawi, dan situasi-situasi atau bahaya-bahaya konflik, sebagian atau menyeluruh. Degnan semangat kami sebagai putera kami ingin menaruh semuanya itu di hadapan ”pandangan belaskasihannya”, seraya sekali lagi mengulangi dalam iman dan harapan antifon kuno: ”Bunda Allah yang kudus, jagnan mengesampingkan permohonan-permohonan kami beserta kebutuhan-kebutuhan kami, melainkan bebaskanlah kami senantiasa dari segala mara-bahaya, ya Perawan mulia dan terberkati”.
            Maria yang amat suci, Bunda dan Ratu kita itulah, yang menyapa Puteranya dan mengatakan: ”Mereka kehabisan anggur” (Yoh 2:3). Maria itu jugalah, yang memuji Allah Bapa, sebab ”orang yang berkuasa diturunkan-Nya dari tahta; yang hina-dina diangkat-Nya; orang yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan; orang kaya diusir-Nya pergi dengan tangan kosong” (Luk 1: 52-53). Keprihatinan keibuannya meliputi segi-segi perorangan maupun sosial kehidupan masyarakat di dunia[91].
            Di hadapan Tritunggal yang Mahakudus, kami mempercayakan kepada Santa Maria semua yang tertulis dalam ensiklik ini, dan kami mengajak siapa saja untuk berefleksi dan secara aktif menyanggupkan diri untuk mendukung pengembangan sejati bangsa-bangsa , seperti begitu mengena terungkap dalam doa perayaan Ekaristi untuk intensi ini:
            ”Bapa, Engkau mengurniakan kepada semua bangsa satu asalmula bersama. Kehendak-Mulah menghimpun mereka sebagai satu keluarga dalam Dikau. Penuhilah hati semua orang dengan api cintakasih-Mu, dan dengan keinginan untuk memperjuangkan keadilan bagi semua saudara –saudari merkea. Semoga dengan berbagi hal-hal baik yang Kau anugerahkan kepada kami, kami menjamin keadilan dan kesetaraan bagi setiap manusia, berakhirnya segala perpecahan, dan masyarakat manusia yang dibangun berdasarkan cintakasih dan damai”[92].
            Itulah akhirnya yang kami minta atas nama semua saudara-saudari kami. Kepada mereka kami sampaikan berkat istimewa sebagai tanda salam dan ucapan selamat kami.
            Roma, di Gereja Basilika St. Petrus, pada tanggal 30 Desember tahun 1987, tahun kesepuluh kepausan kami.

YOHANES PAULUS II, PAUS.



[1] PAUS LEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum” (15 Mei 1891):Leonis XIII P.M. Acta, XI, Roma 1892, hlm. 97-144.
[2] PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno” (15 Mei 1931): AAS 23 (1931) hlm. 177-228; PAUS YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra” (15 Mei 1961): AAS 53 (1961) hlm. 401-464; PAUS PAULUS VI, Surat Apostolik “Octogesima Adveniens” (14 Mei 1971): AAS 63 (1971) hlm. 401-441; PAUS YOHANES PAULUS II, Ensiklik “Laborem Exercens” (14 September 1981): AAS 73 (1981) hlm. 577-647. Paus Pius XII juga menyampaikan Amanat Radio pada siang ulang tahun ke 50 (1 Juni 1941) Ensiklik “Rerum Novarum” yang diturunkan oleh Paus Leo XIII: AAS 33 (1941) hlm.195-205.
[3] Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi dogmatis “Dei Verbum” tentang Wahyu Ilahi , 4.
[4] PAUS PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio” (26 Maret 1967): AAS 59 (1967)hlm. 257-299.
[5] Bdk. harian L’Osservatore Romano, 25 Maret 1987.
[6] Bdk. KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN, Instruksi “Libertatis Conscientio” tentang kebebasan kristiani dan pembebasan (22 Maret 1986), 72: AAS 79 (1987) hlm. 586; PAUS PAULUS VI, Surat Apostolik ”Octogesima Adveniens” (14 Mei 1971), 4: AAS 63 (1971) hlm. 403 dan selanjutnya.
[7] Bdk. Ensiklik “Redemptoris mater” (25 Maret 1987), 3: AAS 79 (1987) hlm. 363 dan selanjutnya; Homili pada perayaan Ekaristi Meriah tanggal 1 Januari 1987: harian L’Osservatore Romano, 2 Januari 1987.
[8] Ensiklik “Populorum Progressio”19 kali mengutip dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, dan 16 kali merujuk kepada Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern.
[9] “Gaudium et Spes”1.
[10] Ibid., 4; bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 13; Loc.cit. hlm. 263-264.
[11] Bdk. “Gaudium et Spes”, 3; Ensiklik “Populorum Progressio”, 13: loc.cit., hlm. 264.
[12] Bdk. “Gaudium et Spes”, 63; Ensiklik “Populorum Progressio”, 9: loc.cit., hlm. 261 dan selanjutnya.
[13] Bdk. “Gaudium et Spes”, 69; Ensiklik “Populorum Progressio”, 22: loc.cit., hlm. 269.
[14] Bdk. “Gaudium et Spes”, 57; Ensiklik “Populorum Progressio”, 41: loc.cit., hlm. 277.
[15] Bdk. “Gaudium et Spes”, 19; Ensiklik “Populorum Progressio”, 41: loc.cit., hlm. 277 dan selanjutnya.
[16] Bdk. “Gaudium et Spes”, 86; Ensiklik “Populorum Progressio”, 48: loc.cit., hlm. 281.
[17] Bdk. “Gaudium et Spes”, 69; Ensiklik “Populorum Progressio”, 14-21: loc.cit., hlm. 264-268.
[18] Bdk. Judul Ensiklik “Populorum Progressio”: loc.cit., hlm.257.
[19] Ensiklik Paus Leo XIII “Rerum Novarum”terutama membahas “kondisi kaum buruh”: Leonis XIII P.M.Acta, XI, Roma 1892, hlm.97.
[20] Bdk. KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN, Intruksi “Libertatis Conscientia” tentang kebebasan kristiani dan pembebasan (22 Maret 1986), 72: AAS 79 (1987) hlm. 586: PAUS PAULUS VI, Surat Apostolik ”Octogesima Adveniens” (14 Mei 1971), 4: AAS 63 (1971) hlm.403 dan selanjutnya.
[21] Bdk. Ensiklik “Mater et Magistra” (15 Mei 1961): AAS 53 (1961) hlm. 440.
[22] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 3: loc.cit., hlm. 258; lihat juga ibid., 9: loc.cit.,hlm.261.
[23] Bdk. Ibid., 3:loc.cit., hlm.258.
[24] Ibid., 48; loc.cit. hlm.281.
[25] Bdk. ibid., 14: loc.cit., hlm. 264: "Perkembangan yang kami bicarakan tidak dapat terbatas pada pertumbuhan ekonomis semata-mata. Sebab supaya perkembangan itu otentik, harus bersifat utuh-purna; artinya: harus mendukung kemajuan setiap manusia dan manusia seutuhnya”.
[26] Ibedem, 87: loc. cit., hlm. 299.
[27] Bdk. Ibidem, 53: loc. cit. hlm. 283.
[28] Bdk. Ibidem, 76: loc.cit. hlm. 295.
[29] Dua dasawarsa itu ialah: 1960-1970 dan 1970-1980; sekarang ini termasuk dasawarsa ketiga, 1980-1990.
[30] Istilah “Dunia Keempat” bukan hanya kadang saja diterapkan pada negara-negara yang dianggap kurang maju, melainkan juga dan terutama pada lapisan rakyat yang hidup dalam kemiskinan yang parah dan ekstrim di negara-negara yang berpendapatan menengah  dan tinggi.
[31] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, art.1.
[32] “Populorum Progressio”,33.
[33] Layak dicata, bahwa Takhta Apostolik menggabungkan diri dengan perayaan Tahun Internasional itu, melalui dokumen khas, yang diterbitkan oleh Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian , dan berjudul: “Apakah yang Anda Perbuat bagi Saudara-Saudari Anda yagn Tunawisma? Gereja dan Masalah Perumahan” (27 Desember 1987).
[34] Bdk. “Octogesima Adveniens”, 8-9.
[35] Suatu terbitan Perserikatan Bangsa-Bangsa akhir-akhir ini berjudul “World Economic Survey 1987” mencantumkan data yang paling resen (bdk. Hlm.8-9). Prosentase kaum penganggur di negara-negara maju dengan ekonomi pasar melonjak dari 3% seluruh angkatan kerja pada tahun 1970 menjadi 8% pada tahun 1986. Jumlah sekarang  29 juta orang.
[36] “Laborem Ecercens”, 18.
[37] “At the Service of the Human Community: An Ethical Approach to the International Debt Question”, (“Mengabdi Masyarakat Manusia: Suatu Pendekatan Etis terhadap Soal Utang Internasional”), tgl. 27 Desember 1986.
[38] “Populorum Progressio”: “Demikianlah negara-negara yang sedang berkembang tidak akan menghadapi risiko dililit utang-utang lagi, yang pelunasannya menelan sebagian besar penghasilan mereka. Suku-suku bunga dan jangka waktu untuk melunasi pinjaman dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak menjadi beban terlampau berat bagi kedua pihak, dengna memperhitungkan dana-dana yang bebas, pinjaman-pinjaman tanpa bunga atau berbunga rendah, dan jangka waktu yang diperlukan untuk menghapus utang-utang”.
[39] Bdk. “penyajian” dokumen “At the Service of the Human Community: An Ethical Approach to the International Debt Question” (27 Desember 1986).
[40] Bdk. “Populorum Progressio”53.
[41] Yakni: “At the service of the Human Community”, III, 2,1.
[42] Bdk. “Populorum Progressio”, 20-21.
[43] Amanat di drogheda, Irlandia (29 September 1979), 5: AAS.71 (1979), II, Hlm. 1079.
[44] Bdk. “Populorum Progressio”, 37.
[45] Bdk. Anjuran Apostolik “Familiaris Consortio”, tgl.22 November 1981, khususnya no.30: AAS.74 (1982) hlm. 115-117.
[46] Bdk. “Human Rights. Collection of Internatioanl Instruments”, United Nations, New York 1983; Paus Yohanes Paulus II, ensiklik  “Redemptor Hominis” (tgl.4 Maret 1979), 17: AAS 71 (1979)hlm. 296.
[47] Bdk. “Gaudium et Spes” 78:”Populorum Progressio”76: “Memerangi penderitaan dan berjuang melawan ketidak-adilan berarti mendukung-bersama dengan makin membaiknya keadaan hidup-kemajuan manusiawi dan rohani semua orang, dan karena itu kesejahteraan umum bangsa manusia…Perdamaian dibangun hari demi hari melalui usaha menciptakan tata-hidup yang dikehendaki oleh Allah, dan itu mencakup corak keadilan yang lebih sempurna dalam masyarakat”.
[48] Bdk. Mat 6:25-32; 10: 23-31; Luk 12:6-7,22-30.
[49] Bdk. “Familiaris Consortio”6: “Sejarah bukan semata-mata perjalanan maju menuju keadaan lebih sempurna, melainkan serangkaian peristiwa berdasarkan kebebasan, bahkan perjuangan antara berbagai macam kebebasan”.
[50] Oleh karena itu Ensiklik “Populorum Progressio” menggunakan istilah pengembangan, bukan kemajuan; akan tetapi ensiklik berusaha memberi arti sepenuhnya kepada kata pengembangan.
[51] “Populorum Progressio” 19: “Bertambahnya harta-milik bukanlah tujuan akhir bangsa-bangsa atau orang perorangan. Semua pertumbuhan mendua artinya...Mengejar harta-milik melulu merintangi penyermpurnaan pribadi dan keagungan manusia yang sejati...Baik bagi bangsa-bangsa maupun bagi orang-orang perorangan, sikap srakah merupakan keadaan terbelakang moril yang paling jelas”; bdk. Juga ”Octogesima Adveniens”9.
[52] Bdk. “Gaudium et Spes” 35; Paus Paulus VI, Amanat kepada Korps Diplomatik (tgl. 7 Januari 1965):AAS 57 (1965) hlm. 232.
[53] Bdk. “Populorum Progressio” 20-21.
[54] Bdk. “Laborem Exercens”4; “Populorum Progressio”15
[55] Ibid., 42.
[56] Bdk. Pewartaan Paska, Misal Romawi (1975): “Ya kesalahan yang membahagiakan , ya dosa Adam yang dibutuhkan, dan memperoleh abgi kita Penebusan seagung itu!”
[57] Lumen Gentium 1.
[58] Misalnya: St. Basilius Agung, “Regulae Fusius tractate,”interrogatio (Pedoman lebih luas, pertanyaan) XXXVII, 1-2: PG 31, 1009-1012; Teodoretus dari Sira, “De Pravidentia”, Oratio (tentang penyelenggaraan , uraian) VII: PG 83, 665-686; St. Agustinus, “De Civitate Dei” (tentang Kota Allah), XIX, 17, CCL 48, 683-685.
[59] Bdk. Misalnya: St. Yohanes Krisostomus, “In Evang. S. Matthaei”, hom (homili tentang Injil Matius) 50,3-4: PG 58, 508-510; St. Ambrosius, “De Officiis Ministrorum” (tentang tugas-tugas para pelayan), kitab II, XXVIII, 136-140: PL 16, 139-141; St. Possidius, “Vita S. Augustini Episcopi” (riwayat St. Agustinus Uskup), XXIV: PL 32, 53 dsl.
[60] “Populorum Progressio” 23: “Bila ada  orang memiliki kekayaan dunia ini, dan melihat saudaranya menderita kekurangan serta menutup hatinyabagi dia, bagaimana cintakasih Allah mau tinggal padanya?’ (1Yoh 3:17). Siapa pun tahu betapa tegas amanat para Bapa Gereja, bila melukiskan bagaimana seharusnya sikap mereka yang memiliki sesuatu terhadap sesama yang serba kekurangan”. Dalam nomor sebelumnya Paus mengutip Konsili Vatikan II, Konstitusi pastoral”Gaudium et Spes” art 69.
[61] Bdk. “Populorum Progressio” 47: “Suatu dunia tempat kebebasan bukan istilah hampa, tempat  Lasarus si miskin dapat duduk semeja dengan si kaya”.
[62] Bdk. Ibid.: “Persoalannya ialah: membangun  dunia tempat setiap orang, entah apakah suku, agama atau kebangsaannya, dapat menghayati kehidupan manusiawi sepenuhnya, bebas dari perbudakan yang dipaksakan atas dirinya oleh sesamanya”; bdk. Juga “Gaudium et Spes”29. Kesataraan yang mendasar itulah salah satu alasan mendasar, mengapa Gereja selalu menentang setiap bentuk rasisme.
[63] Bdk. Homili di Val Visdende (tgl.12 Juli 1987), 5: L’Osservatore Romano, 13-14 Juli 1987; “Octogesima Adveniens”21.
[64] Bdk. “Gaudium et Spes”25.
[65] Anjuran Apostolik “Reconciliatio et Paenitentia” (tg. 2 Desember 1984) 16: “Bila Gereja berbicara tentang situasi dosa, atau bila mengecam sebagai dosa-dosa sosial situasi-situasi tertentu atau perilaku kolektif kelompok-kelompok sosial tertentu, besar atau kecil, atau bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan dan blok-blok bangsa-bangsa , Gereja menyadari dan menyatakan, bahwa kasus-kasus dosa sosial itu tumbuh akibat penimbunan dan pengelompokan banyak dosa pribadi. Di situlah terdapat dosa-dosa pribadi merkea yang menyebabkan dan mendukung kejahatan, atau yang menyalahgunakannya; mereka yang sebenarnya mampu menghindari, meniadakan, atau sekurang-kurangnya membatasi kejahatan-kejahatan sosial tertentu, tetapi tidak menjalankannya karena malas, rasa takut atau persekongkolan diam-diam, melalui kerjasama rahasia atau sikap tidak acuh; mereka yang melarikan diri dengan dalih bahwa dunia sudah tidak mungkin dibubah lagi; begitu pula mereka yang mengelakkan usaha dan pengorbanan yang dituntut, dengan mengemukakan alasan-alasan semu yang muluk-muluk. Maka tanggung jawab yang sesungguhnya ada pada orang-orang perorangan . situasi sendiri-atau begitu pula suatu lembaga, suatu struktur, masyarakat sendiri-bukan pelaku tindakan-tindakan moral. Oleh karena itu situasi sendiri tidak dapat dengan sendirinya baik atau buruk”: AAS 77 (1985) hlm.217.
[66] “Populorum Progressio” 42.
[67] Bdk. Ibadat Harian, Rabu Pekan III dalam Masa Biasa, Ibadat Sore.
[68] “Populorum Progressio” 87.
[69] Bdk. “Populorum Progressio” 13,81.
[70] Bdk. Ibid., 13.
[71] Bdk. Amanat pada pembukaan Konferensi Umum III para Uskup Amerika Latin (tgl.28 Januari 1979): AAS 71 (1979) hlm. 189-196.
[72] “Libertatis Conscientia” 72; “Octogesima Adveniens”4.
[73] “Gaudium et Spes” 83-90:”Pembagunan Masyarakat Internasional”.
[74]Bdk. “Mater et Magistra”; “Pacem in Terris”, bagian 4; “Octogesima Adveniens” 2-4.
[75] “Populorum Progressio”3,9.
[76] Ibid., 3.
[77] Ibid., 47; “Libertatis Conscientia” 68.
[78] Bdk. “Gaudium et Spes” 69; “Populorum Progressio” 22; “Libertatis Conscientia” 90; St. Tomas Akuino, “Summa Theol.” Iia, Iiae, q.66 art 2.
[79] Bdk. Amanat pada Pembukaan Konferensi Umum III para Uskup Amerika Latin; sambutan “ad limina” kepada sekelompok Uskup Polandia (tgl.17 Desember 1987), 6: L’Osservatore Romano tgl. 18 Desember 1987.
[80] Sebab Tuhan berkenan memandang mereka seperti Dirinya (Mat 25”31-46). Dan secara khas memelihara mereka (bdk. Mzm 12:6, Luk 1:52 dsl.).
[81] “Populorum Progressio”55: “Mereka itulah orang-orang yang membutuhkan bantuan, perlu diyakinkan untuk menangani sendiri pengembangan mereka, dengan secara berangsur-angsur memperoleh upaya-upayanya:; bdk. “Gaudium et Spes”86.
[82] “Populorum Progressio” 35: “Pendidikan dasar merupakan sasaran pertama rencana pengembangan”.
[83] Bdk. “Libertatis Conscientia”, Pendahuluan.
[84] “Reconciliatio et Paenitentia”15; “Libertatis Conscientia”38,42.
[85]Libertatis Conscientia’24.
[86] “Gaudium et Spes” 22; “Redemptor Hominis’ 8.
[87] “Populorum Progressio” 5:”Kami percaya, bahwa semua orang yang beriktikad baik, bersama dengan putera-puteri Katolik kami dan saudara-saudari kami yang beragama Kristen, dapat dan harus menyepakati rencana ini”; bdk.81-83,87.
[88] Bdk. Konsili Vatikan II, Pernytaan “Nostra Aetate” tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan-Kristiani,4.
[89] “Gaudium et Spes”39.
[90] Bdk. “Lumen Gentium “ 58; “Redemptoris Mater”5-6.
[91] Bdk. Paus Paulus VI, Anjuran Apostolik “Marialis Cultus” (tgl.2 Februari 1974), 37: AAS 66 (1974) hlm. 148dsl; Paus Yohanes Paulus II, Homili di tempat ziarah Santa Maria di Zapopan, Mexico (tgl.30 Januari 1979), 4: AAS 71 (1979) hlm.230.
[92] Doa Pembukaan perayaan ekaristi “Untuk Pengembagnan Bangsa-Bangsa”: Misal Romawi 1975, hlm. 820