OCTOGESIMA ADVENIENS -ULANG TAHUN KEDELAPAN PULUH


SURAT APOSTOLIK
PAUS PAULUS VI

“OCTOGESIMA ADVENIENS”
(ULANG TAHUN KE DELAPAN PULUH)

PADA ULANG TAHUN KE DELAPAN PULUH ENSIKLIK
“RERUM NOVARUM”

KEPDA KARDINAL MAURICE ROY

Saudara Yang Terhormat, Salam dan Berkat Apostolik

PELBAGAI TANTANGAN.
1. ULANG TAHUN KE DELAPAN PULUH terbitnya Ensiklik ”Rerum Novarum”, amanat yang tetap merupakan sumber inspirasibagi tindakan demi keadilan sosial, mendorong kami untuk mengangkat lagi dan membentangkan ajaran para pendahulu kami, menganggapi kebutuhan-kebutuhan baru dunia yang sedang mengalami perubahan. Gereja memang menempuh perjalanan bersama umat manusia dan ikut mengalami nasibnya dalam kancah sejarah. Sementara mewartakan kabar gembira cintakasih Allah dan penyelamatan dalam Kristus, Gereja menjelaskan kegiatan manusia dalam cahaya Injil, dan dengan demikian membantunya menanggapi rencana cintakasih Allah serta mewujudkan kepenuhan aspirasi-aspirasinya.

 2. Penuh kepercayaan kami saksikan Roh Tuhan melaksanakan karyaNya dalam hati orang-orang , dan dimana-mana menghimpun jemaat-jemaat Kristiani  yang menyadari tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Di semua benua, di tengah segala suku,  bangsa dan kebudayaan, dan dalam kondisi mana pun juga tuhan tetap membangkitkan rasul-rasul sejati untuk menyiarkan Injil.
            Dalam perjalanan-perjalanan kami akhir-akhir ini  kami sempat menjumpai dan mengagumi mereka, serta mendorong mereka. Kami bertemu dengan rakyat banyak dan mendengarkan permintaan-permintaan, jeritan duka-derita, tetapi juga seruan-seruan mereka penuh harapan.
            Masalah-masalah itu tentu ada yang khas bagi masing-masing wilayah dunia, tetapi sekaligus juga di hadapi bersama oleh segenap umat manusia, yang sedang bertanya-tanya tentang masa depannya dan tentang arus-arus serta makna perubahan-perubahan yang tengah berlangsung. Dalam perkembangan ekonomi, budaya dan politik bangsa-bangsa terdapat perbedaan-perbedaan yang menyolok: sedangkan ada daerah-daerah  yang padat industri, daerah-daerah lain masih berada di tahap pertanian; sedangkan negeri-negeri tertentu menikmati kesejahteraan, negeri-negeri lain baru berjuang untuk mengatasi kelaparan; sedangkan bangsa-bangsa tertentu sudah tinggi tataran kebudayaannya, bangsa-bangsa lain masih berusaha mengatasi keadaan buta huruf. Di mana-mana  didambakan keadaan yang lebih adil dan timbul hasrat akan damai yang lebih terjamin karena sikap saling menghormati antara orang-orang mau pun bangsa-bangsa.

3. Sudah tentu umat Kristiani hidup dalam situasi yang bermacam-ragam-entah mereka inginkan entah tidak-menurut anekanya wilayah, sistem sosio-politik dan kebudayaan. Di daerah-daerah tertentu mereka terpaksa tinggal diam, dicurigai dan seolah-olah dibiarkan tinggal di pinggiran masayarakat, terkungkung dalam sistem totaliter tanpa kebebasan. Di lain-lain tempat mereka merupakan minoritas yang lemah dan sukar sekali terdengar suaranya. Pada bangsa-bangsa lain, yang mengakui posisi Gereja, bahkan ada kalanya secara resmi, Gereja pun ikut menaggung dampak-pengaruh krisis yang menggoncangkan masyarakat; ada di antara para anggotantya yang tergoda untuk menempuh cara-cara yang radikal dan memakai kekerasan untuk memecahkan soal-soal, dan dari usaha-usaha itu mereka merasa dapat mengharapkan hasil yang lebih baik. Sedangkan ada yang karena tidak menyadari pelanggaran-pelangggaran keadilanyang sedang berlangsung berusaha melestarikan situasi sekarang ini, ada juga pihak-pihak yang dikelabui oleh ideologi-ideologi revolusioner, yang menjanjikan mereka dunia yang jelas ”lebih baik”, meskipun sering mengecewakan juga.

JAWABAN-JAWABAN UMUM DAN KHUSUS
 4. Mengingat pelbagai situasi itu, yang dalam banyak halserba berbeda, kami merasa sulit menyampaikan pesan yang senada dan mengemukakan pemecahan yang berlaku di mana-mana. Itu memang bukan yang kami cita-citakan, bukan misi kami pula. Merupakan tugas jemaat-jemaat Kristiani menganalisis secara obyektif situasi yang khas bagi negeri mereka sendiri, menyinarinya dengan  terang amanat Injil yang tidak dapat diubah, dan dari ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi, norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak. Ajaran sosial itu sepanjang sejarah telah dikembangkan , dan khususnya pada zaman industri ini sejak saat bersejarah amanat Paus Leo XIII tentang ”kondisi kaum buruh”. Bagi kami merupakan kehormatan dan pokok kegembiraan merayakan  hari ini ulang tahun amanat itu. Termasuk panggilan jemaat-jemaat Kristiani, berkat bantuan Roh Kudus, dalam persekutuan dengan para Uskup yang bertanggung jawab, dan dalam dialog dengan saudara-saudari Kristiani lainnya serta dengan semua orang yang beriktikad baik, untukmenemukan pilihan-pilihan serta komitmen-komitmen yang dibutuhkan, guna menimbulkan perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi, yang dalam banyak hal ternyata cukup mendesak.
            Dalam mengusahakan perubahan-perubahan yang memerlukan dukungan itu umat Kristiani terutama harus membaharui kepercayaannya akan daya-kekuatan dan ciri khas tuntutan-tuntutan Injil. Injil tidak ketinggalan zaman karena diwartakan, ditulis dan dihayati dalam konteks sosio-budaya yang berbeda. Inspirasinya, yang diperkaya oleh pengalaman nyata tradisi Kristiani berabad-abad lamanya, tetap masih baru untuk mempertobatkan manusia dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Akan tetapi Injil jangan pula diperalat demi keuntungan pilihan-pilihan sementara yang khusus, sehingga amanatnya yang bersifat universal dan kekal diabaikan[1].

5. Di tengah gangguan-gangguan dan tiadanya kepastian sekarang ini Gereja wajib menyiarkan amanat yang khas dan memberi dukungan kepada orang-orang dalam usaha menentukan dan mengarahkan masa depan mereka. Sejak ketika Ensiklik ”Rerum Novarum” mengecam secara tegas dan mendesak skandal kondisi kaum buruh pada tahap awal masyarakat industri, perkembangan sejarah menumbuhkan kesadaran akan dimensi-dimensi lain dan penerapan-penerapan keadilan sosial secara lain. Ensiklik-Ensiklik ”Quadragesimo Anno” [2]dan ”Mater et Magistra” [3]pernah mengutarakan kenyataan itu.
            Konsili Vatikan II pun cukup cermat menunjukkannya, khsususnya dalam Konstitusi Pastoral ”Gaudium et Spes”. Kami sendiri melanjutkan haluan berpikir itu dalam Ensiklik kami ”Populorum Progressio”. Kami berkata: ”Zaman sekarang ini kenyataan utama yang kita semua harus mengakui ialah bahwa masalah sosial meliputi seluruh dunia”[4]. ”Suatu kesadaran yagn diperbaharui akan tuntutan-tuntutan Injil mewajibkan Gereja untuk bersedia melayani semua orang, membantu mereka  memahami masalah mereka yang gawat dalam segala dimensinya, serta menyakinkan mereka bahwa sungguh mendesaklah solidaritas dalam bertindak pada titik-balik sejarah manusia sekarang ini”[5].

 6. Lagi pula akan termasuk karya Sinode para Uskup yang akan datang mempelajari secara lebih seksama dan meneliti dengan lebih rinci misi gereja menghadapi masalah-masalah berat yang pada zaman sekarang diajukan oleh soal keadilan di dunia. Akan tetapi ulang tahun Ensiklik ”Rerum Novarum” sekarang ini, saudara yang terhormat, memberi peluang kepada kami untuk mempercayakan kepada Anda selaku ketua Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian merangkap ketua Dewan untuk Kaum Awam pokok-pokok keprihatinan serta gagasan-gagasan kami menghadapi masalah ini.
            Begitulah kami ingin juga menyampaikan kepada lembaga-lembaga Takhta suci itu dorongan kami terhadap kegiatan gerejawi mereka dalam mengabdi umat manusia.

 7. Dengan demikian, -tanpa melupakan masalah-masalah yang tetap masih ada seperti telah diperbincangkan olehpara pendahulu kami, -maksud kami ialah meminta perhatian terhadap sejumlah persoalan. Itulah soal-soal, yang karena mendesak, meluas dan cukup kompleks, selama tahun-tahun mendatang perlu diutamakan di antara pokok-pokok keprihatinan umat Kristiani, sehingga bersama dengan pihak-pihak lain umat membaktikandiri untuk memecahkan kesulitan-kesulitan baru, yang membahayakan masa depan bangsa manusia. Perlulah menempatkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh ekonomi modern dalam konteks lebih lluas peradaban baru. Soal-soal itu mencakup persyaratan manusiawi produksi, kewajaran dalam pertukaran barang-barang serta pembagian kekayaan, makna meningkatnya kebutuhan-kebutuhan akan konsumsi dan soal tanggung jawab bersama. Dalam perubahan-perubahan dewasa ini, yang begitu pesat dan mendalam, setiap hari manusia menemukan dirinya lagi, dan bertanya diri tentang arti kenyataannya sendiri serta kelestarian hidup bersama. Ia tidak condong menimba hikmah dari masa silam yang dipandangnya sudah lampau dan selesai, lagi pula terlalu berbeda dengan zaman sekarang. Akan tetapi ia membutuhkan masa depannya diterangi oleh kebenaran-kebenaran yang abadi, masa depan yang ditangkapnya sebagai tidak pasti justru karena berubah-ubah. Kebenaran-kebenaran itu pasti lebih agung dari manusia sendiri, tetapi kalau dikehendakinya, ia sendiri dapat menemukan jejak-jejaknya[6].

URBANISASI DAN KONSEKUENSI-KONSEKUENSINYA
 8. Suatu gejala yang cukup penting meminta perhatian kita, baik di negeri-negeri industri maupun di negeri-negeri yang sedang berkembang, yakni: urbanisasi. Sesudah sekian abad lamanya peradaban agraris mengalami kemunduran. Benarkah perhatian secukupnya diberikan untuk mengatur dan memperbaiki kehidupan rakyat pedesaan, yang situasi ekonominya yang lebih rendah dan selalu menyedihkan mendorong banyak orang untuk lari memasuki kondisi-kondisi padat penghuni yang malang di pinggiran-pinggiran kota, padahal di situ mereka  tidak menemukan pekerjaan atau perumahan?
            Arus meninggalkan daerah pedesaan yang tiada hentinya itu, pertumbuhan industri, pertambahan penduduk terus menerus dan daya tarik pusat-pusat perkotaan mengakibatkan konsentrasi-konsentrasi penduduk, yang luasnya sulit dibayangkan. Sebab orang sudah berbicara tentang ”megalopolis” (”kota raksasa”) yang mengumpulkan puluhan juta penduduk. Memang ada juga kota-kota ukuran tengahan, yang dimensinya lebih menjamin keseimbangan kependudukan. Kota-kota itu masih mampu memberi pekerjaan kepada tenaga-tenaga kerja yang terbebaskan karena majunya pertanian, dan masih memungkinkan penyesuaian lingkungan manusiawi, yang lebih mudah menghindari proletarianisme dan kepadatan penghuni daerah-daerah kota besar.

 9. Perkembangan tak terkendali pusat-pusat itu mengiringi perluasan industri,tanpa bertepatan dengannya. Berdasarkan penelitian di bidang teknologi dan transformasi alam, industrialisasi terus menerus meningkat dan membuktikan terus adanya kreativitas. Sedangkan perusahaan-perusahaan tertentu berkembang dan mengalami konsentrasi, perusahaan-perusahaan lain terhentikan atau berpindah tempat. Maka muncul-munculah masalah-masalah sosial baru: pengangguran dalam kejuruan tertentu atau yang bersifat regional, pergantian pekerjaan dan mobilitas banyak orang, penyesuaian terus menerus kaum buruh dan perbedaan kondisi-kondisi di berbagai cabang industri. Persaingan tak terbatas, yang memakai media periklanan yang modern, tiada hentinya melontarkan produk-produk baru dan mencoba menarik konsumen, sedangkan instalasi-instalasi industri yang dibangun sebelumnya dan sebenarnya masih dapat berfungsi, kehilangan gunanya. Sedangkan daerah-daerah luas penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, dengan cerdik diciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yagn tak usah muncul. Maka dengan tepat dapat ditanyakan, tidakkah kendati segala kemenangannya manusia justru membalikkan hasil-hasil kegiatannya melawan dirinya sendiri? Secara rasional ia berusaha mengendalikan alam[7]. Tetapi tidakkah sekarang ia sendiri menjadi budak barang-barang yang dibuatnya sendiri?

 10. Tidakkah munculnya peradaban kota, yang mengiringi meningkatnya peradaban industri, sungguh merupakan tantangan terhadap kebijaksanaan manusia, kemampuannya berorganisasi dan imaginasinya yang berjangkauan jauh? Dalam masyarakat industri urbanisasi mengacaukan cara-cara hidup maupun struktur-struktur yang sudah lazim: keluarga, rukun tetangga, dan kerangka jemaat Kristiani sendiri. Manusia mengalami bentuk baru kesepian. Bukan lagi menghadapi alam yang tidak bersahabat, yang untuk menaklukkannya ia membutuhkan berabad-abad lamanya. Melainkan dalam massa anonim (tanpa nama) yang melingkunginya, dan menimbulkan rasa terasingkan padanya. Sudah jelaslah urbanisasi merupakan tahap yang tak terbalikkan lagi dalam perkembangan berbagai masyarakat, dan menghadapkan manusia pada masalah-masalah yang cukup pelik. Bagaimana ia harus menguasai perkembangannya, mengatur susunannya, dan berhasil menggerakkannya demi kepentingan semua orang? Dalam pertumbuhan yang tidak teratur itu lahirlah bentuk-bentuk proletariat baru. Kelompok-kelompok itu bermukim di jantung kota-kota, yang kadang sudah ditinggalkan oleh kaum kaya-raya; mereka tinggal di pinggirankota, yang menjadi jalur penderitaan, dan dalam protes yang masih membisu mengepung kemewahan, yang dengan menyolok sekali meneriakkan tantangan dari pusat-pusat konsumsi dan pemborosan. Kota tidak mendukung perjumpaan persaudaraan atau gotong-royong, melainkan mempertajam diskriminasi dan sikap tak acuh. Kota membuka peluang bagi bentuk-bentuk baru penghisapan dan dominasi. Di situ ada pihak-pihak yang dengan berspekulasi tentang kebutuhan-kebutuhan sesama menggaruk keuntungan-keuntungan yang tidak halal. Di balik permukaan yang mentereng  tersembunyilah banyak penderitaan, yang oleh tetangga terdekat pun tidak terkirakan. Bentuk-bentuk lain penderitaan menyebar luas, bila martabat manusiawi merosot pelbagai kejahatan, penggunaan narkotika dan pelampiasan nafsu seksual.

 11. Kenyataannya golongan paling lemahlah yang menjadi korban kondisi-kondisi hidup yang tak layak manusiawi, merongrong hatinurani, dan merugikan lembaga keluarga. Pencampur-bauran dalam perumahan kaum buruh sama sekali tidak memungkinkan hidup privat. Pasangan-pasangan muda, yang sia-sia menunggu tempat tinggal yang layak atas biaya yang terjangkau, mengalami kemerosotan akhlak, dan ikatan persatuan mereka sekaligus terancam bahaya. Anak-anak muda lari dari rumah yang terlalu menyesakkan, dan mencari di jalan-jalan berbagai bentuk kompensasi dan membentuk kelompok-kelompok yang tak dapat diawasi. Termasuk tugas berat mereka yang bertanggung jawab berusaha mengendalikan dan mengarahkan proses itu.
            Sangat mendesaklah kebutuhan untuk di sekitar jalan-jalan, dalam rukun tetangga atau di pemukiman-pemukiman yang besar membentuk pola-pola pengelompokan, yang memungkinkan manusia mengembangkan kebutuhan-kebutuhan kepribadiannya. Perlu diciptakan atau dikembangkan pusat-pusat untuk melayani kepentingan khusus dan mengelola kebudayaan pada tingkat lingkungan dan paroki dengan berbagai bentuk perserikatan, pusat-pusat rekreasi, dan pertemuan-pertemuan rohaniserta persekutuan, sehingga orang-orang dapat menghindari isolasi dan membentuk hubungan-hubungan persaudaraan yang baru.

  12. Umat Kristiani hendaklah melibatkan diri dalam tugas membangun kota sebagai kediaman rakyat serta rukun-rukun hidupnya yang meluas, menciptakan pola-pola rukun tetangga dan hubungan antar manusia yang baru, menemukan penerapan keadilan sosial yang original, dan menyanggupi tanggung jawab atas masa depan bersama yang memang diperkirakan takkan mudah. Kepada mereka yang terjaring dalam hidup berbaur di kota yang terlampau berat ditanggung, perlulah disampaikan amanat harapan. Itu dapat dilaksanakan melalui persaudaraan yang sungguh nyata dan pelaksanaan konkret keadilan. Janganlah umat Kristinai, yang menyadari tanggung jawab baru itu,putus asa menghadapi masyarakat luas yang anonim. Hendaklah mereka ingat akan nabi Yunus, yang menjelajahi kota raya Ninive, untuk mewartakan kabar baik kerahiman Allah, dan dalam kelemahannya ditopang melulu oleh daya kekuatan sabda Allah yang mahakuasa. Dalam Kitab suci kota memang sering dilukiskan sebagai tempat dosa dan kesombongan, kecongkakan hati manusia yang merasa pasti mampu membangun hidupnya tanpa Allah, bahkan mengatakan bahwa ia cukup berkuasa melawan Allah. Akan tetapi terdapat pula contoh Yerusalem, kota suci, tempat manusia menjumpai Allah, pralambang yang menjanjikan kota yang turun dari atas[8].

BERBAGAI KEBUTUHAN KELOMPOK-KELOMPOK KHUSUS.
 13. Kehidupan di kota dan industrialisasi menonjolkan soal-soal, yang sampai sekarang jauh belum cukup ditanggapi. Misalnya: dalam suasana dunia yang baru itu manakah tempat kaum muda?
            Di mana-mana ternyata sulit menjalin dialog antara angkatan muda beserta aspirasi-aspirasi dan semangat pembaharuannya, tetapi juga denganrasa tidak pastinya mengenai masa depan, dengan kaum dewasa. Bagi siapa pun jelaslah di situ terdapat sumber konflik-konflik yang gawat, perpecahan, bahkan langkah memisahkan diri, juga dalam keluarga. Dipertanyakan pula berbagai bentuk kewibawaan, pendidikan untuk kebebasan, dan penyaluran nilai-nilai serta pelbagai kepercayaan, yang berakar mendalam di masyarakat.
            Begitu pula di banyak negeri sedang dipelajari dan acap kali sangat dibutuhkan undang-undang bagi kaum wanita, untuk mengakhiri diskriminasi yang masih berlaku dan menetapkan relasi-relasi kesetaraan hak serta sikap hormat terhadap martabat mereka. Yang kami maksudkan bukan kesamaan semu, yang akan bertentangan dengan peranan khas wanita, pada hal itu penting sekali dalam pangkuan keluarga maupun dalam masyarakat luas. Perkembangan dalam perundang-undangan justru harus diarahkan untuk melindungi panggilan wanita yang khas, dan sekaligus mengakui kebebasannya sebagai pribadi serta kesetaraan haknya untuk berperan serta dalam kehidupan budaya, ekonomi, sosial dan politik.

 14. Dalam Konsili Vatikan II dinyatakan secara resmi oleh Gereja: ‘awalmula, pokok dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang seharusnya pribadi manusia”[9]. Tiap orang berhak atas kerja, atas peluang untuk mengembangkan bakat-kemampuan serta kepribadiannya dalam menjalankan profesinya, atas upah wajar yang memungkinkan dia beserta keluarganya ‘hidup dengan layak di bidang materiil, sosial, budaya dan rohani”[10], dan atas bantuan bila muncul kebutuhan karena penyakit atau usia lanjut.
            Sungguhpun untuk melindungi hak-hak itu masyarakat-masyarakat demokrasi sekarang pada prinsipnya menerima hak-hak serikat buruh, kenyataannya tidak selalu mengizinkan perwujudannya. Peranan penting organisasi-organisasi pekerja harus diakui: tujuannya yakni mewakili berbagai kategori buruh, berperan serta menurut hukum dalam perkembangan ekonomi masyarakat, dan mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab mereka untuk mewujudkan kepentingan umum. Akan tetapi kegiatan serikat-serikat itu tidak berlangsung tanpa kesulitan-kesulitan. Di sana-sini dapat muncul godaan untuk memanfaatkan posisi kekuatan, khususnya pada pemogokan-pemogokan-(hak mogok sebagai upaya terakhir untuk membela diri tentu saja tetap diakui)-guna memaksakan syarat-syarat yang terlampau membebani perekonomian secara keseluruhan dan lembaga sosial khususnya, atau untuk mewujudkan dengan cara itu tuntutan-tuntutan yang langsung bersifat politik. Berkenaan dengan jasa-pelayanan umum seharusnya ada kemungkinan menetapkan batas-batas yang tidak boleh dilanggar, supaya masyarakat jangan dirugikan.

 15. Pendek kata, ternyata di bidang hubungan-hubungan manusiawi sudah tercapai kemajuan dalam mewujudkankeadaan yang lebih adil dan partisipasi lebih besar dalam berbagai tanggung jawab. Akan tetapi di bidang yang amat luas itu masih banyak yang perlu diusahakan. Perlu digerakkan secara aktif pemikiran, penelitian danpegnadaan eksperimen-eksperimen yagn lebih mendalam, supaya aspirasi-aspirasi kaum buruh yang wajar jangan terlambat ditanggapi; padahal aspirasi-aspirasi itu makin diteguhkan, semakin kesadaran akan martabat mereka meningkat dan kekuatan organisasi-organisasi mereka bertambah.
            Egoisme dan dominasi tetap merupakan godaan bagi manusia. Lagi pula dibutuhkan penilaian yang makin jeli, untuk tepat kena menangani akar-akar berbagai situasi ketidak-adilan yagn sedang bermunculan, dan secara berangsur-angsur menegakkan keadilan yagn makin sempurna. Dalam industrialisasi, yang meminta penyesuaian segera dan terus menerus, jumlah mereka yang menanggung ketidak-adilan akan bertambah, dan mereka berada dalam posisi yagn makin kurang menguntungkan untuk memperdengarkan suara mereka.
            Gereja mencurahkan perhatiannya terhadap golongan ‘kaum miskin” yang baru itu-para penyandang cacat, mereka yang terasingkan, kaum lanjut usia, berbagai kelompok rakyat di pinggiran masyarakat, dan sebagainya-untuk mengenali mereka, menolong mereka, melindungi tempat dan martabat mereka dalam masyarakat, yang makin kejam karena persaingan dan daya tarik keberhasilan.

 16. Di antara korban situasi ketidak-adilan-dan sungguhitu bukan kendala yang baru-termasuk mereka yang mengalami diskriminasi, menurut hukum atau dalam kenyataan, karena suku, asalmula, warna kulit, kebudayaan, jenis kelamin atau agama. Sekarang ini diskriminasi suku sangat relevan karena mengobarkan ketegangan dalam negeri-negeri tertentu maupun pada tingkat internasional. Dengan tepat dianggap tidak dapat dibenarkan dan ditolak sebagai pelanggaran moril kecondongan untuk mempertahankan atau mengadakan perundang-undangan atau pola bertindak yang secara sistematis diilhami oleh prasangka rasial. Semua orang mempunyai hak-hak serta kewajiban-kewajiban asasi yang sama, begitu pula panggilan hidup adikodrati yang sama. Dalam negeri yang menjadi milik tiap warganya, seharusnya semua orang sederajat di hadapan hukum, sama-sama boleh berperan serta dalam kehidupan ekonomi, budaya, sipil dan sosial, dan ikut menikmati pembagian kekayaan bangsa yang sewajarnya.

 17. Yang kami pikirkan juga ialah situasi gawat sejumlah besar tenaga kerja imigran, yang justru makin dipersulit oleh kondisi mereka sebagai kelompok asing untuk entah bagaimana mempertahankan hak-hak sosial mereka, kendati mereka dengan nyata berperan serta dalam usaha-usaha ekonomi negeri yang menampung mereka. Mendesak sekali bagi bangsa mana pun, untuk mengatasi sikap nasionalis yang picik terhadap mereka, dan menyusun undang-undang, yang menjamin hak mereka untuk beremigrasi, mendukung integrasi mereka, memperlancar kemajuan kejuruan mereka, dan memungkinkan mereka mendapat perumahan yang layak, sehingga keluarga mereka pun dapat bergabung dengan mereka[11].
            Berkaitan dengan golongan itu ialah mereka, yang untuk menemukan pekerjaan, atau untuk menghindari bencana atau iklim yang tidak sehat, meninggalkan daerah mereka, dan tidak merasa kerasan di masyarakat lain.
            Termasuk kewajiban siapa pun, dan khususnya umat Kristiani[12], ikut berusaha sekuat tenaga membentuk persaudaraan semua orang, dasar yang mutlak perlu bagi keadilan yang sejati dan syarat bagi duamai yang lestari: ‘Kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yagn diciptakan menurut citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: ‘ Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah’ (1 Yoh 4:8)[13].

MENGHADAPI PERTUMBUHAN PENDUDUK
 18. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, yang di bangsa-bangsa yang muda masih cukup menonjol, di tahun-tahun mendatang jumlah mereka yang gagal mendapat pekerjaan dan jatuh ke dalam kemelaratan atau parasitisme masih akan meningkat, kecuali kalau suarahati banyak orang sunggguh tergerakkan, dan menumbuhkan gerakan umum solidaritas melalui kebijakan efektif tentang penanaman modal dan organisasi produksi serta perdagangan, maupun melalui pendidikan. Kami saksikan perhatian yang diberikan kepada masalah-masalah itu dalam organisasi-organisasi internasional, dan dengan sangat kami menghimbau, agar para anggotanya jangan menunda-nunda lagi menyelaraskan tindakan-tindakan mereka dengan pernyataan-pernyataan mereka.
            Berkenaan dengan itu cukup meresahkan: menyaksikan semacam fatalisme yang makin kuat, bahkan sampai menyangkut orang-orang yagn posisinya penuh tanggung jawab. Perasaan itu ada kalanya mendorong ke arah pemecahan-pemecahan Malthusian, yang disebarkan lewat propaganda aktif tentang kontrasepsi dan pengguguran kandungan. Dalam situasi kritis itu justru yang sebaliknya harus dinyatakan, yakni:keluarga, yang mutlak perlu demi kelestarian masyarakat, berhak atas bantuan, yangakan menjaminbaginya kondisi-kondisi perkembangan yang sehat. Dalam Ensiklik kami ” Populorum Progressio” tertulis ” Jelaslah bahwa di bidang itu pemerintah dapat bercampur tangan dalam batas-batas kewenangannya. Mengenai hal itu pemerintah dapat menyelenggarakan penyuluhan bagi rakyat dan menerapkan upaya-upaya yang sesuai, selama upaya-upaya itu sejalan dengan kaidah-kaidah moril, dan kebebasan para suami-isteri yang sewajarnya tetap dipertahankan seutuh-utuhnya. Bila hak atas pernikahan dan keturunan yang tak dapat diganggu-gugat toh dikesampingkan, serta merta martabat manisiawi pun diabaikan”[14].

 19. Belum pernah daya cipta masyarakat dirangsang begitu terang-terangan. Daya cipta itu semestinya dikerahkan untuk usaha-usaha penemuan dan pembekalan, yang tidak kalah penting dengan usaha-usaha persenjataan atau prestasi-prestasi teknologi. Kalau manusia membiarkan diri bergegas-gegas maju tanpa tepat pada waktunya mengantisipasi munculnya masalah-masalah sosial baru, masalah-masalah itu akan menjadi terlampau berat, sehingga kian sulit untuk masih mengharapkan pemecahan penuh damai.


KEKUASAAN MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL
 20. Di antara perubahan-perubahan yang agak besar masa kini, kami tidak ingin lupa menekankan meningkatnya peranan media komunikasi sosial serta dampak-pengaruhnya atas perubahan mentalitas, pengetahuan, organisasi-organisasi dan masyarakat sendiri. Jelas media itu mempunyai banyak segi positif. Oleh karenanya berita dari seluruh dunia praktis segera mencapai kita, dan menjalin hubungan-hubungan yang menjembatani jarak-jarak jauh, serta menciptakan unsur-unsur kesatuan antara semua orang. Terbuka peluang untuk makin menyebarluaskan pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi justru karena jangkauan pengaruhnya media komunikasi sosial seakan-akan mencapai titik penampilan kekuasaan yang baru. Mau tak mau muncullah pertanyaan: siapa sajakah sebenarnya yang memiliki kekusaan itu, manakah sasaran-sasaran yang ingin mereka capai dan upaya-upaya yang mereka gunakan, dan akhirnya: manakah efek kegiatan mereka atas pengamalan kebebasan perorangan, di bidang politik maupun ideologi, dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Mereka yang memiliki kekuasaan itu mempunyai tanggung jawab moril yang berat atas kebenaran informasi yang mereka siarkan, kebutuhan-kebutuhan dan reaksi-reaksi yang mereka timbulkan, dan nilai-nilai yang mereka tawarkan. Lagi pula perihal televisi, yang sekarang ini muncul ialah cara pengetahuan yang original dan peradaban yang baru, yakni: pengetahuan melalui gambaran.
            Tentu saja pemerintah tidak dapat menganggap sepi meningkatnya kekuasaan dan pengaruh media komunikasi sosial, serta keuntungan-keuntungan maupun risiko-rikiko yang terletak pada pemakaiannya bagi masyarakat luas dan bagi perkembangan serta penyempurnaannya yang sesungguhnya.
            Oleh karena itu pemerintah diharapkan menjalankan fungsi positifnya sendiri demi kepentingan umum, dengan mendorong setiap siaran atau tayangan konstruktif, dengan mendukung para warga masyarakat dan kelompok-kelompok dalam mempertahankan nilai-nilai asasi pribadi serta masyarakat, pun juga dengan menempuh langkah-langkah yang semestinya, untuk mencegah penyebaran apa pun yang akan merugikan warisan bersama berupa nilai-nilai, yang melandasi kemajuan masyarakat yang serba teratur[15].


LINGKUNGAN HIDUP SEDANG MENGHADAPI RESIKO
 21. Sementara dengan demikian cakrawala manusia mengalami perubahan menurut gambaran-gambaran yang  dipilihkan baginya, berlangsunglah transformasi lain, yang merupakan konsekuensi kegiatan manusiawi yang dramatis dan tak terkirakan. Tiba-tiba saja manusia menyadari, bahwa akibat eksploatasi alam yang acak-acakan ia menimbulkan risiko menghancurkannya, dan ia sendiri menjadi korban pengrusakan itu. Bukan saja lingkungan materiil terus menerus merupakan ancaman-pencemaran dan sampah, penyakit-penyait baru dan daya-daya penghancur, -melainkan lingkungan hidup manusiawi tidak lagi dikendalikan oleh manusia, sehingga menciptakan lingkungan yang untuk masa depan mungkin sekali tidak tergantung lagi. Itulah persoalan sosial berjangkauan luas, yang sedang memprihatinkan segenap keluarga manusia.
            Umat Kristinai harus memperhatikan pengertian-pengertian baru itu untuk bersedia bertanggung jawab bersama dengan semua pihak lain, guna membangun masa depan sejak sekarang dihadapi bersama oleh semua orang.

HAK-HAK MANUSIAWI

 22. Sementara kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi tiada hentinya merombak lingkungan manusia, pola-pola pemikiran dan kerjanya, konsumsi serta hubungan-hunungannya, ada dua aspirasi yang dalam konteks baru itu terus menerus terasa. Keduanya makin kuat sejauh manusia sendiri makin kaya informasi dan berpendidikan kian bermutu: aspirasi terhadap keadilan dan hasrat untuk berperan serta, dua aspek martabat serta kebebasan manusia.

 23. Melalui  pernyataan hak-hak manusia itu dan usaha mengadakan perjanjian-perjanjian internasional untuk menerapkan hak-hak itu, tercapailah kemajuan dalam menanam kedua aspirasi itu ke dalam tindakan-tindakan maupun struktur-struktur[16]. Kendati begitu pelbagai bentuk diskriminasi masih terus saja bermunculan-di bidang kesukuan, budaya, keamanan, politik dan sebagainya.Kenyataannya hak-hak manusiawi terlampau sering diabaikan, kalau tidak dilecehkan, atau juga diakui secara formal melulu. Acap kali perundang-undangan itu perlu, tetapi belum memadai untuk membentuk hubungan-hubungan sejati berdasarkan keadilan dan kewajaran. Dengan mengajarkan cintakasih, Injil hendak menanam sikap hormat terutama terhadap kaum miskin, dan perhatian terhadap situasi mereka yang khas dalam masyarakat: mereka yang lebih beruntung harus mengikhlaskan berbagai hak mereka, untuk makin berjiwa besar mengabdikan harta-kekayaan mereka kepada sesama. Kalau karena hukum dikesampingkan sebenarnya hilanglah sikap hormat dan pengabdian terhadap sesama,bahkan ”keadilan” menurut hukum pun dapat berfungsi sebagai kedok diskriminasi yang terang-terangan, penghisapan terus-menerus dan penghinaan yang nyata. Tanpa usaha membaharui pendidikan dalam solidaritas tekanan yang berlebihan pada keadilan dapat menumbuhkan individualisme: di situ tiap orang menuntut hak-haknya sendiri tanpa mau bertanggung jawab atas kepentingan umum.
            Di bidang itu siapa pun menyadari amat pentingnya sumbangan semangat Kristiani, yang sekaligus menanggapi hasrat manusia untuk dikasihi. ”Cintakasih terhadap sesama, nilai utama dalam tata dunia”, menjamin terpenuhinya persyaratan bagi perdamaian, damai sosial maupun internasional, dengan menegaskan persaudaraan kita semesta[17].


KEHIDUPAN POLITIK

 24. Kedua aspirasi, yakni akan kedilan dan partisipasi, merupakan dukungan bagi pola masyarakat demokratis. Ditawarkan berbagai pola, ada yang pernah diujicoba, tidak satu pun memuaskan sepenuhnya, dan tetap masih berlangsung penelitian antara arus-arus ideologis dan pragmatis. Umat Kristiani wajib melibatkan diri dalam penelitian itu, dan dalam organisasi serta kehidupan negara. Sabagai makhluk sosial manusia membentuk masa depannya dalam serangkaian kelompok-kelompok khusus, yang untuk melengkapi diri dan sebagai syarat mutlak bagi perkembangan mereka memerlukan masyarakat yang lebih luas, bersifat universal, yakni negara. Segala kegiatan khas harus ditempatkan dalam masyarakat lebih luas itu, dan dengan demikian beroleh dimesnsi kepentingan umum[18]. Itu menunjukkan relevansi pendidikan bagi kehidupan dalam masyarakat. Dalam pendidikan itu bukan hanya disampaikan penyuluhan tentang hak-hak tiap orang, melainkan ditunjukkan juga padanannya, yakni: pengakuan kewajiban-kewajibannya terhadap sesama. Kesadaran akan kewajiban dan pelaksanaannya sendiri dipengaruhi oleh pengendalian diri dan kesanggupan bertangggung jawab serta batas-batas kebebasan perorangan maupun kelompok.

 25. Kegiatan politik-perlukah ditegaskan, bahwa yang dibicarakan di sini terutama kegiatan, bukan ideologi?-harus mencerminkan perencanaan masyarakat yang konsisten dalam upaya-upaya konkret maupun inspirasinya, dan yang berdasarkan pengertian lengkap tentang panggilan manusia serta aneka ungkapan sosialnya. Supaya jangan terkungkung dalam dirinya Negara tau bahkan partai-partai politik pun jangan mencoba memaksakan ideologi dengan upaya-upaya yang membawa ke arah diktatur atas pemikiran para warganya, kendala yang paling buruk. Termasuk tugas kelompok-kelompok budaya dan agama, dengan mengandaikan bahwa itu diterima dalam kebebasan, mengembangkan dalam masyarakat, tanpa pamrih dan masing-masing dengan caranya sendiri, keyakinan-keyakinan yang paling mendasar tentang hakikat, asalmula serta tujuan manusia dan masyarakat. Di bidang itu baiklah tetap diperhatikan prinsip yang dicanangkan pada Konsili Vatikan II: ”Kebenaran hanyalah menuntut supaya diterima berdasarkan kebenaran itu sendiri, yang memasuki akalbudi secara halus dan kuat”[19].

SIFAT MENDUA IDEOLOGI
 26. Oleh karena itu orang Kristiani, yang hendak menghayati imannya dalam kegiatan poltik yang dipandangnya sebagai pengabdian, tidak dapat tanpa bertentangan dengan dirinya menganut sistem-sistem ideologi yang secara radikal atau pada pokoknya berlawanan dengan imannya dan dengan pengertiannya tetangan manusia. Ia tidak dapat menganut ideologi Marksis, materialismenya yang ateistis, dialektikanya yang diwarnai kekerasan, dan caranya menyerap kebebasan perorangan dalam kolektivitas, sambil mengingkari segala transendensi yang ada pada manusia maupun sejarah pribadi dan kolektifnya. Ia juga tidak dapat menganut ideologi liberal yang mengira mengagungkan kebebasan perorangan dengan mengentaskannya dari setiap pembatasannya sambil memacunya dengan secara eksklusif mencari kepentingan sendiri dan kekuasaan, dan dengan menganggap berbagai bentuk kesetiakawanan sosial kurang lebih sebagai konsekuensi otomatis prakarsa-prakarsa perorangan bukan sebagai tujuan dan tolok-ukur pokok bagi nilai organisasi sosial.

27. Masih perlukah ditekankan,bahwa dapat saja ideologisosial bersifat mendua? Kadang ideologi menganggap kegiatan politik atau sosial melulu sebgai penerapan suatu ide yang abstrak dan teoretis belaka. Ada kalanya itu sistem pemikiran yang menjadi upaya pendukung melulu bagi kegiatan sebagai sarana strategi semata-mata. Tidakkah dalam kedua alternatif itu manusia menempuh risiko mengalami alienasi diri? Iman Kristiani melampaui ideologi-ideologi dan ada kalanya bertentangan dengannya, karena mengakui Allah, Sang Pencipta yang Adi semesta, dan yang melalui segala lapisan penciptaan menyampaikan panggilannya kepada manusia, yang dikaruniai tanggung jawab dan kebebasan.

 28.  Ada bahaya pula menganut ideologi yang tidak berdasarkan ajaran yang benar dan organis, mengandalkannya seakan-akan itulah penjelasan segala sesuatu yang mutakhir dan serba memadai, dan dengan begitu menciptakan berhala baru, kadang-kadang tanpa menyadari menerima sifat totaliternya yagn memaksakan diri. Dan ada saja yang membayangkan seolah-olah di situlah mereka temukan pembenaran bagi kegiatan mereka, bahkan juga bagi tindakan kekerasan, dan tanggapan yang memadai terhadap hasrat mereka yang besar untuk mengabdi. Hasrat itu memang tetap ada, tetapi membiarkan diri tersita oleh ideologi yang juga kalau menyarankan cara-cara tertentu untuk membebaskan manusia-akhirnya memperbudaknya.

 29. Sekarang ini dapat dikatakan, bahwa ideologi-ideologi mengalami kemunduran. Ditinjau dari sudut itu zaman sekarang barangkali mendukung sikap terbuka terhadap kenyataan unggulnya iman Kristiani. Barangkali juga ada kecenderungan yang lebih jelas ke arah positivisme yang baru: teknologi yang makin merajalela sebagai bentuk kegiatan yang dominan, sebagai pola hidup yang meliputi segalanya, bahkan sebagai bahasa, tanpa ada yang sungguh mempersoalkan maknanya.

 30. Akan tetapi selain positivisme yang membatasi manusia hanya pada satu dimensi itu, kendati memang dimensi yang penting, sehingga manusia mengalami pengudungan, umat Kristiani dalam kegiatan mereka menjumpai gerakan-gerakan konkret historis, yang bersumber pada ideologi-ideologi dan sebagian terbedakan dari padanya. Pendahulu kami yang mulia Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik ”Pacem in Terris” sudah menunjukkan bahwa dapat diadakan pembedaan: ”Ajaran-ajaran filsafah yang palsu tentang hakikat, asalmula dan tujuan akhir alam semesta maupun manusia tidak dapat disamakan belaka dengan gerakan-gerakan historis yang mengejar sasaran-sasaran ekonomi, sosial, budaya dan politik, juga sungguhpun gerakan-gerakan itu bersumber pada ajaran-ajaran tadi dan telah serta masih menimba inspirasi dari padanya. Sebab ajaran-ajaran, sekali disusun dan dibakukan, selalu tetap sama; sedangkan gerakan-gerakan, yang penuh kepedulian akan situasi-situasi historis dalam perkembangannya terus menerus, mau tak mau terpengaruh oleh kenyataan-kenyataan itu, oleh karena itu tidak dapat lain kecuali mengalami perubahan-perubahan, malahan yang mendalam juga. Lagi pula siapa dapat menyangkal bahwa gerakan-gerakanitu, sejauh mengikuti bimbingan akal sehat dan menafsirkan aspirasi-aspirasi pribadi manusia yang memang benar, mencakup unsur-unsur yang positif dan layak disetujui?”[20]

DAYA TARIK SOSIALISME

 31. Sekarang ada orang-orang Kristiani yang tertarik oelh arus-arus sosialis dan berbagai perkembangannya. Mereka mencoba mengenali padanya sejumlah aspirasi-aspirasi yang mereka pupuk sendiri berdasarkan iman mereka. Mereka merasa termasuk arus sejarah itu dan bermaksud berperanan di dalamnya. Sekarang arus historis itu, di balik satu nama, mengenakan berbagai bentuk sesuai dengan situasi di berbagai benua beserta kebudayaannya, juga sekalipun di masa lampau dan sekarang pun masih sering menimba inspirasinya dari ideologi-ideologi yang bertentangan dengan iman. Dibutuhkan penilaian yang sungguh cermat. Sering sekali orang-orang Kristiani yang tertarik oleh sosialisme cenderung untuk menyanjung-nyanjungnya dengan ungkapan-ungkapan yang, terlepas dari segi-segi lain, serba umum belaka: hasrat akan keadilan, solidaritas dan pemerataan. Mereka tidak mau mengakui terbatasnya gerakan-gerakan sosialis dalam sejarah, yang tetap terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang melahirkannya. Perlu diadakan pembedaan untuk mengarahkan pemilihan-pemilihan konkret antara pelbagai tingkatan ungkapan sosialisme: suatu aspirasi penuh ketulusan dan usaha membentuk masyarakat yang lebih adil, gerakan-gerakan konkret yang mempunyai organisasi dan tujuanpolitik, dan ideologi yang meng”klaim”memberi gambaran yang lengkap dan swa-sembada tentang manusia. Kendati begitu, pembedaan-pembedaan itu jangan menimbulkan anggapan seolah-olah tingkatan-tingkatan itu harus ditunjukkan dengan jelas. Pengertian itu akan memungkinkan umat Kristiani mengenali taraf komitmen yang diperbolehkan pada haluan itu, sementara tetap terjaminlah beberapa nilai, khususnya kebebasan, tanggung jawab dan sikap terbuka bagi kerohanian, yang menjamin perkembangan manusia seutuhnya.

TANTANGAN MARKSISME

 32. Ada orang-orang Kristiani lainnya yang bahkan menanyakan, tidakkah perkembangan historis Marksisme barangkali menghalalkan pendekatan-pendekatan konkret tertentu. De facto mereka menunjuk kepada sempalan tertentu dalam Marksisme, yagn hingga sekarang tampil sebagai ideologi tunggal, yang menjelaskan keseluruhan manusia dan dunia menurut pola ateisme, karena melulu mengungkung diri dalam proses perkembangannya. Terlepas dari konfrontasi ideologi yang secara resmi memisahkan berbagai tokojk pejuang Marksisme-Leninisme dalam penafsiran mereka masing-masing terhadap pemikiran para pendirinya, terlepas pula dari perlawanan terbuka antara sistem-sistem politik yang sekarang menggunakan namanya, ada beberapa yang menggariskan pembedaan-pembedaan antara berbagai tingkatan ungkapan dalam Marksisme.

 33. Menurut pihak tertentu Marksisme pada dasarnya tetap merupakan gelanggang perjuangan aktif antar kelas. Sementara mengalami tetap adanya kekuatan yang terus menerus dibaharui pada hubungan-hubungan dominasi dan eksploatasi antar manusia, mereka membatasi Marksisme melulu pada suatu perjuangan-acap kali tanpa tujuan lain-yang harus dilaksanakan dan bahkan tiada hentinya dikobarkan. Bagi kelompok lain. Marksisme terutama merupakan pelaksanaan kolektif kekuasaan politik dan ekonomi di bawah pimpinan partai tunggal, yagn dicanangkan sebagai satu-satunya perwujudan dan jaminan bagi kesejahteraan segenap masyarakat, dan melucuti orang-orang dan kelompok-kelompok lain dari tiap  kemungkinan untuk berprakarsa dan menentukan pilihan mereka sendiri. Pada tingkat ketiga Marksisme, entah berkuasa  entah tidak, dianggap sebagai ideologi sosialis berdasarkan materialisme historis dan pengingkaran apa pun yang bersifat transenden. Akhirnya ada kalanya Marksisme tampil dalam bentuk lebih lunak, lebih menarik juga bagi mentalitas modern, yakni: sebagai kegiatan ilmiah, suatu metode ketat untuk meneliti kenyataan sosial dan politik, dan sebagai kaitan rasional yang teruji oleh sejarah antara pengertian teoretis dan praktek perombakanrevolusioner. Meskipun pola analisis itu mengutamakan aspek-aspek tertentu dalam kenyataan kongkret sehingga mengesampingkan segi-segi lainnya, dan menafsirkan aspek-aspek tadi dalam terang ideologinya, namun membekali kelompok tertentu bukan hanya dengan instrumen kerja, melainkan juga dengan suatu kepastian mendahului tindakan, yakni:”klaim” untuk secara ilmiah menguraikan akar-akar perkembangan masyarakat.

 34. Sementara, melalui bentuk Marksisme yang konkret ada, dapat dibedakan antara berbagai aspek itu dan masalah-persoalan yagn diajukannya bagi refleksi an kegiatan umat Kristiani, akan menyesatkan dan berbahaya, bila kaitan erat yagn secara radikal mempertalikan keduanya sampai dilupakan, bila unsur-unsur analisis Marksis diterima saja tanpa mengakui hubungannya dengan ideologi, dan bila perjuangan antar kelas serta tafsiran-tafsiran Marksisnya dipraktekkan, sementara tidak disadari bahwa proses itu membawa ke arah pembentukan masyarakat yang totaliter dan penuh kekerasan.

AKAR-AKAR LIBERALISME

 35. Di lain pihak kita saksikan pembaharuan ideologi liberal. Arus itu  membawakan diri demi efisiensi ekonomis, dan untuk melindungi individu terhadap kekuasaan organisasi-organisasi yang makin merajalela, serta sebagai reaksi melawan arus-arus totaliter kekuatan-kekuatan politik. Prakarsa pribadi memang harus dipertahankan dan dikembangkan. Akan tetapi bukankah orang-orang Kristiani yang menempuh jalan itu condong untuk menyanjung-nyanjung liberalisme juga, dan memandangnya sebagai proklamasi dukungan bagi kebebasan?Mereka menginginkan pola baru, lebihsesuai dengan situasi zaman sekarang, sementara  mudah melupakan bahwa pada dasar filsafah liberalisme sendiri terdapat pernyataan yang sesat tentang otonomi perorangan dalam kegiatan serta motivasinya, dalam pelaksanaan kebebasannya. Oleh karena itu ideologi liberal pun dari pihak mereka menuntut penilaian yang seksama.

DINAMISME IMAN KRISTIANI

 36. Dalam perjumpaan ulang antara berbagai ideologi itu, orang Kristiani akan menimba dari sumber-sumber imannya dan dari ajaran Gereja kaidah-kaidah yang dibutuhkandan norma-norma yang sesuai, supaya jangan membiarkan diri mulanya tertarik oleh dan kemudian dikungkung dalam siatu sistem, yangsifat-sifatnya terbatas dan totaliter barangkali akan terlambat menjadi jelas baginya, kalau ia tidak memahaminya hingga akar-akarnya. Melampaui tiap sistem, tetapi tanpa mengabaikan komitmennya yang konkret untuk melayani sesama, ia akan menampilkandi tengah segala pilihannya ciri khas sumbangan Kristiani untuk perombakan positif masyarakat[21].

 37. Selain itu sekarang berbagai kelemahan ideologi-ideologi lebih mudah dimengerti melalui sistem-sistem konkret, yang merupakan cetusan jatidirinya. Sosialisme  birokratis, kapitalisme teknokratis dan demokrasi otoriter menampilkan, betapa sukar memecahkan masalah manusiawi besar, yang ada pada hidup bersama dalam keadilan dan kewajaran. Sebab bagaimana sistem-sistem itu dapat menghindari materialisme, egoisme atau paksaan yagn melekat tak terceraikan dari padanya? Itulah sumber protes yang meletus hampir di mana-mana, dan menandakan penyakit yang sudah  mendalam; sedangkan sementara ini kita saksikan munculnya apa yang lazim disebut ”utopia-utopia”. Utopi-utopi itu disertai keyakinan akan kemampuannya memecahkan masalah politik masyarakat-masyarakat modern lebih baik dari ideologi-ideologi. Akan berbahaya sekiranya itu diabaikan. Sikap mengandalkan suatu utopi sering merupakan dalih yang mudah bagi mereka yang hendak melarikan diri dari tugas-tugas konkret, untuk mengungsi ke dalam suatu dunia khayalan. Hidup di masa depan yang penuh perandaian ialah ”alibi” yagn nyaman untuk menolak tanggung jawab yang serba langsung. Akan tetapi memang harus diakui terus terang, bahwa kritik semacam itu terhadap masyarakat sekarang acap kali mengundang lintasan daya-cipta ke depan, baik untuk menggali dalam masa kini peluang tersembunyi yang diabaikan, maupun untuk mengarahkan pandangan ke masa depan yang segar. Begitulah kritik itu tetap menghidupkan  dinamisme sosial berdasarkan kepercayaan yang diberikankepada daya-kekuatan inventif budi maupun hati manusia. Dan selama kritik itu masih tetap terbuka, akan dapat menampung seruan Kristiani juga. Roh Tuhan, yang menjiwai manusia yang dibaharui dalam Kristus, tiada  hentinya mendobrak lingkup cakrawala, tempat pemikiran manusia suka menemukan keamanan, dan menembus batas-batas kungkungan yang dengan rela diterima oleh kegiatannya. Dalam diri manusia bergolaklah kekuatan, yang mendorong untuk melampaui tiap sistem dan tiap ideologi. Di tengah-tengah duia hiduplah misteri manusia, yagn menemukan diri sebagai anak-anak Allah di sepanjang proses historis dan psikologis, yagn ditandai dengan silih-bergantinya paksaan dan kebebasan, begitu pula bobot dosa dan nafas Roh, yang saling berebut kekuasaan atas manusia.
            Di situ dinamisme iman Kristiani unggul terhadap perhitungan egoisme yagn picik. Dijiwai oleh kuasa Roh Yesus Kristus, Penyelamat umat manusia, dan ditopang oleh harapan, umat Kristiani melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat manusia, yang harus penuh damai dan keadilan, ditandai oleh persaudaraan dan berkenan sebagai persembahan kepada Allah[22]. Memang ”harapan akan bumi baru jangan melemahkan, melainkanjustru harus merangsang kepedulian kita untuk mengelola bumi ini. Sebab di sini berkembanglah tubuh keluarga manusia yang baru yang sekarang punsudah mampu mempralambangkan zaman baru”[23].

BEBERAPA BAHAYA ILMU PENGETAHUAN

 38. Di dunia ini, yang didominasi oleh perkembangan-perkembangan ilmu-pengetahuan dan teknologi, -bahaya yang dapat menghanyutkannya ke arah positivisme baru, -muncullah keragu-raguan lain yang lebih mendasar. Sesudah menaklukkan alam memakai akalbudinya, manusia sekarang merasa seolah-olah terpenjara dalam rasionalitasnya sendiri. Dialah yang ganti menjadi sasaran ilmu-pengetahuan. ”Ilmu-ilmu manusia” sekarang mengalami pemekaran yang cukup besar maknanya. Di satu pihak ilmu-ilmu sedang menghadapkan pengetahuan tentang manusia, yang hingga kini diterima begitu saja, kepada penelitian yang kritis dan radikal, karena pengetahuan itu agaknya terlampau empiris atau terlalu teoretis. Di lain pihak, keniscayaan metodologis dan perandaian-perandaian ideologis pun sering mendorong ilmu-ilmu manusia untuk  diberbagai situasi menyendirikan aspek-aspek tertentu manusia, namun memberinya penjelasan, yang berprestasi lengkap, atau setidak-tidaknya penafsiran, yagn dimaksudkan merangkum segalanya dari sudut pandangan kuantitatif atau fenomenologis semata-mata. Pembatasan ilmiah itu menampilkan pengandaian yang berbahaya. Mengutamakan dengan cara itu suatu segi analisis seperti itu berarti mengudungi manusia, dan dengan dalih prosedur ilmiah, menutup segala kemungkinan memahami manusia secara menyeluruh.

 39. Jangan kurang diperhatikan pula tindaan-tindakan yang dapat dirangsang oleh ilmu-ilmu manusia, yang mendorong ke arah penyusunan pola-pola masyarakat, untuk kemudian dipaksakan kepada masyarakat sebagai pola-pola perilaku yagn sudah diuji secara ilmiah. Kalau begitu manusia dapat menjadi saaran berbagai manipulasi, yang menjuruskan keinginan-keinginan serta kebutuhan-kebutuhannya, dan mengubah perilakunya, bahkan juga sistem nilai-nilainya. Pantang diragukan, bahwa di situ terletak bahaya yang gawat bagi masyarakat-masyarakat di masa mendatang, dan bagi manusia sendiri. Sebab sekalipun semua sepakat membangun masyarakat baru untuk melayani manusia, masih penting sekali juga mengetahui manusia macam apakah yang dimaksudkan.

 40. Kecurigaan ilmu-ilmu manusia menyangkut orang Kristiani lebih dari pihak-pihak lain, tetapi tidak menumpainya tanpa senjata. Sebab seperti kami tulis dalam Ensiklik ”Populorum Progressio”, di situlah letak sumbangan khas Gereja kepada peradaban: ”Gereja ikut memupuk aspirasi-aspirasi masyarakat yang amat luhur, dan menderita bila menyaksikannya tak terpenuhi. Maka Gereja ingin membantu masyarakat mencapai pemekarnnya sepenuhnya. Oleh karena itulah Gereja menyajikan kepada masyarakat apa yang dimilikinya sebagai ciri khas, yakni: visi menyeluruh tentang manusia danumat manusia”[24]. Lalu apakah Gereja ganti akan melawan langkah-langkah ilmu-ilmu manusia, dan mengecam pretensi-pretensinya? Seperti terhadap ilmu-ilmu alam, Gereja mempunyai kepercayaan akan penelitian ilmu-ilmu manusia juga, dan mendorong umat Kristiani untuk berperan serta dengan aktif[25]. Didorong oleh tuntutan-tuntutan ilmiah yang sama dan oleh keinginan mengenal manusia lebih baik, tetapi sekaligus diterangi oleh iman, para ilmuwan-ilmuwan Kristiani akan menjalindialog yagn boleh diharapkan akan berbuah banyak. Tentu saja tiap ilmu hanya akan mampu menangkap dalam bidangnya yang khas aspek-aspek tertentu-dan itu benar juga –tentang manusia. Gambaran yagn lengkap dan maknanya yang sepenuhnya tidak akan tercapai. Akan tetapi dalam batas-batas itu ilmu-ilmu manusia memberi harapan akan berfungsi positif, dan oleh Gereja itu diakui dengan rela. Ilmu-ilmu itu ahkan dapat memperluas cakrawala kebebsan manusiawi, jauh lebih dari yang dapat diperkirakan berdasarkan dampak pengaruh kenyataan-kenyataan yang dialami. Maka ilmu-ilmu manusia juga dapat menunjang moralitas sosial Kristiani, yagn pasti akan merasakan betapa terbatasnya juga bidangnya, bila soalnya menyarankan pola-pola masyarakat yang tertentu. Sebab fungsi moralitas, yakni memberi penilaian kritis dan menampung pandang yang menyeluruh, akan diteguhkan dengan menunjukkan sifat relatif perilaku dan nilai-nilai yang ditawarkan oleh masyarakat tertentu sebagai defenitif dan melekat pada kodrat manusia sendiri. Ilmu-ilmu itu merupakan syarat , yang mau tak mau harus dipenuhi namun sekaligus tidak memadai untuk dengan lebih seksama menemukan apakah sebenarnya yang manusiawi itu. Ilmu-ilmu itu merupakan bahasa, yang makin kompleks, tetapilebih bersifat menggali makin mendalam dari pada memecahkan misteri lubuk hati manusia. Bahasa itu juga tidak memberi jawaban yang lengkap dan defenitif terhadap dambaan yang lahir dari sanubari manusia.

SIFAT TERBATAS KEMAJUAN

 41. Pengertian yang lebih mendalam tentang manusia memungkinkan penilaian lebih cermat dan kritis serta pengakajian lebih seksama tentang suatu faham mendasar, yagn melandasi masyarakat –masyarakat  modern sebagai motivasi, tolok ukur dan tujuannya, yakni: kemajuan. Sejak abad kesembilan-belas masyarakat-masyarakat barat, dan oleh karena itu banyak pihak lainnya juga, menaruh harapan mereka pada kemajuan yang terus menerus diperbaharui dan berkelanjutan. Kemajuan itu mereka pandang sebagai usaha manusia untuk membebaskan diri menghadapi tuntutan-tuntutan alam dan ikatan-ikatan sosial. Ketiak itu kemajuan merupakan syarat maupun tolok-ukur bagi kebebasan manusiawi. Kemajuan, yang dipropagandakan oleh media informasi modern dan oleh tuntutan akan pengetahuan yang lebih luas dan konsumsi yang lebih besar, menjadi ideologi yang merajalela di mana-mana. Akan tetapi sekarang ini muncullah kebimbangan mengerani nilai  maupun hasilnya. Manakah arti usaha-usaha tiada hentinya dan penuh gairah untuk mencapai kemajuan itu, kalau kemajuan itu senantiasa toh luput dari jangkauan, justru bila orang mengira ia sudah cukup menguasainya utuk menikmatinya dalam damai? Kalau kemajuan tidak tercapai, orang tetap tidak puas. Sudah pasti telah dilontarkan dengan tepat kecaman terhadap batas-batas dan bahkan langkah-langkah yang salah pada perkembangan ekonomi yang semata-mata bersifat kuantitatif. Ada keinginan utuk mencapai sasaran-sasaran yang bersifat kualitatif juga. Mutu dan kebenaran hubungan-hubungan manusiawi, kadar partisipasi dan tanggung jawab, tidak kalah relevan atau penting bagi masa depan, dibandingkan dengan kuantitas dan kemacam-ragaman barang-barang yang diproduksi dan merupakan bahan konsumsi. Manusia sekarang ingin mengatasi godaan mau mengukur segala sesuatu dalam rangka efisiensi dan perdagangan, dalam koteks percaturan antara kekuatan-kekuatan dan kepentingan-kepentingan. Untuk itu ia ingin menggantikannorma-norma kuantitatif itu dengan intensitas komunikasi, pemerataan pengetahuan dankebudayaan, pelayanan timbal-balik dan perpaduan usaha-usaha untuk melaksanakan tugas bersama. Tidakkah kemajuan yang sejati terdapat pada pengembangan kesadaran moril, yagn akan mendorong manusia untuk mewujudkan solidaritas yagn lebih luas dan untuk secara bebas membuka diri bagi sesama dan bagi Allah? Bagi umat Kristiani kemajuan mau tak mau dihadapkan kepada perspektif misteri eskatologis maut. Wafat dan kebangkitan Kristus serta pencurahan Roh Tuhan membantu manusia menempatkan kebebasannya, secara kreatif dan penuh rasa syukur, dalam konteks kebenaran segala kemajuan dan satu-satunya pengharapan yang tiada mengecewakan[26].

II

MENCARI JAWABAN-JAWABAN

 42. Menanggapi sekian banyak persoalan baru Gereja berusaha berefleksi untuk dalam lingkupya sendiri memberi jawaban kepada harapan-harapan manusia. Dewasa ini masalah-masalah nampak serba baru karena begitu luas dan mendesak. Benarkah manusia tidak mempunyai upaya-upaya untuk memecahkannya? Dengan seluruh dinamismenya ajaran sosial Gereja mendampingi manusia dalam usahanya menemukan jawaban. Gereja barangkali tidak bercampur-tangan untuk mengesahkan struktur tertentu atau mengusulkan pola yang siap pakai. Tetapi juga tidak membatasi diri pada mengingatkan prinsip-prinsip umum saja. Ajaran sosial Gereja berkembang melalui refleksi atas pelbagai situasi yagn berubah-ubah di dunia ini, atas dorongan kekuatan Injil sebagai sumber pembaharuan, bila amanatnya diterima seutuhnya beserta segala tuntuannya. Ajaran sosial itu berkembagn juga berkat kepekaan Gereja yang khas, yang ditandai oleh kemajuan tanpa pamrih utuk melayani dan oleh perhatian terhadap mereka yang paling miskin. Akhirnya Gereja memanfaatkan pengalaman yangkaya berabad-abad lamanya, yang memungkinkan tetap-menempuh langkah-langkah baru dengan berani dan kreatif, seperti dibutuhkan dalam kenyataan dunia sekarang ini.

IKATAN-IKATAN EKONOMI

43. Diperlukan keadilan lebih besar dalam bersama-sama menggunakan harta-benda, pada tingkat masyarakat sebangsa maupun pada taraf internasional. Dalam pertukaran antara bangsa ada kebutuhan melampuai hubungan-hubungan berdasarkan kekuatan, supaya dicapai persetujuan-persetujuan demi kesejahteraan semua orang. Menurut kenyataan hubungan-hubungan berdasarkan kekuatan tidak pernah menciptakan situasi keadilan yang sejati dan lestari, meskipun barangkali pergantian posisi-posisi acap kali memunginkan terciptanya kondisi-kondisi yang memperpancar dialog. Lagi pula penggunaan kekuatan mengakibatkan bergeraknya kekuatan-kekuatan yagn bertentangan, sehingga terciptalah iklim perjuangan, yang merintis jalan bagi berbagai situasi kekerasan yang serba kejam dan bagi berbagai penyalahgunaan[27]. Akan tetapi , seperti sudah sering kamikatakan, tugas terpenting dalam hal keadilan ialah membiarkan tiap negeri memajukan perkembangannya sendiri, dalam rangka kerja sama yang bebas dari segala ambisi ke arah dominasi di bidang ekonomi atau politik. Karena relasi-relasi ketergantungan timbal-balik seperti adanya sekarang begitu saling terjalin, memang santa komplekslah masalah-masalah yang timbul. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian juga untuk meninjau ulang hubungan-hubungan antara bangsa, entah mengenai soal pembagian produksi pada tingkat internasional, mengenai struktur  pertukaran-pertukaran,  mengenai pengawasan keuntungan-keuntungan, mengenai sistem moneter-tanpa mengabaikan kegiatan-kegiatan solidaritas manusiawi. Perlu juga dipersoalkan pola-pola perkembangan bangsa-bangsa yang kaya dan diadakan perubahan pandangan pada banyak orang, sehingga mereka menyadari bahwa tugas internasional perlu diutamakan. Dibutuhkan juga pembaharuan organisasi-organisasi internasional, sehingga makin berdayaguna.

 44. Karena dorongan sistem-sistem baru produksi perbatasan-perbatasan nasional terdobrak, dan muncullah kekuatan-kekuatan ekonomi baru, yakni perusahaan-perusahaan multinasional, yang melalui konsentrasi dan fleksibilitas upaya-upaya produksinya dapat menempuh strategi-strategi otonom, yang sebagian besar tidak tergantung dari kekuasaan politik nasional, dan karena itu tidak berada dalam pengawasan dari sudut kepentingan bersama. Dengan memperluas kegiatan-kegiatannya organisasi-organisasi swasta itu dapat menimbulkan bentuk baru dominasi ekonomi yang sangat merugikan di bidang sosial, budaya dan bahkan politik. Konsentrasi berlebihan upaya-upaya dan kekuatan-kekuatan produksi, yang oleh Paus Pius XI sudah dikecam pada ulang tahun keempat-puluh Ensiklik ”Rerum Novarum” beroleh citra baru yang sungguh nyata.

HASRAT AKAN KEMERDEKAAN

 45. Sekarang ini manusia mendambakan akan membebaskan diri dari kebtutuhan dan ketergantungan. Akan tetapi pembebasan itu mulai dengan kebebasan batin, yang oleh banyak orang harus ditemukanlagi terhadap harta-benda dan kekuasaan mereka. Tidak pernah mereka akan mencapai kebebasan itu kecuali melalui cintakasih akan sesama melampaui segalanya, dan karena itu melalui kesediaan yang tulus untuk mengabdi. Kalau tidak begitu, seperti jelas sekali ternyata, ideologi-ideologi yang paling revolusioner pun hanya menimbulkan pergantian penguasa. Sekali dilantik untuk memangk jabatan, para penguasa  baru itu melengkapi diri dengan aneka privilegi, membatasi kebebasan-kebebasan, dan membiarkan bentuk-bentuk lain ketidak-adilan bermunculan.
            Demikianlah banyak orang sudah sampai pada mempersoalkan pola masyarakat sendiri. Ambisi banyak bangsa, dalam persaingan yang menaruh mereka pada pihak oposisi dan menghanyutkan mereka, ialah meraih kekuasaan di bidang teknologi, ekonomi dan militer. Ambisi itu merintangi pembentukan struktur-struktur, yang lebih besar, sehingga ketidak-adilan tidak diperuncing lagi, dan masyarakat tidak lagi hidup dalam iklim kecurigaan dan perjuangan, yang terus menerus akan membahayakan perdamaian.

 46. Bukan di situkah muncul pembatasan yang radikal terhadap ekonomi? Kegiatan ekonomi memang perlu, dan kalau sungguh melayani manusia, dapat menjadi ”sumber persaudaraan dan tanda penyelenggaraan”[28]. Kegiatan itu membuka peluang bagi berbagai  pertukaran konkret antara orang-orang, bagi pengakuan hak-hak, bagi pelaksanaan jasa-pelayanan, dan bagi pengakuan martabat dalam kerja. Walaupun sering merupakan bidang konfrontasi dan dominasi juga, kegiatan ekonomi dapat menimbulkan dialog dan memupuk kerja sama. Akan tetapi juga menghadapi risiko menyerap terlampau banyak tenaga dan kebebasan[29]. Oleh karena itulah dirasakan kebutuhan untuk beralih dari ekonomi ke politik. Memang benar, dalam istilah ”politik” mungkinlah terjadi banyak kerancuan, dan itu perlu dijernihkan juga. Akan tetapi siapa pun merasa, bahwa di bidang sosial dan ekonomi, pada tingkat nasional maupun internasional, keputusan mutakhir ada pada kekuasaan politik.
            Pemerintah ialah ikatan kodrati yang dibutuhkan supaya seluruh masyarakat tetap menyatu, dan harus bertujuan mewujudkan kepentingan bersama. Sementara menghormati kebebasan-kebebasan yang sewajarnya ada pada orang-orang, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok pendukung kepentingan mereka, pemerintah berusaha menciptakan secara efektif, demi kesejahteraan semua warga masyarakat, kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan manusia yang sejati dan sepenuhnya, termasuk tujuan rohaninya.Pemerintah bertindak dalam batas-batas kewenangannya, yang dapat berbeda-beda dari bangsa ke bangsa dan dari negara ke negara. Dalam campur tangannya pemerintah selalu mengindahkan keadilan dan komitmen terhadap kepentingan umum, yang termasuk tanggung jawabnya yang mendasar. Dengan menjalankan semua itu pemerintah tidak mengambil alih dari warga peroragnan atau lembaga-lembaga menengah bidang kegiatan dan tanggung jawab yang khas bagi mereka dan yang membuka jalan bagi mereka untuk bekerja sama dalam mewujudkan kepentingan umum. Sesungguhnya ”tujuan sejati segala kegiatan sosial seharusnya ialah membantu anggota perorangan masyarakat, tetapi tidak pernah melumpuhkan atau menyerap mereka”[30]. Menurut misinya yangkhas pemerintah jangan mencampuri kepentingan-kepentingan khusus, untuk tetap memperhatikan tanggung jawabnya atas kepentingan semua orang, bahkan melampaui batas-batas nasional. Memandang serius politik pada berbagai tarafnya-setempat, regional, nasional dan sedunia-berarti menegaskan kewajiban manusia, tugas tiap orang, mengakui kenyataan konkret dan nilai kebebasan memilih yang ada padanya, untuk berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan umat manusia. Politik termasuk kewajiban-meskipun bukan satu-satunya kewajiban-menghayati komitmen Kristiani untuk berbakti kepada sesama. Tentu saja tanpa mau menyelesaikan segala masalah, politik berusaha membantu memecahkan soal-soal hubungan antar manusia juga. Gelanggang politik memang luas dan menyeluruh, tetapi tidak eksklusif. Sikap mau menguasai segalanya, yang cenderung untuk menegakkan politik sebagai nilai mutlak, akan menimbulkan bahaya yang gawat. Sementara mengakui otonomi kenyataan politik, umat Kristiani yang diundang untuk menjalankan kegiatan politik harus berusaha menentukan pilihan-pilihan mereka secara konsisten dengan Injil, dan dalam rangka kemajemukan yang sewajarnya, memberi kesaksian pribadi maupun kolektif akan kesungguhan iman mereka dengan melayani sesama secara efektif dan tanpa pamrih.

BERBAGI KEKUASAAN

 47. Pergeseran dari ekonomi kepada dimensi politik juga mengungkapkan tuntutan manusia dewasa ini, yakni: peran serta lebih besar dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Aspirasi yagn memang wajar itu kian jelas, makin tinggi taraf kebudayaan, makin meningkat kesadaran akan kebebasan, dan makin manusia menyadari, bagaimana di dunia yang menghadapi masa depan yang tidak menentu pilihan-pilihan masa kini sudah ikut menentukan perihidup di masa mendatang. Dalam Ensiklik ”Mater et Magistra”[31] Paus Yohanes XXIII menekankan betapa peluang untuk bertanggung jawab merupakan tuntutan mendasar hakikat manusia, pengamalan konkret kebebasannya dan jalan menuju perkembangannya. Paus menunjukkan, bagaimana dalam kehidupan ekonomi dan khususnya dalam perusahaan peran serta dalam tanggung jawab itu harus dijamin[32]. Sekarang lapangannya lebih luas, dan meliputi bidang sosial dan politik; di situ perlu ditetapkan dan dimantapkan peran serta yang sewajarnya dalam tanggung jawab dan keputusan-keputusan. Memang benar, pilihan-pilihan yang ditawarkan untuk diputuskan makin kompleks; pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan banyak sekali, dan antisipasi konsekuensi-konsekuensinya mengandung risiko,  juga kendati ilmu-pengetahuan baru mencoba menyoroti kebebasan pada saat-saat yang penting itu. Akan tetapi, sungguhpun ada kalanya batas-batas harus ada, rintangan-rintangan itu jangan menghambat pemberian partisipasi yang lebih luas dalam mempertimbangkan keputusan-keputusan, menentukan pilihan-pilihan serta melaksanakannya. Untuk menandingi mengingkatnya teknokrasi perlu disusun bentuk-bentuk modern demokrasi, yang tidak hanya memungkinkan tiap orang mendapat informasi dan mengungkapkan diri, melainkan juga melibatkannya dalam tanggung jawab yang partisipatif. Begitulah kelompok-kelompok lambat-laun akan makin ikut serta dan makin merupakan rukun hidup. Begitu pula kebebasan, yang terlampau sering menyatakan diri sebagai tuntutan otonomi dengan melawan kebebasan pihak-pihak lain, akan berkembang dalam kenyataan manusiawinya yang terdalam, yakni: melibatkan dan membaktikan diri dalam membangun solidaritas yang dihayati secara aktif. Akan tetapi bagi  umat  Kristiani : dengan kehilangan dirinya dalam Allah yang membebaskannyalah manusia menemukan kebebasan sejati, yang diperbaharui dalam wafat dan kebangkitan Tuhan.




III

SERUAN UNTUK BERTINDAK

 48. Di bidang sosial Gereja selalu ingin memainkan peranan rangkap pertama menerangi budi untuk mendampinginya mengenali kebenaran serta menemukan jalan yang benar di tengah berbagai ajaran yang menarik perhatiannya; dan kedua ikut serta dalam tindakan, serta memancarkan daya-kekuatan Injil dengan sungguh mengusahakan pelayanan dan daya gunanya. Tidakkah untuk setia mengikuti  keinginan itulah Gerejal  telah mengutus untuk merasul di tengah kaum buruh imam-imam, yang  dengan sepenuhnya mengalami kondisi pekerja-pada tingkat itu menjadi saksi-saksi keprihatinan dan daya-upaya Gereja?
            Kepada segenap umat Kristianilah kamitujukan seruan yang baru dan mendesak ini untuk bertindak. Dalam Ensiklik kami tentang Perkembangan Bangsa-Bangsa kami mendesak, supaya semua anggota Gereja menunaikan tugas mereka;”Umat awam hendaknya menjalankan tugas mereka yang khas, yakni membaharui tata-dunia. Sedangkan peranan Hirarki ialah mengajarkan dan menafsirkan secar aotentik norma-norma moralitas yang dalam hal itu harus dipatuhi, termasuk panggilan kaum awamlah, tanpa menunggu secara pasif perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk, mengadakan prakarsa dengan bebas dan menanam semangat Kristiani ke dalam mentalitas, adat-istiadat, undang-undang dan tata-susunan masyarakat lingkungan mereka”[33]. Hendaklah tiap orang memeriksa diri , untuk melihat apa yang hingga sekaran gsudah dijalankan , dan apa yang harus dijalankannya. Belum cukup mengingat prinsip-prinsip, menyatakan maksud-maksudnya, menunjukkan pelanggaran-pelanggaran keadilan yang menyolok, dan melontarkan kecaman-kecaman profetis. Kata-kata itu akan kehilangan bobotnya yang nyata, kalau pada tiap orang tidak disertai kesadaran yang lebih hidup akan tanggung jawab pribadi dan tindakan yang efektif. Terlampau mudah melemparkan kepada pihak-pihak lain tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran keadilan, kalau sementara itu tiada kesadaran: bagaimana tiap orang secara pribadi tersangkut dalamnya, dan bagaimana terutama dibutuhkan pertobatan pribadi. Kerendahan hati yang mendasar itu akan menghilangkan segala sifat kaku dan sektarianisme dari tindakan. Selain itu akan menghindarkan orang dari sikap putus asa menghadapi tugas, yang lingkupnya nampak tanpa batas. Harapan Kristiani terutama bersumber pada kenyataan, bahwa orang menginsyafi: Tuhan bekerja sama dengan kita di dunia. Sementara itu Ia melangsungkan dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja, -dan melalui Gereja dalam segenap umat manusia-karya penebusann yang telah dilaksanakan-Nya di salbib dan yang tampil gemilang dalam kejayaan pada pagi kebangkitan-Nya[34]. Harapan itu bersumber pula pada kenyataan, bahwa orang Kristiani menyadari: orang-orang lain sedang berusaha menjalankan tindakan-tindakan keadilan dan damai untuk mencapai tujuan yagn sama. Sebab di balik penampilan lahir sikap tidak peduli, di sanubari tiap orang terdapat kemauan akan hidup dalam persaudaraan, serta rasa haus akan keadilan dan damai, yang harus ditumbuhkan.

 49. Maka di tengah situasi, tugas-kewajiban dan kelembagaan yang bermacam-ragam, tiap orang harus menentukan menurut suarahatinya tindakan-tindakan yang harus dijalankannya. Di tengah berbagai arus, yang di samping aspirasi-aspirasi yang wajar juga mencakup gerak-gejolak yang lebih meragukan, umat Kristiani harus menentukan pilihannya dengan bijaksana dan waspada, serta berusaha jangan sampai terlibat dalam kerja sama tanpa syarat yang bertentangan dengan asas-asas humanisme yang sejati, kendati barangkali demi solidaritas yang dirasa tulus. Kalau memang ingin memainkan peranan khas sebagai orang Kristiani menurut imannya-peranan itu oleh mereka yang berkeyakinan lain pun diharapkan dari padanya-ia harus berusaha, sambil memenuhi komitmennya secara aktif, menjelaskan motivasi-motivasinya, dan melampaui sasaran-sasaran yang dituju, dengan mengenakan pandangan yang lebih menyeluruh, sehingga mengelakkan bahaya partikularisme penuh cinta diri dan totalitarianisme yang menindas.

 50. Dalam berbagai situasi konkret, sementara solidaritas diperhatikan dalam kehidupan masing-masing, harus diakui adanya keanekaan yang wajar dalam pilihan-pilihan yagn mungkin. Iman Kristiani yagn sama dapat menimbulkan komitmen yang bermacam-macam[35]. Gereja mengundang seluruh umat Kristiani untuk menganggupi tugas rangkap yakni, memberi inspirasi dan membaharui, untuk mendukung pengembangan struktur-struktur, sehingga sungguh menanggapi kebutuhan-kebutuhan nyata zaman sekarang. Dari orang-orang Kristiani, yang sepintas lalu menimbulkan kesan bertentangan karena bertolak dari pilihan-pilihan yang berbeda-beda, Gereja meminta adanya usaha untuk saling memahami terhadap posisi-posisi maupun motivasi-motivasi pihak-pihak lain. Pemeriksaan yang loyal tentang tepat tidaknya perilaku masing-masing akan mendorong tiap orang untuk mengenakan sikap cinta kasih lebih mendalam, yang sementara mengakui perbedaan-perbedaan, toh percaya juga akan adanya kemungkinan arah serentak dankesatuan.”Ikatan-ikatan yang menghimpun umat beriman masih lebih kuat dari apa pun yang memisah-misahkan mereka”[36].
            Memang, di tengah struktur-struktur modern dan berbagai situasi yang ikut menentukan, perihidup banyak orang ditentukan oleh pola-pola berpikir dan tugas-tugas mereka, terlepas dari usaha menjamin kepentingan-kepentigan jasmani. Ada pula yang begitu mendalam merasakan solidaritas antar-golongan dan atar-budaya, sehingga mereka sampai mengikuti tanpa syarat segala penilaian dan pilihan di lingkungan mereka[37]. Hendaklah tiap orang berusaha memeriksa diri dengan cermat, dan mewujudkannya kebebasan yang sejati menurut Kristus, sehingga hatinya terbuka bagi nilai-nilai universal di tengah kondisi-kondisi yang sangat khas.

KESAKSIAN KRISTIANI

 51. Dalam perspektif itu pulalah organisasi-organisasi Kristiani dengan aneka bentuknay mempunyai tanggung jawab untuk bertindak secara serentak. Tanpa mau menggantikan lembaga-lembaga masyarakat sipil, organisasi-organisasi itu dengan cara masing-masing dan dengan melampaui sifatnya yagn khas harus mengungkapkan hasrat-keinginan konkret iman Kristiani akan perombakan masyarakat menurut keadilan, yang karena itu sungguh di butuhkan[38].
            Zaman sekarang lebih dari pada di masa lampau sabda Allah tidak akan dapat diwartakan dan didengar, kalau tidak diiringi dengan kesaksian kekuatan Roh Kudus, yagn berkarya dalam kegiatan umat Kristiani dalam pengabdian kepada sesama, pada saat-saat eksistensi dan masa depan  mereka menjadi taruhan.

 52. Dalam mengugkapkan pokok-pokok refleksi itu kepada Anda, Saudara yang terhormat, tentu kamimenyadari, bahwa tidak semua masalah sosial kami uraikan, yang sekarang dihadapi oleh umat beriman dan orang-orang yang  beriktikad baik. Pernyataan-pernyataan kami-disusul dengan pesan Anda belum lama in pada kesempatan mengawali Dasawarsa Perkembangan yang Kedua-khususnya tetang tugas-tugas masyarakat bangsa-bangsa sekitar persoalan serius tentang perkembangan manusia seutuhnya dan terpadu, masih segar dalam kenangan banyak orang. Kami alamatkan pokok-pokok refleksi sekarang ini kepada Anda dengan maksud menyumbangkan kepada Dewan Kaum Awam dan Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian beberapa sumbangan yang baru, begitu pula suatu dorongan, untuk menunaikan tugas mereka ”membangunkan umat Allah supaya menyadari sepenuhnya peranan mereka sekarang ini”, dan ”memajukan kerasulan pada tingkat internasional”[39].
            Dengan citarasa itulah, Saudara yang terhormat, kami sampaikan kepada Anda berkat apostolik kami.

            Dari kota Vatikan, tgal 14 Mei 1971.

PAUS PAULUS VI





  


[1] Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes “ 10: AAS 58 (1966) hlm. 1033.
[2] AAS 23 (1931) hlm.209 dsl.
[3] Bdk. MM.115:AAS 53 (1961) hlm.429.
[4] PP.3:AAS 59 (1967) hlm.258.
[5] PP.1:ibidem hlm.257.
[6] Bdk.2Kor 4:17.
[7] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 25:AAS 59 (1967) hlm.269-270.
[8] Bdk. Why 3:12;21:2.
[9] Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”25:AAS 58 (1966) hlm.1045.
[10] Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”25:AAS 58 (1966) hlm.1089.
[11] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 69:AAS 59 (1967) hlm. 290-291.
[12] Bdk. Mat 25:35.
[13] Konsili Vatikan II, Pernyataan “Nostra Aetate”,5:AAS 58 (1966) hlm.743.
[14] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 37:AAS 59 (1967) hlm.  276.

[15] Bdk. Konsili Vatikan II, Dekrit “Inter Mirifica”, 12:AAS 56 (1964) hlm.149.
[16] Bdk. Ensiklik “Pacem in Terris” 15-17: AAS 55 (1963) hlm.261 dsl.
[17] Bdk. Amnat Paus Paulus VI pada Hari Perdamaian Sedunia, tgl. 1 Januari 1971: AAS 63 (1971) hlm. 5-9.
[18] Bdk. Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” 74: AAS 58 (1966) hlm. 1095-1096.
[19] Pernyataan “Dignitatis Humanae”, 1: AAS 58 (1966) hlm. 930.
[20] Bdk. Ensiklik “Pacem in Terris”, 159: AAS 55 (1963) hlm. 300.
[21] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 11: AAS 58 (1966) hlm. 1033.
[22] Bdk. Rom 15:16.
[23] Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”,39 : AAS 58 (1966) hlm. 1057.
[24] “Populorum Progressio”, 13: AAS 59 (1967) hlm. 264.
[25] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 36: AAS 58 (1966) hlm. 1054.
[26] Bdk. Rom 5:5
[27] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 56-61: AAS 59 (1967) hlm. 285 dsl.
[28] Bdk. Ensiklik “Populorum Progressio”, 86: AAS 59 (1967) hlm. 299.
[29] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 63: AAS 58 (1966) hlm. 1085.
[30] Paus Pius XI, Ensiklik “ Quadragesimo Anno”, 79: AAS 23 ( 1931) hlm. 203; bdk. Paus Yohanes XXIII, Ensiklik “ Mater et Magistra”, 53, 111: AAS 53 (1961) hlm. 414, 428; Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 74-76: AAS 58 (1966) hlm. 1095-1100.
[31] Bdk. Ensiklik “Mater et Magistra” 74-78: AAS 53 (1961) hlm. 420-422.
[32] Bdk. Juga Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 68, 75: AAS 58 (1966) hlm.1089-1090, 1097.
[33] Ensiklik “ Populorum Progressio”, 81: AAS 59 (1967) hlm. 296-297.
[34] Bdk. Mat 28: 30; Flp 2:8-11.
[35] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes”, 43: AAS 58 (1966) hlm. 1061.
[36] Ibid., 92. 1113.
[37] Bdk. 1 Tes 5: 21.
[38] Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis “ Lumen Gentium”, 31: AAS 57 (1965) hlm. 37-38; Dekrit “ Apostolicam Actuositatem”, 5: AAS 58 (1966) hlm. 842/
[39] “Catholicam Christi Ecclesiam”: AAS 59 (1967) hlm. 27 dan 26.